Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Nasional

A. Instrumen-instrumen hukum yang relevan

1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pengertian konservasi sumber daya alam hayati menurut pasal 1 ayat (2) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dirumuskan bahwa” pengelolalaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Dengan demikian konservasi dalam undang-undang ini mencakup pengelolaan sumber alam hayati, yang termasuk didalamnya hutan. Sasaran konservasi yang ingin dicapai menurut UU No. 5 Tahun 1990, yaitu:
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
Bagikan:

Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Internasional

A. Instrumen hukum Internasional
    Instrumen utama untuk perlindungan spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum Internasional. adalah perjanjian intrnasional yang disebut CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang bekerja untuk mengatur perdagangan internasional baik melalui impor, ekspor, re-ekspor dan introduksi dari laut spesies yang tercakup dalam Konvensi tersebut harus disahkan melalui sistem perizinan. Setiap Pihak pada Konvensi harus menunjuk satu atau lebih Otoritas Manajemen bertugas mengelola sistem perizinan dan satu atau lebih Otoritas Ilmiah untuk memberitahu mereka tentang efek dari perdagangan terhadap status spesies.
    Spesies yang dicakup oleh CITES tercantum dalam 3 (tiga) Lampiran, sesuai dengan tingkat perlindungan yang mereka butuhkan Lampiran I mencakup spesies yang terancam punah. Perdagangan spesimen dari spesies ini hanya diperbolehkan dalam keadaan luar biasa. Lampiran II meliputi spesies tidak selalu terancam punah, tetapi perdagangannya harus dikontrol untuk menghindari pemanfaatan yang tidak kompatibel dengan kelangsungan hidup mereka.
Bagikan:

Bentuk-Bentuk Perdagangan Satwa Liar

A. Perdagangan satwa liar yang masih hidup
     Bentuk-bentuk perdagangan satwa seperti ini pada umumnya ialah terhadap satwa-satwa liar yang biasanya diperjualbelikan untuk dipelihara oleh manusia dengan harga tinggi. Satwa-satwa seperti ini kebanyakan ialah satwa langka dan untuk jenisnya kebanyakan ialah dari bangsa jenis burung-burungan (aves) seperti kakatua raja, kakaktua jambul kuning, gelatik, burung bayan dan sebagainya maupun dari jenis mamalia atau primata seperti monyet hitam atau jenis lainnya yang kebanyakan dipelihara manusia sebagai unsur kesenangan terhadap hewan-hewan tersebut.

     Satwa-satwa tersebut diburu dari alam kemudian diselundupkan untuk kemudian diperdagangkan diberbagai kota besar bahkan hingga ke mancanegara. Satwa-satwa yang masih hidup ini pada umumnya diperdagangkan oleh para pelaku dengan menggunakan jalur pelabuhan laut. Satwa-satwa tersebut dibius terlebih dahulu untuk kemudian diangkut dengan kapal yang pada akhirnya tidak jarang mengakibatkan satwa-satwa tersebut mati dalam perjalanan.
Bagikan:

Pengertian Satwa dan Satwa Liar

    Pengertian perlindungan satwa liar tersebut sebelum diuraikan lebih lanjut, maka pertama sekali yang perlu diketahui ialah pengertian dari satwa liar karena tidak semua hewan dapat dikategorikan sebagai satwa liar yang dilindungi. Pemakaian bahasa sehari-hari menunjukkan bahwa satwa dapat diistilahkan dengan berbagai kata yaitu hewan, binatang maupun fauna ataupun mahluk hidup lainnya selain manusia yang dapat bergerak dan berkembang biak serta memiliki peranan dan manfaat dalam kehidupan. Pengertian satwa itu sendiri menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 5 yaitu: “Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup didarat maupun diair.

    Penjabaran mengenai berbagai pengertian tentang satwa liar yang dilindungi seperti yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan kriteria satwa dan perlindungan seperti apa yang akan diberikan, dari berbagai uraian tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perlindungan satwa liar yang dilindungi ialah suatu bentuk perlindungan yang tidak hanya mencakup terhadap satwa yang masih hidup saja tetapi juga mencakup kepada keseluruhan bagian-bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari satwa liar tersebut seperti gading dengan gajahnya, cula dengan badaknya, harimau dengan kulitnya dan sebagainya. Perdagangan satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun yang sudah mati ataupun bagian-bagian tubuhnya adalah merupakan suatu tindak pidana.
Bagikan:

Gedung 202 Parepare

    Gedung 202 adalah sebuah gedung serba guna yang berdiri sejak tahun 1985. Gedung ini berlokasi di Jalan Bau Massepe Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Parepare. Gedung ini dibangun oleh H. Bachrong Bin Wittuing (Keluarga 202). 

