A.
Prinsip Kesetaraan Dan Non Diskriminasi Terhadap Kelompok
Minoritas
Secara regulasi prinsip kesetaraan dan non
diskriminasi ini tertuang dalam beberapa instrumen, baik yang levelnya internasional (apabila
dimaksudkan untuk diberlakukan
di seluruh bagian dan semua bangsa di dunia), regional (yang diperuntukkan bagi suatu kawasan
tertentu, yakni Afrika, Amerika (Amerika Utara, Amerika Selatan dan Karibia), Asia, dan Oseania (Pasifik Selatan) subregional (seperti Asia Tenggara) dan nasional
(terbatas untuk negara yang bersangkutan).
Pada sekup internasional ketentuan kesetaraan
hak dan non diskriminasi termuat
dalam Piagam PBB Pasal 1 ayat (3), dimana organisasi PBB dan anggotanya mempunyai tujuan:
”....mengadakan kerjasama internasional guna
memecahkan persoalanpersoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula
dalam usaha-usaha memajukan
dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh
umat manusia tanpa membedakan
ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”
Pasal 55 huruf c –masih dalam Piagam PBB–
mengamanahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
memajukan:
”penghormatan hak asasi manusia seantero
jagad demikian pula pengejawantahannya
serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa
atau agama.”
Dalam dokumen klasik Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM), Pasal
2 dan Pasal 6 menegaskan:33
Pasal 2 berbunyi : ”Setiap orang berhak atas
semua hak dan kebebasan yang
dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Selanjutnya tidak
diperbolehkan adanya pembedaan
atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari
mana seseorang berasal, baik
dari negara yang merdeka, wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau berasal dari wilayah di bawah batasan
kedaulatan lainnya”.
Pasal 6 berbunyi :
”Setiap orang sama di depan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi
yang bertentangan dengan
deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi”.
Prinsip non diskriminasi juga dijumpai dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 2 ayat (2) berbunyi:
”Negara-negara pihak dalam kovenan ini
berjanji untuk menjamin bahwa
hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan diberlakukan tanpa adanya pembedaan apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan,
keturunan atau status lain.”
Selain itu ditemukan pula pada International
Convenant Civil and Politic Rights (ICCPR) Pasal 2 ayat 1. Dinyatakan:
”Setiap negara pihak pada kovenan ini
berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di
bawah yurisdiksinya, tanpa
pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau
pandangan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.”
Sementara Pasal 26 menyatakan:
”Semua orang berkedudukan sama di depan hukum
dan berhak, tanpa diskriminasi
apapun atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi
apapun, dan menjamin perlindungan
yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap bahasa, agama, politik atau pendapat lain,
asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau status lainnya”.
Frasa ”semua individu” dan ”semua orang”
menandakan bahwa jangkauan subyek
hak Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik luas. Penghormatan dan
penjaminan hak yang diakui dalam kovenan (Pasal 2) dan kedudukan sama di depan hukum dan berhak, tanpa diskriminasi apapun atas perlindungan hukum
yang sama (Pasal 26) berlaku terhadap
siapapun individunya tanpa melihat ia berasal dari kelompok minoritas atau bukan.35 Sebagai ilustrasi, manakala
kovenan ini menjamin kebebasan untuk beragama bagi semua orang, maka atas nama prinsip kesetaraan, jaminan
hak untuk beragama ini tidak boleh hanya berlaku
bagi kelompok mayoritas saja tapi juga bagi mereka yang tergolong minoritas. Begitupun sebaliknya, jaminan
hak beragama tidak boleh hanya berlaku bagi
minoritas tapi mengabaikan mayoritas.
Prinsipnya tidak boleh ada
pembedaan/diskriminasi perlakuan. Sementara mayoritas dapat beribadah dengan aman, minoritas justru
beribadah dalam tekanan.
Padahal gambaran kondisi ideal di undang-undang, baik mayoritas atau minoritas punya posisi yang sederajat untuk
memangku hak asasinya.
Hampir dalam seluruh rezim hukum HAM, prinsip
non diskriminasi jadi prinsip
yang strategis. Dalam tingkatan internasional, selain instrumen yang sudah diungkapkan di muka, prinsip non
diskriminasi antara lain didapati juga dalam Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial,
Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Internasional
Tentang Pemberantasan dan Penghukuman
Kejahatan Pembedaan Warna Kulit (Apartheid), Deklarasi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan. Sedangkan dalam domain regional, prinsip non
diskriminasi diantaranya
dijumpai dalam Piagam Afrika (Banjul) Tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia,
Deklarasi Amerika Tentang Hak dan Tanggung Jawab Manusia, Konvensi Inter-Amerika Mengenai Pemberian
Hak- Hak Sipil Kepada Perempuan, Konvensi Eropa
Untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental dan Piagam Sosial Eropa.
Sedangkan dalam konteks hukum nasional negara
Indonesia, selain ICCPR yang
sudah diratiikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, prinsip non diskriminasi juga termuat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, antara lain UUD 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (Pasal 3 ayat (3)), Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Pasal 3 huruf c) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 2 huruf a).
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
konstitusi Indonesia sebagaimana telah dipaparkan di muka pada Pasal 28 D dan 28 I menegaskan bahwa:
Pasal 28 D yang berbunyi : ”(1) Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28 I ayat
(2) yang menyatakan: “Setiap
orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu”.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang jadi
salah satu barometer penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia Pasal 3 ayat (3) dengan bernas juga mengamanatkan setiap orang
berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.
B.
Upaya Perlindungan Hukum
Mengingat posisinya yang sensitif, ICCPR
secara khusus mengatur perlindungan bagi orang yang termasuk kelompok minoritas. Kekhususan ini tercantum
dalam Pasal 27, yang menyebutkan:
Di negara-negara dimana terdapat golongan
minoritas berdasarkan etnis,
agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak
dapat diingkari haknya, dalam
komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budaya sendiri, untuk menjalankan
dan mengamalkan agama
mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.
Dalam General Comment Nomor 23,
sebagaimana dinukil Patra M. Zen, setidaknya dapat diketahui lingkup minoritas yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi teritorial dapat berbasiskan
atas: 1) etnis; 2) agama atau kepercayaan, dan; 3) minoritas dalam lingkup bahasa. Berlandaskan cakupan tersebut,
negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa keberadaan dan pelaksanaan hak ini dilindungi dari
penyangkalan atau pelanggaran. Oleh karena itu dibutuhkan adanya langkah-langkah perlindungan yang
positif tidak hanya dari tindakan
negara itu sendiri, baik melalui kewenangan legislatif, yudisial maupun administratif, tetapi juga dari tindakan orang-orang
lain di dalam wilayah negara yang
bersangkutan.
Penjabaran lebih khusus dan spesifik lagi mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta larangan
diskriminasi terhadap kelompok
minoritas dibeberkan dalam sebuah dokumen tersendiri yakni, Deklarasi Mengenai Hak-Hak Penduduk yang
Termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan Bahasa yang disahkan dalam Resolusi PBB nomor 47/135 pada 18 Desember
1992. Majelis Umum PBB dalam pertimbangannya
mengungkapkan, deklarasi ini dicetuskan karena pemajuan dan perlindungan hak orang-orang yang termasuk
dalam bangsa atau suku bangsa, agama dan bahasa minoritas akan memberi sumbangan pada stabilitas
politik dan sosial dimana
mereka tinggal.
Dalam deklarasi ini, kelompok minoritas
selaku subyek pemangku hak diberikan:
1. Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak
untuk memeluk dan menjalankan
agama mereka sendiri dan hak untuk menggunakan bahasa mereka sendiri (Pasal 2 ayat (1)).
2. Hak untuk berpartisipasi aktif dalam
kehidupan budaya, agama, sosial, ekonomi dan
publik secara efektif (Pasal 2 ayat (2)).
3. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam
keputusan-keputusan pada tingkat
nasional dan regional (Pasal 2 ayat (3)).
4. Hak untuk mendirikan atau mempertahankan
perkumpulan mereka sendiri (Pasal
2 ayat (4)).
5. Hak untuk mendirikan dan memelihara hubungan
bebas dan damai dengan anggota
lain dari kelompok mereka, dengan orang yang termasuk kaum minoritas lainnya, dengan penduduk dari
negara lain (Pasal 2 ayat (5)).
6. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka
secara perorangan maupun dalam
komunikasi dengan anggota-anggota lain dari kelompok mereka tanpa diskriminasi (Pasal (3)).
Sedangkan negara sebagai subyek pemangku
kewajiban diberi kewajiban untuk
mengambil langkah-langkah:
1.
Melindungi
eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama, dan bahasa kaum minoritass dalam wilayahnya
dan akan mendorong kondisikondisi yang
memajukan identitas tersebut (Pasal 1 ayat (1)).
2.
Mengambil
tindakan legislatif dan tindakan lain yang tepat untuk mencapainya (Pasal 1 ayat (2)).
3.
Untuk
menjamin orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat melaksanakan hak asasi dan
kebebasan-kebebasan fundamental mereka dengan
sepenuhnya dan efektif tanpa diskriminasi, dan dengan kesamaan seutuhnya di hadapan hukum (Pasal 4 ayat
(1)).
4.
Upaya-upaya
untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan agar orang-orang yang termasuk kaum minoritas
dapat mengekspresikan ciri khas mereka
dan mengembangkan budaya, bangsa, agama, tradisi, dan kebiasaan mereka (Pasal 4 ayat (2)).
5.
Agar
kaum minoritas punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa ibu mereka atau menggunakan bahasa ibu mereka
(Pasal 4 ayat (3)).
6.
Upaya-upaya
di bidang pendidikan (Pasal 4 ayat (4)).
7.
Mempertimbangkan
langkah yang tepat sehingga orang-orang yang termasuk
kaum
minoritas dapat berpartisipasi secara penuh dalam perkembangan dan pembangunan ekonomi di negara mereka (Pasal 4
ayat (5)).
8.
Untuk
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sah dari kaum minoritas dalam mengembangkan kebijakan dan program
nasional serta dalam perencanaan dan penerapan program kerja sama dan bantuan
(Pasal 5).
9.
Untuk
bekerja sama dengan negara-negara lain berkenaan dengan kaum minoritas, termasuk pertukaran informasi dan
pengalaman-pengalaman, dalam rangka
memajukan pemahaman dan kepercayaan satu sama lain (Pasal 6).
10. Untuk memajukan penghormatan terhadap hak
yang terdapat dalam deklarasi (Pasal
7).
11. Untuk memenuhi kewajiban dan ikrar dari
negara-negara sebagaimana dicantumkan
dalam perjanjian dan kesepakatan internasional dimana mereka menjadi negara pihak (Pasal 8).
Deklarasi mengenai hak-hak penduduk yang
termasuk kelompok minoritas berdasarkan
kewarganegaraan, etnis, agama dan bahasa merupakan instrumen yang kian menegaskan keberadaan Pasal 27
ICCPR. Sekalipun sifatnya deklaratif yang
oleh karenanya tak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (soft law) tapi ia punya pengaruh politis bagi negara
untuk memberi penghormatan, pemenuhan
dan perlindungan HAM kelompok minoritas. Perlindungan atas hakhak minoritas ini ditujukan pada upaya untuk
menjamin keberlangsungan hidup dan
keberlanjutan pengembangan identitas budaya, agama dan sosial kelompok minoritas yang bersangkutan.
Sementara terhadap perlindungan terhadap hak
asasi kelompok minoritas, Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memang tidak terang menyinggungnya. Hanya disebutkan pada Pasal 5
ayat (3):
Setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pada penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud
dengan kelompok masyarakat rentan
antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Kendati kelompok
minoritas tidak tercatat, namun dalam perkembangan
wacana hukum hak asasi manusia kelompok minoritas diakui sebagai kelompok utama subyek hukum hak asasi
manusia, bersama indigienous people dan refugees.
Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta keputusan-keputusan penting pengadilan, juga
adanya mekanisme khusus dalam PBB
baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups maupun independent experts menguatkan keberadaan kelompok minoritas sebagai subyek dalam
hukum HAM.
Di samping itu seperti sudah dipaparkan,
Indonesia sudah meratifikasi
ICCPR dimana Pasal 27 kovenan tersebut melindungi orang-orang
yang tergabung dalam kelompok-kelompok
minoritas tidak dapat diingkari haknya. Dengan demikian, ketentuan Pasal 27 kovenan itu berlaku juga
di Indonesia, oleh sebab ratifikasi dimaknai dengan penerimaan hukum internasional
menjadi hukum positif. Hal ini
sejalan dengan bunyi Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang
menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Sama dengan konteks hukum HAM internasional,
pada tingkat nasional prinsip
setara dan non diskriminasi harus berlaku bagi semua orang, lepas dia dari kelompok minoritas atau bukan. