Hukum Islam Bagi Pelaku Seks Bebas (zina)

Sungguh Allah SWT telah mengkhususkan hukuman dosa zina daripada hukuman-hukuman yang lainnya dengan tiga kekhususan yaitu:
a. Dibunuh dengan cara yang sangat keji jika pelakunnya seorang yang telah menikah, dan terkadang dicambuk (hukuman ini bagi pelaku zina yang belum menikah), terkadang digabungkan antara dua hukuman kepada pelakunya, yaitu pada tubuhnya dengan cambukan dan pada hatinya dengan di asingkan.
Ada sebuah hadits shahih bahwasanya datang seorang Arab gunung kepada Nabi Muhammad SAW, lalu berkata:
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anak lelakiku bekerja pada si fulan, lalu ia berzina dengan istrinya. Diberitakan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dirajam. Maka aku membayar fidyah darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian aku bertanya kepada ulama dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun Istri si fulan itu harus dirajam.”
Bagikan:

Bentuk-bentuk Seks Bebas dan Pengaturannya

1. Seks Bebas atas dasar suka sama suka.
Seks bebas atas dasar suka sama suka atau seks bebas yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat perkawinan biasa juga disebut Fornication dalam hukum islam tergolong dalam perbuatan zina.
KUHP bersumber dari hukum barat, maka perzinaan menurut hukum barat, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 284 KUHP, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan dengan orang lain (Andi Hamzah, 1992 : 114).
Bagikan:

Faktor-faktor yang mempengaruhi Seks Bebas

Kartono (2005: 196-197) mengungkapkan bahwa perilaku seks bebas dipengaruhi oleh :
1) Belum adanya regulasi atau pengaturan terhadap penyelenggaraan hubungan seks dengan peraturan tertentu.
Dorongan seks begitu dasyat dan besar pengaruhnya terhadap manusia. Seks bisa membangun kepribadian, tetapi juga bisa menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan.
2) Perubahan sosial
Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan komunikasi menyebabkan perubahan sosial yang demikian cepat pada hampir semua kebudayaan manusia. Perubahan sosial ini mempengaruhi kebiasaan hidup manusia, termasuk mempengaruhi pola-pola seks yang konvensional menjadi keluar dari jalur-jalur konvensional kebudayaan, sehingga bertentangan dengan sistem regulasi seks yang konvensional, dan terjadilah apa yang dinamakan seks bebas.
Pelaksanaan seks bebas banyak dipengaruhi oleh penyebab dari perubahan sosial, seperti : urbanisasi, mekanisasi, alat kontrasepsi, pendidikan, demokratisasi fungsi wanita dalam masyarakat dan modernisasi.
Bagikan:

Pengertian Dan Sebab-sebab Seks Bebas

1. Pengertian Sex Bebas
Free sex menurut Sarwono (1988: 8) didefinisikan sebagai perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan apa-apa selain suka sama suka dan bebas dalam seks. Pendapat lain yang dikemukakan Sarwono (2002: 137) bahwa yang dimaksud seks bebas adalah hubungan yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis yang di lakukan pada pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan.
Free sex menurut Hasan Basri (2000: 10) merupakan kegiatan seksual yang menyimpang, yang dilakukan baik secara individual maupun bergerombol pada waktu dan tempat yang disepakati bersama. Free sex ini biasanya diawali dengan acara-acara yang cukup merangsang secara seksual dan pada tempat yang dipandang “aman“ dari pengetahuan masyarakat.
Menurut Kartono (1997: 188), yang dimaksud seks bebas adalah hubungan seks secara bebas dengan banyak orang dan merupakan tindakan hubungan seksual yang tidak bermoral, dilakukan dengan terang-terangan tanpa ada rasa malu sebab didorong oleh nafsu seks yang tidak terintegrasi, tidak matang, dan tidak wajar.
Bagikan:

Obyek Kajian Sosiologi Hukum

Menurut Gerald Turkel (Achmad Ali. 2009:61), pendekatan sosiologis juga mengenal studi tentang hubungan antara hukum dan moral serta logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologis antara lain:
a. Pengaruh hukum terhadap perilaku sosial.
b. Kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat dalam “the social world” mereka.
c. Organisasi sosial dan perkembangan sosial serta institusi-institusi hukum.
d. Bagaimana hukum dibuat.
e. Kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum.
Bagikan:

Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum

Menurut Vilhelm Aubert (Achmad Ali, 2009 : 32), sosiologi hukum dipandang sebagai suatu cabang ilmu sosiologi umum serupa dengan sosiologi keluarga, sosiologi industry, atau sosiologi kedokteran, perbendaannya tentu saja karena sosiologi hukum obyek kajiannya adalah hukum. Bagi Aubert, sah saja penggunaan sosiologi untuk studi hukum dalam rangka membantu para professional hukum untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Demikian juga hukum dapat membantu para legislator dalam pembuatan peraturan perundang-undangan maupun badan peradilan dalam membuat putusannya. Dalam hal ini yang terpenting adalah fungsi kritis dari sosiologi hukum untuk membantu mempertinggi kesadaran kaum professional hukum tentang fungsi profesi mereka di masyarakat.
Bagikan:

Pengertian Sosiologi Hukum

Istilah sosiologi hukum pertama kali digunakan pada tahun 1882, oleh Anziolotti yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yaitu filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi.
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan social dan bukan sebagai kaidah. Sosiologi hukum memandang hukum sebagai fenomena social yang berbeda dengan hukum normatif yang memandang hukum sebagai norma-norma positif di dalam perundang-undangan hukum nasional. Beberapa pakar yang mempengaruhi sosiologi hukum seperti Emile Durkheim, Max Weber, Eugen Ehrlich, Talcott Persons, Roscou Pound, dan Schuyt. (Achmad Ali, 2008:215)
Berikut ini beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum mengenai sosiologi hukum:
a. Soerjono Soekanto memberikan batasan pengertian tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. (Zainuddin Ali, 2005:1)
b. Satjipto Rahardjo juga mengemukakan batasan tentang sosiologi hukum yaitu sosiologi hukum (Sociology of Law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. (Zainuddin Ali, 2005:1)
c. Sosiologi Hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum , kultur hukum.
d. Kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum tetapi menggunakan topik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis , sehingga sering disalah tafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum tetapi juga dari kalangan hukum sendiri.(Achmad Ali, 2009 : 9)
e. Wignjosoebroto berpendapat bahwa sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi yang termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan inilah menurut beliau cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya, yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan mensejahterahkan kehidupannya, serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kalian pada cabang-cabang sosiologi yang lain. (Sabian Utsman, 2009:115)
Bagikan:

Jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut buku KPK (KPK, 2006:19), tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan yang Merugikan Negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) :
(1) ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
(2) ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Bagikan:

Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio. Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Pengertian korupsi dalam Kamus Peristilahaan (M.D.J.Al Barry, 1996:208) diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan negara dan rakyat.
Dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan – badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Bagikan:

Hal-hal yang Menghalangi Waris

Banyak perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja yang dapat menghalangi seorang mendapat hak mewarisi, namun secara umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan
Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang menjadi penghalang mewarisi. Namun kategori pembunuhan sendiri ada bermacam-macam dan ada golongan ulama yang berpendapat bahwa tidak semua pembunuhan dapat menggugurkan hak waris. Amir Syarifudin mengkategorikan macam-macam pembunuhan ini menjadi dua, yaitu:
a. Pembunuhan yang hak dan tidak berdosa yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang hak dan tidak berdosa adalah pembunuhan dalam peperangan, petugas qishos (ekskutor) dan membunuh untuk membela harta, jiwa dan kehormatannya.
b. Pembunuhan yang tidak hak dan berdosa yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang tidak hak dan berdosa adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Pada dasarnya seluruh fuqoha menetapkan, bahwasannya pembunuhan adalah suatu penghalang mewarisi. Namun yang menjadi perbedaan dikalangan fuqoha adalah bentuk-bentuk pembunuhan yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai penghalang mewarisi, dalam masalah ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Bagikan:

Ahli Waris dan Macam-Macamnya

Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c , yang berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” (Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, 1999/2000:81).
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam pasal 173. Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal 173 telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati dan ada juga yang hubungannya lebih jauh dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris karena dari garis keturunan perempuan (dzawil arham). Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu: hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu:
a. Perkawinan yang sah (al-musoharoh)
b. Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena adanya perjanjian tolong menolong (Ahmad Rofiq, 2001:59).
Bagikan:

Syarat dan Rukun Waris Islam

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris (Daud Ali, 1990:129). Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing (Daud Ali, 1990:40).
Bagikan:

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagi berikut: (Suhardi K Lubis, 1995:37).
1. Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya
kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.”
Bagikan:

Tujuan dan Manfaat Mediasi

Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tujuan dilakukannya mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak ketiga pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.
Bagikan:

Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. „Berada di tengah‟ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.
Bagikan:

Tujuan Dan Ruang Lingkup Hukum Islam

1. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam tidak terbatas pada lapangan materiel saja yang sifatnya sementara, tidak pula kepada hal-hal yang sifatnya formil belaka, akan tetapi lebih dari itu hukum Islam memperhatikan pelbagai faktor seperti faktor Individu, faktor masyarakat dan faktor kemanusiaan dalam hubungannya satu dengan yang lain demi terwujudnya keselamatan di dunia dan kebahagiaan di hari kemudian.
Dalam lapangan ibadat (shalat, puasa, zakat, dan naik haji) dimaksudkan:
1. Membersihkan jiwa manusia dan mempertemukan dirinya dengan Tuhan. Tujuan ini menyangkut kesehatan rohani;
2. Kesehatan jasmani;
3. Kebaikan individu dan masyarakat dan pelbagai seginya.
Bagikan:

Pengertian Dan Prinsip-prinsip Hukum Islam

1. Pengertian dan Prinsip-prinsip Hukum Islam
Istilah hukum Islam terdiri dari dua buah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata Hukum dan kata Islam. Kata Hukum berarti ketentuan atau ketetapan, sedangkan kata Islam berasal dari kata “aslama” menjadi “salama” selanjutnya menjadi Islam yang artinya, selamat, damai, sejahtera, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Dari kedua pengertian tersebut maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang diartikan dengan hukum Islam secara etimologis ialah segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai suatu hal dimana ketentuan itu telah diatur dan ditetapkan oleh agama Islam.
Bagikan:

Dasar Perolehan Hak Milik Atas Tanah

Hak milik adalah hubungan antar subjek dan benda yang memberikan wewenang kepada subjek untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain. Mendayagunakan mengandung arti melakukan segala tindakan berkenaan dengan benda yang dimilikinya dengan harapan mendatangkan manfaat bagi subjek yang bersangkutan, atau bahkan subjek-subjek hukum lain. Sedangkan mempertahankan berarti melakukan segala tindakan untuk mencegah interfensi pihak lain yang tidak berhak atas benda tersebut31. Ketentuan umum mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Adapun macam-macam dasar perolehan hak milik atas tanah yani dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu:
Bagikan:

Akta Bawah Tangan

Daya kekuatan pembuktian akta bawah tangan tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Akta bawah tangan yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai akta dibawah tangan dapat ditemukan dalam pasal 1874 KUH Perdata yang dalam ayat 1 menyatakan :
―Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain, tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum‖.
Dalam undang-undang ditentukan bahwa akta bawah tangan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lengkap sepanjang tanda tangan dalam akta tersebut diakui keasliannya sedangkan apabila tanda tangan atau tulisannya dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Bagikan:

Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yag diberi wewenang untuk itu oleh pengusaha, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan , baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan , yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya. Didalam HIR, akta otentik diatur dalam pasal 165 yang berbunyi sebagai berikut:
“Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum didalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta‖.
Bagikan:

Surat yang Berupa Akta dan Bukan Akta

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yakni surat yang merupakan akta dan surat lain-lain yang bukan akta. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan semula dengan sengaja untuk pembuktian. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta disebutkan dalam pasal 1869 KUH Perdata:
―Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlukan sebagai akta otentik , namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak‖.
Bagikan:

Pengertian Hukum Waris dan Dasar Hukumnya

Dalam literatur hukum Indonesia sering digunakan kata “waris” atau warisan. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab akan tetapi dalam praktek lebih lazim disebut “Pusaka”. Bentuk kata kerjanya Warastra Yasiru dan kata masdarnya Miras. Masdar yang lain menurut ilmu sasaf masih ada tiga yaitu wirsan, wirasatan dan irsan. Sedang kan kata waris adalah orang yang mendapat warisan atau pusaka. Dalam literatur hukum arab akan ditemukan penggunaan kata Mawaris, bentuk kata jamak dari Miras. Namun banyak dalam kitab fikih tidak menggunkan kata mawaris sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu dari pada kata mawaris. Rasullulah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawaris. Hadis riwayat Ibnu Abas Ma’ud berbunyi: dari ibnui Abas dia berkata, Rasullulah bersabda: “Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah pada orang lain. Pelajari pula faraid dan ajarkan kepada orang-orang” (HR Ahmad) (H. Achmad Kuzari, 1973:168).
Bagikan:

Ruang Lingkup Harta Bersama

Pada pembahasan ini akan diuraikan mengenai ruang lingkup dari harta bersama. Dimana dapat diketahui harta apa saja yang dapat dikategorikan sebagai objek harta bersama dan objek harta apa yang tidak termasuk dalam harta bersama. Pada pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan maupun yurisprudensi yang terkait telah ditentukan mengenai harta yang dengan sendirinya menjadi harta bersama. Akan tetapi tidak sesederhana itu penerapannya di dalam kenyataan ini.
Berikut ini adalah batasan dalam ruang lingkup harta bersama menurut Yahya Harahap : 
a. Harta yang dibeli selama perkawinan 
Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan : 
1. Apakah isteri atau suami yang membeli, 
2. Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami, 
3. Dimana harta tersebut diletakkan. 
Bagikan:

Pengertian Harta Bersama

Secara etimologi, harta bersama adalah dua kata yang terdiri harta dan bersama. Harta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berbarengan. Harta bersama berarti harta yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.
Bagikan:

Tata Cara Perceraian

Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA Pasal 65 jo. Pasal 115 KHI).
Adapun tata cara dan prosedurnya dibedakan ke dalam 2 macam, yaitu:
Bagikan:

Penyebab Terjadinya Perceraian

Menurut Hukum Islam, perkawinan itu putus karena kematian, dan karena perceraian (Talak, khuluk, fasakh, akibat syiqaq, dan pelanggaran taklik talak) dan alasan memutuskan perceraian hanya satu saja yaitu salah satu pihak merasa bahwa perkawinannya tidak dapat lagi diteruskan.
Menurut KHI pada Pasal 116 bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturt-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
d. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
f. Antara suami dan istri terus terjadi perselisishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam, rumah tangga.
Bagikan:

Pengertian Perceraian Dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti pisah, mendapatkan imbuhan per-an sehingga secara bahasa berarti putusnya hubungan suami isteri, talak, hidup perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup. Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan bahwa perceraian itu merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Sedangkan menurut istilah agama talak dari kata “ithlaq”, artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami bermaksud menceraikan isterinya harus lebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang berkedudukan di wilayah tempat tinggalnya. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan suami isteri selagi keduanya masih hidup atau putusnya perkawinan, yang dapat terjadi dengan talak (cerai talak) ataupun khuluk (cerai gugat).
Bagikan:

Pengertian dan Asas-Asas Hukum Perbankan

Hukum perbankan (banking law), yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi bank, dan lain-lainnya yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut (Munir Fuady, 1999: 14).
Bagikan:

Pengertian Dan Jenis-jenis Mediasi

A. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. Mediasi mengantarkan para pihak pada perwujudan mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga, yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan arbitrase, keputusan arbiter atau majelis arbitrase harus ditaati oleh para pihak, layaknya keputusan pengadilan. Sedangkan mediasi, tidak terdapat kewajiban dari masing-masing pihak untuk menaati apa yang disarankan oleh mediator (Jimmy Joses Sembiring, 2011: 28).
Bagikan:

Manfaat Viktimologi

Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak manfaat yang diperoleh.
Manfaat viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :
Bagikan:

Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.
Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :
a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.
b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.
c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya.
d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.
e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.
f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.
Bagikan:

Pengertian Viktimologi

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan istilah bahasa Inggris Victimology yang berasal dari bahasa latin yaitu “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti studi/ilmu pengetahuan. 
Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan. Pada awalnya, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada fase ini dikatakan sebagai penal or special victimology. Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja tetapi meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini desebut sebagai general victimology. Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia, pada fase ini dikatakan sebagai new victimology.
Bagikan:

Pertanggungjawaban Pidana Anak

Menurut Roeslan Saleh (Marlina, 2009:69) dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi apabila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana. Hal ini mengenai asas kesalahan yang memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Marlina (2009:69) ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu: 
1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan ini. 
2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Syarat pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak; syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan atau tidak, (Marlina, 2009:70). 
Bagikan:

Pengertian Tindak Pidana Anak

Menurut Tolib Setiadi, (2010:176) pada dasarnya yang dimaksud dengan tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 45 KUHP. Kemudian apabila dengan memperhatikan Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor P. 1/20 tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan bahwa penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun (Pasal 45 KUHP). 
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah: 
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau 
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 
Bagikan:

Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

Bertitik tolak dari Pasal 1 ayat (1) Reglemen Penjara (Staatsblad 708Tahun 1917) bahwa "penjara" itu dapat diartikan sebagai:
1. Tempat untuk menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
2. Tempat untuk mengasingkan orang yang melanggar tata tertib hukum.
Menurut Ramli Atmasasmita Rumah Penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain:
1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat.
2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.

Pembagian rumah penjara ketika itu erat kaitannya dengan kebiasaan saat itu dalam hal menempatkan para terpidana secara terpisah sesuai dengan berat ringannya pidana yang harus mereka jalani di rumah-rumah penjara manapun di dunia ini. Di Indonesia saat ini hal demikian juga diikuti namun bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga Pemasyarakatan.
Bagikan:

Tujuan Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan Anak

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditentukan bahwa;
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang -orang tertentu.
Bagikan:

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat signiflkan sejak dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo. Dalam pidatonya yang berjudul "Pohon Beringin Pengayoman", yang mengemukakan konsep tentang pengakuan kepada narapidana sebagai berikut:
“Di bawah pohon beringin pengayoman ditetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana, maka tujuan pidana penjara dirumuskan, disamping menimbulkan derita bagi terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing agar bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang sosialis Indonesia yang berguna".
Sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap Warga binaan Pemasyarakatan selanjutnya baru memperoleh pengakuan secara yuridis formal setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang mulai diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor; 13641.
Bagikan:

Pengertian Narapidana Dan Hak-hak Narapidana

1. Pengertian Narapidana
Untuk dapat melakukan pembahasan terkait pemenuhan hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak bagi anak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu beberapa istilah terkait pembahasan tersebut. Pertama, penulis mencoba mengambil beberapa kutipan terkait
pengertian narapidana. Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa:Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum.
Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana kemerdekaannya hilang.

2. Hak-hak Narapidana
Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin marrtabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Adapun dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang tunduk pada pada hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang merupakan dasar dari arti yang pertama tersebut di atas.
Bagikan:

Konsepsi HAM Narapidana

Narapidana juga manusia yang memiliki hak asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat. Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, para narapidana tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tapi juga kehilangan segala hak mereka.Penyiksaan, bahkan pembunuhan, di dalam penjara dan tahanan bukan cerita langka. Hak-hak asasi mereka, baik di bidang sipil, politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya sering dirampas. Sejarah menunjukkan narapidana sering mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Karena keprihatinan atas kondisi penjara dan tahanan, 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Konvensi yang lazim disingkat dengan Konvensi Anti Penyiksaan ini juga diratifikasi Indonesia pada 1998.
Bagikan:

Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012) ini antara lain mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam undang - undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban. Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan perbuatan anti sosial (Barda Nawawi Arief, 1994:20).
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus-kasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status Saksi dan/atau Korban, sehingga Anak Sebagai Saksi dan/atau Korban juga diatur dalam undang-undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana. Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Umum. Dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahai masalah Anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui Restoratif justice dan diversi.
Bagikan:

Pengertian Restorative Justice (Keadilan Restoratif).

Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi (pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah). Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal mendapatkan perhatian dari kalangan hukum. Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain :
Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Arsip Blog

Artikel Terbaru