    Pada awal mulanya gedung ini dikelola langsung oleh H. Bachrong yang diperuntukkan untuk acara nikahan, pertemuan hingga pelaksanaan even-even besar. Setelah 5 tahun beroperasi dengan sangat pesat, di tahun 1990 salah seorang pengusaha etnis tionghoa berminat untuk mengelola (menyewa) gedung ini. Akhirnya Gedung 202 berganti nama menjadi Restoran Sempurna.

Bagikan:

Keluarga 202 H. Bachrong

1. Alm. H. Bachrong Bin Wittuing
2. Hj. Surya Bachrong Binti Samsong

Anak Dan Menantu
1. Hj. Hadriah Bachrong S.H. (anak) - Alm. Drs. H. Zulkifli Al Hudren (menantu)
2. Hj. Hariani Bachrong S.IP (anak) - H. Bakhtiar Syarifuddin S.E (menantu)
3. Alm. H. Hasanuddin Bachrong (anak) - Almh. Damayanti (menantu)
4. H. Faizal Bachrong S.Sos, M.M (anak) - Munawarah S.Ag (menantu) - Herawati (ex-menantu)
5. H. Ridwan Bachrong (anak) - Aisyiah (ex-menantu) - Jumiati (ex-menantu)
6. Hj. Amelia Bachrong (anak) - Ir. H. Andi Muhammad (menantu)
7. H. Halim Bachrong S.E (anak) - Kartini S.T (menantu )

Bagikan:

Hak Imunitas Pejabat Negara

    Imunitas pejabat negara merupakan hak yang diberikan oleh negara terhadap abdi negara terutama dalam fungsinya sebagai pejabat publik. Imunitas pejabat negara memang tidak disebutkan secara tegas dalam Konvensi Wina tetapi hal ini dapat dilihat dan sangat bergantung pada konsep kebiasaan dalam imunitas kedaulatan negara.

    Imunitas kedaulatan negara memberikan penjelasan bahwa suatu negara berdaulat memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan kehidupan negaranya sehingga kekuasaan demikian harus dihormati oleh setiap negara lainya yang juga memiliki kekuasaan tersebut. Kekebalan pejabat negara sering dikaitkan dengan kekebalan yang dimiliki agen diplomat, khususnya kekebalan pidana, perdata dan administrasi. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.

Bagikan:

Hak Imunitas Negara

     Negara yang memiliki kedaulatan dapat menjalankan yurisdiksi nasionalnya terhadap teritorialnya baik terhadap orang, benda dan perbuatan-perbuatan yang terjadi dalam wilayah negaranya. Secara hukum, yurisdiksi dimaksud tidak dapat dijalankan terhadap kepala negara asing, diplomat beserta aset-asetnya memiliki kekebalan imunitas . Hak imunitas ini diberikan oleh hukum internasional berdasarkan Geneva Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Jenewa 1961).

     Pasal 3 ayat (1) Vienna Convention 1961 menyatakan “ suatu negara memiliki kekebalan kecuali:
“A real relating to private immobable property situated in the territory of the recceing state, unless he holds it on behalf of the sending state for the purposes of the mission.
An action relating to succescion in which bthe diplomatic agent is involved as private person
An action relating to any professional or commercial activity exercised by diplomatic agent in the receiving state outside his official functions”
Bagikan:

Pengertian Hak Imunitas

     Keistimewaan yang dapat dinikmati oleh pejabat negara ini diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hukum Diplomatik. Hak imunitas secara umum memiliki arti bahwa para kepala negara, pejabat pemerintahan mempunyai kekebalan dari berbagai hukum yurisdiksi negara lain. Dengan kata lain kepala negara dan pejabat pemerintahan tidak terikat dengan hukum negara lain. Hak imunitas ini diberikan oleh hukum internasional berdasarkan Genewa Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Jenewa 1961).

     Kekebalan ini diberikan karena wakil pejabat negara merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (United Nations Charter). Negara yang dimaksud memiliki hak khusus (previlege) yang juga dijamin hukum. Hak previlege ini tidak hanya diberikan kepada wakil-wakil negara asing di wilayah territorial negara penerima (Receiving State), tetapi juga kepada negara-negara lain, seperti hak lintas wilayah udara (penerbangan komersial) dan hak lintas laut territorial dan pedalaman (innocent passage right).

Bagikan:

Hak Lintas Transit Dan Hak Lintas Alur Kepulauan

1. Hak Lintas Transit
     Pasal 42 konvensi dan Bab III UU 1996 mengenai hak lintas transit memperkenankan negara-negara tepi untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan dan lain-lainnya. Sehubungan dengan itu Indonesia sebaiknya membuat ketentuan-ketentuan keselamatan pelayaran terkait pelaksanaan lintas transit tersebut yang didasarkan atas berbagai kepentingan nasional. Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit, faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

     Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada pembedaan pengadaan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan-persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk meminta izin maupun pemberitahuan terlebih dahulu. Di samping itu, Pasal 38 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin lintas transit bagi segala jenis kapal maupun pesawat udara tanpa ada pembedaan berdasarkan jenis ataupun kategori. Oleh karena itu, lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk meminta izin maupun membertitahukan terlebih dahulu.
Bagikan:

Hak Lintas Damai

   Dalam sejarah laut dikenal sebagai sarana vital bagi perdagangan internasional karena perdagangan atau ekspor-impor barang antarnegara tersebut diangkut oleh kapal melalui pelayaran di laut, dan sampai sekarang pelayaran yang mengangkut barang-barang ekspor-impor itu mendominasi kurang lebih 90 persen. Pelayaran internasional itu dikuasai oleh Negara-negara maju yang memiliki armada kapal yang besar dan kuat, sehingga negara-negara berkembang meskipun memiliki laut belum mendapatkan keuntungan yang optimal dari pelayaran internasional tersebut. Pelayaran internasional berada dalam wadah organisasi dunia, yang disebut International Maritime Organization atau IMO yang bermarkas di London. IMO telah banyak mengeluarkan berbagai aturan pelayaran internasional yang mengikat setiap Negara termasuk Indonesia dan Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional di buat IMO tersebut.

     Hak lintas damai (Right of innocent passage) telah ada semenjak Zaman Gentilis sampai sekarang. Konferensi Institut de Droit internastional yang diadakan di Amsterdam 1957 menyatakan :
”Kapal asing mempunyai hak lintas damai di laut wilayah suatu negara, termasuk hak untuk berhenti dan melemparkan sauh, bila terjadi insiden pelayaran atau terpaksa oleh keadaan Force majeure atau dalam keadaan bahaya”.

     Secara historis konsep lintas damai ini tidak lepas dari pengaruh dua teori dalam humum laut internasional : Teori pertama, bahwa Semua umat manusia dapat memiliki laut sehingga laut terbuka bagi manusia dalam pelayaran maupun penggunaan lainnya, dikenal dengan res communis. Teori kedua, Laut dapat dimiliki dengan menguasai dengan mendudukinya dan siapapun dapat mengambil bagian atas lautan tersebut menjadi miliknya yang kemudian ia dapat membatasi penggunaannya, yang kemudian dikenal dengan res nullius.
Bagikan:

Pengaturan Rezim Hukum Laut

1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan
    Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan kemenangan bagi negara-negara berkembang terutama negara berkembang yang mempunyai pantai (coastal state), tetapi juga konvensi memberikan hak akses kepada negara-negara yang tidak mempunyai pantai (land-locked states). Konvensi hukum Laut 1982 menetapkan bahwa setiap negara pantai mempunyai laut teritorial (teritorial sea). Laut Teritorial ini telah diatur oleh konvensi, yaitu dalam Bab II dari mulai pasal 2 sampai dengan pasal 32. Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 berjudul “Teritorial Sea and Contigous Zone”. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982 :
1. Kedaulatan suatu negara pantai, selain atas wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara kepulauan, atas perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut teritorial.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
3. Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum laut dan hukum internasional.
Bagikan:

Indonesia Sebagai Negara Kepulauan

Konsepsi Nusantara yang bertujuan untuk menjamin kepentingan nasional dari berbagai aspek, terutama dari aspek keutuhan wilayah Indonesia. Selanjutnya, wilayah Republik Indonesia merupakan paduan tunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara daratan dan lautan serta udara di atasnya. Konsepsi baru ini kemudian diperkokoh dengan Undang-undang No. 4 Prp. 1960. Jadi, dengan ketentuan umum baru ini, “seluruh kepulauan dan perairan Indonesia adalah suatu kesatuan dimana badan air (water column) dasar laut, lapisan tanah di bawahnya, ruang udara di atasnya serta seluruh kekayaan alamnya berada di bawah kedaulatan Indonesia”.
Bagikan:

Hukum Nuklir

     Hukum nuklir adalah bangunan norma-norma hukum khusus yang dibuat untuk mengatur tindakan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan bahan dapat belah (fissionable material) dan radiasi pengion (ionizing radiation). Hukum nuklir bertujuan untuk menyediakan kerangka hukum untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan energi nuklir dan radiasi pengion, dengan cara sebagaimana mestinya untuk melindungi individu, harta benda dan lingkungan hidup.
Bagikan:

Perjanjian Internasional Ketenaganukliran

Infrastruktur yang diperlukan dalam mendukung program pemanfaatan nuklir, sesuai panduan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA), antara lain partisipasi pada perjanjian (traktat dan konvensi) internasional ketenaganukliran, yang meliputi Aspek Keselamatan (safety), Keamanan (security), Pengawasan (safeguards), dan Pertanggungjawaban Kerugian (liability). Kesemua aspek ini dicakup dalam apa yang disebut dengan hukum internasional ketenaganukliran (hukum nuklir).
Bagikan:

Perkembangan Pemanfaatan Tenaga Nuklir Oleh Berbagai Negara Di Dunia

Nuklir adalah salah satu alternatif penting dalam penyediaan energi bagi pembangunan bangsa. Bagi siapa saja yang ingin menjadi negara maju, kuat dan sejahtera, nuklir memberikan jalan keluar bagi ketergantungan dunia terhadap bahan bakar fosil yang semakin menyusut. Saat ini sekitar 50 persen kebutuhan energi dunia dipasok bahan bakar minyak. Setelah itu batu bara dan gas. Selebihnya, sumber energi lainnya, hanya memberi sumbangan yang kecil.
Perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir oleh berbagai negara di dunia diantaranya adalah:
1.      Amerika Serikat
Pada tanggal 6 Desember 1941, satu hari sebelum Pearl Harbour diserang Jepang, administrasi pemerintahan Amerika Serikat memutuskan untuk memulai proyek pembuatan bom atom, yang pada bulan Agustus 1942 secara resmi diberi nama Proyek Manhattan (Manhattan Project) yang terkenal itu dibawah pimpinan fisikawan terkemuka Robert Oppenheimer. Tidak kurang dari 4 tahun dibutuhkan oleh ahli-ahli fisika ternama dari Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, seperti Inggris, sebelum akhirnya uji coba pertama bom atom dengan kode “Trinity” dapat terlaksana pada 16 Juli 1945 di padang Alamogordo, New Mexico, Amerika Serikat.
Bagikan:

Pengertian Tenaga Nuklir Dan Sejarah Pemanfataan Tenaga Nuklir

A.    Pengertian Tenaga Nuklir
Tenaga nuklir sudah bukan lagi merupakan kata yang asing untuk didengar. Tetapi sesungguhnya tidak semua orang mengetahui dengan pasti apa itu tenaga nuklir. Bagi sebagian besar masyarakat, tenaga nuklir merupakan sebuah kata untuk menyatakan suatu alat yang maha dahsyat yang dapat membahayakan keselamatan banyak orang yakni berupa senjata nuklir. Kenyataan yang menyebabkan kata tenaga nuklir seolah-olah merupakan sebuah kata yang sangat berbahaya tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya pada pengetahuan masayarakat tersebut. Mereka hanya memandang dari kejadian sejarah, bahwa pada saat Perang Dunia II, nuklir dijadikan sebagai senjata yang memusnahkan dua kota di Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki yang menimbulkan banyak sekali korban jiwa dan juga kerusakan lingkungan hidup yang parah. Disamping digunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya, tenaga nuklir juga digunakan sebagai pembangkit listrik. Kejadian ledakan pada tahun 1986 di PLTN Chernobyl yang menelan banyak korban jiwa bahkan bertahun-tahun setelahnya akibat radiasi nuklir tersebut juga kembali menimbulkan persepsi buruk masyarakat akan penggunaan nuklir.
Untuk mengenal lebih jauh mengenai tenaga nuklir, maka terlebih dahulu harus diketahui apa itu nuklir. Nuklir adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau menggunakan inti atau energi (tenaga) atom. Jadi, tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion. Dengan kata lain, tenaga nuklir adalah tenaga yang berasal dari inti atom yang dapat menghasilkan tenaga luar biasa besarnya.
Segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir dikenal dengan istilah ketenaganukliran.
Bagikan:

Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Kelompok Minoritas Di Indonesia

A.    Prinsip Kesetaraan Dan Non Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas
Secara regulasi prinsip kesetaraan dan non diskriminasi ini tertuang dalam beberapa instrumen, baik yang levelnya internasional (apabila dimaksudkan untuk diberlakukan di seluruh bagian dan semua bangsa di dunia), regional (yang diperuntukkan bagi suatu kawasan tertentu, yakni Afrika, Amerika (Amerika Utara, Amerika Selatan dan Karibia), Asia, dan Oseania (Pasifik Selatan) subregional (seperti Asia Tenggara) dan nasional (terbatas untuk negara yang bersangkutan).
Pada sekup internasional ketentuan kesetaraan hak dan non diskriminasi termuat dalam Piagam PBB Pasal 1 ayat (3), dimana organisasi PBB dan anggotanya mempunyai tujuan:
”....mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalanpersoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Pasal 55 huruf c –masih dalam Piagam PBB– mengamanahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memajukan:
”penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Dalam dokumen klasik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 2 dan Pasal 6 menegaskan:33
Pasal 2 berbunyi : ”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Selanjutnya tidak diperbolehkan adanya pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau berasal dari wilayah di bawah batasan kedaulatan lainnya”.
Pasal 6 berbunyi :
”Setiap orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi”.
Prinsip non diskriminasi juga dijumpai dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 2 ayat (2) berbunyi:
”Negara-negara pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan diberlakukan tanpa adanya pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, keturunan atau status lain.”
Selain itu ditemukan pula pada International Convenant Civil and Politic Rights (ICCPR) Pasal 2 ayat 1. Dinyatakan:
”Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di bawah yurisdiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.”
Sementara Pasal 26 menyatakan:
”Semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau status lainnya”.
Frasa ”semua individu” dan ”semua orang” menandakan bahwa jangkauan subyek hak Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik luas. Penghormatan dan penjaminan hak yang diakui dalam kovenan (Pasal 2) dan kedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun atas perlindungan hukum yang sama (Pasal 26) berlaku terhadap siapapun individunya tanpa melihat ia berasal dari kelompok minoritas atau bukan.35 Sebagai ilustrasi, manakala kovenan ini menjamin kebebasan untuk beragama bagi semua orang, maka atas nama prinsip kesetaraan, jaminan hak untuk beragama ini tidak boleh hanya berlaku bagi kelompok mayoritas saja tapi juga bagi mereka yang tergolong minoritas. Begitupun sebaliknya, jaminan hak beragama tidak boleh hanya berlaku bagi minoritas tapi mengabaikan mayoritas.
Prinsipnya tidak boleh ada pembedaan/diskriminasi perlakuan. Sementara mayoritas dapat beribadah dengan aman, minoritas justru beribadah dalam tekanan. Padahal gambaran kondisi ideal di undang-undang, baik mayoritas atau minoritas punya posisi yang sederajat untuk memangku hak asasinya.
Hampir dalam seluruh rezim hukum HAM, prinsip non diskriminasi jadi prinsip yang strategis. Dalam tingkatan internasional, selain instrumen yang sudah diungkapkan di muka, prinsip non diskriminasi antara lain didapati juga dalam Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional Tentang Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Pembedaan Warna Kulit (Apartheid), Deklarasi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan. Sedangkan dalam domain regional, prinsip non diskriminasi diantaranya dijumpai dalam Piagam Afrika (Banjul) Tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Amerika Tentang Hak dan Tanggung Jawab Manusia, Konvensi Inter-Amerika Mengenai Pemberian Hak- Hak Sipil Kepada Perempuan, Konvensi Eropa Untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental dan Piagam Sosial Eropa.
Sedangkan dalam konteks hukum nasional negara Indonesia, selain ICCPR yang sudah dirati􀏐ikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, prinsip non diskriminasi juga termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UUD 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 3 ayat (3)), Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 3 huruf c) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 2 huruf a).
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia sebagaimana telah dipaparkan di muka pada Pasal 28 D dan 28 I menegaskan bahwa:
Pasal 28 D yang berbunyi : ”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang jadi salah satu barometer penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia Pasal 3 ayat (3) dengan bernas juga mengamanatkan setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.

B.     Upaya Perlindungan Hukum
Mengingat posisinya yang sensitif, ICCPR secara khusus mengatur perlindungan bagi orang yang termasuk kelompok minoritas. Kekhususan ini tercantum dalam Pasal 27, yang menyebutkan:
Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budaya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.
Dalam General Comment Nomor 23, sebagaimana dinukil Patra M. Zen, setidaknya dapat diketahui lingkup minoritas yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi teritorial dapat berbasiskan atas: 1) etnis; 2) agama atau kepercayaan, dan; 3) minoritas dalam lingkup bahasa. Berlandaskan cakupan tersebut, negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa keberadaan dan pelaksanaan hak ini dilindungi dari penyangkalan atau pelanggaran. Oleh karena itu dibutuhkan adanya langkah-langkah perlindungan yang positif tidak hanya dari tindakan negara itu sendiri, baik melalui kewenangan legislatif, yudisial maupun administratif, tetapi juga dari tindakan orang-orang lain di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Penjabaran lebih khusus dan spesifik lagi mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta larangan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dibeberkan dalam sebuah dokumen tersendiri yakni, Deklarasi Mengenai Hak-Hak Penduduk yang Termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan Bahasa yang disahkan dalam Resolusi PBB nomor 47/135 pada 18 Desember 1992. Majelis Umum PBB dalam pertimbangannya mengungkapkan, deklarasi ini dicetuskan karena pemajuan dan perlindungan hak orang-orang yang termasuk dalam bangsa atau suku bangsa, agama dan bahasa minoritas akan memberi sumbangan pada stabilitas politik dan sosial dimana mereka tinggal.
Dalam deklarasi ini, kelompok minoritas selaku subyek pemangku hak diberikan:
1.      Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak untuk memeluk dan menjalankan agama mereka sendiri dan hak untuk menggunakan bahasa mereka sendiri (Pasal 2 ayat (1)).
2.      Hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi dan publik secara efektif (Pasal 2 ayat (2)).
3.      Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam keputusan-keputusan pada tingkat nasional dan regional (Pasal 2 ayat (3)).
4.      Hak untuk mendirikan atau mempertahankan perkumpulan mereka sendiri (Pasal 2 ayat (4)).
5.      Hak untuk mendirikan dan memelihara hubungan bebas dan damai dengan anggota lain dari kelompok mereka, dengan orang yang termasuk kaum minoritas lainnya, dengan penduduk dari negara lain (Pasal 2 ayat (5)).
6.      Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka secara perorangan maupun dalam komunikasi dengan anggota-anggota lain dari kelompok mereka tanpa diskriminasi (Pasal (3)).
Sedangkan negara sebagai subyek pemangku kewajiban diberi kewajiban untuk mengambil langkah-langkah:
1.      Melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama, dan bahasa kaum minoritass dalam wilayahnya dan akan mendorong kondisikondisi yang memajukan identitas tersebut (Pasal 1 ayat (1)).
2.      Mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang tepat untuk mencapainya (Pasal 1 ayat (2)).
3.      Untuk menjamin orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat melaksanakan hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental mereka dengan sepenuhnya dan efektif tanpa diskriminasi, dan dengan kesamaan seutuhnya di hadapan hukum (Pasal 4 ayat (1)).
4.      Upaya-upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan agar orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat mengekspresikan ciri khas mereka dan mengembangkan budaya, bangsa, agama, tradisi, dan kebiasaan mereka (Pasal 4 ayat (2)).
5.      Agar kaum minoritas punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa ibu mereka atau menggunakan bahasa ibu mereka (Pasal 4 ayat (3)).
6.      Upaya-upaya di bidang pendidikan (Pasal 4 ayat (4)).
7.      Mempertimbangkan langkah yang tepat sehingga orang-orang yang termasuk
kaum minoritas dapat berpartisipasi secara penuh dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi di negara mereka (Pasal 4 ayat (5)).
8.      Untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sah dari kaum minoritas dalam mengembangkan kebijakan dan program nasional serta dalam perencanaan dan penerapan program kerja sama dan bantuan (Pasal 5).
9.      Untuk bekerja sama dengan negara-negara lain berkenaan dengan kaum minoritas, termasuk pertukaran informasi dan pengalaman-pengalaman, dalam rangka memajukan pemahaman dan kepercayaan satu sama lain (Pasal 6).
10.  Untuk memajukan penghormatan terhadap hak yang terdapat dalam deklarasi (Pasal 7).
11.  Untuk memenuhi kewajiban dan ikrar dari negara-negara sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian dan kesepakatan internasional dimana mereka menjadi negara pihak (Pasal 8).
Deklarasi mengenai hak-hak penduduk yang termasuk kelompok minoritas berdasarkan kewarganegaraan, etnis, agama dan bahasa merupakan instrumen yang kian menegaskan keberadaan Pasal 27 ICCPR. Sekalipun sifatnya deklaratif yang oleh karenanya tak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (soft law) tapi ia punya pengaruh politis bagi negara untuk memberi penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM kelompok minoritas. Perlindungan atas hakhak minoritas ini ditujukan pada upaya untuk menjamin keberlangsungan hidup dan keberlanjutan pengembangan identitas budaya, agama dan sosial kelompok minoritas yang bersangkutan.
Sementara terhadap perlindungan terhadap hak asasi kelompok minoritas, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memang tidak terang menyinggungnya. Hanya disebutkan pada Pasal 5 ayat (3):
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pada penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Kendati kelompok minoritas tidak tercatat, namun dalam perkembangan wacana hukum hak asasi manusia kelompok minoritas diakui sebagai kelompok utama subyek hukum hak asasi manusia, bersama indigienous people dan refugees. Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta keputusan-keputusan penting pengadilan, juga adanya mekanisme khusus dalam PBB baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups maupun independent experts menguatkan keberadaan kelompok minoritas sebagai subyek dalam hukum HAM.
Di samping itu seperti sudah dipaparkan, Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dimana Pasal 27 kovenan tersebut melindungi orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tidak dapat diingkari haknya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 27 kovenan itu berlaku juga di Indonesia, oleh sebab ratifikasi dimaknai dengan penerimaan hukum internasional menjadi hukum positif. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Sama dengan konteks hukum HAM internasional, pada tingkat nasional prinsip setara dan non diskriminasi harus berlaku bagi semua orang, lepas dia dari kelompok minoritas atau bukan. Namun, karena kondisi individu-individu dari kelompok minoritas di Indonesia rentan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi, maka negara wajib melindungi orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini. Semata-mata karena kekhususan posisi mereka yang lemah dan inferior. Perlindungan ini juga dalam kerangka pelaksanaan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi yang terkandung dalam UUD 1945, Undang-Undang 39 Tahun 1999 dan ICCPR.
Alhasil dalam perspektif hukum HAM, kelompok minoritas berada pada tingkat setara dengan individu-invidu pemangku hak yang lain. Setara adalah prinsip utama HAM. Dalam kesetaraan, perlakuan diskriminatif tidak diberi tempat. Tidak ada izin bagi siapa pun untuk bertindak diskriminatif terhadap siapa pun, entah dia berasal dari kelompok minoritas atau bukan, termasuk oleh negara sebagai subyek hukum pemangku kewajiban HAM. Semua orang punya akses yang sama dalam kehidupan politik, untuk memeluk agama, untuk memilih kepercayaan yang diyakini, untuk menjalankan ritual agamanya dengan tenang, untuk berbahasa, berbudaya, untuk tidak disiksa, untuk memperoleh jaminan atas rasa aman dan untuk akses hak asasi manusia keseluruhan. Namun karena senyatanya kelompok minoritas adalah warga kelas bawah, maka dibutuhkan hak khusus untuk mengangkat martabat mereka.
Seperti sudah dipaparkan di muka, hak khusus bukanlah hak istimewa, tapi hak ini diberikan agar kaum minoritas mampu menjaga identitas, ciri-ciri dan tradisi khasnya. Hak khusus seperti ini penting untuk mencapai perlakuan yang sama. Hanya ketika kaum minoritas berdaya untuk beribadah menurut agama yang diyakini, menggunakan bahasa-bahasa mereka, mendapatkan keuntungan dari pelayanan-pelayanan yang mereka organisasikan sendiri, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi negara, barulah mereka mencapai status yang selama ini dimiliki oleh kelompok mayoritas.
Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru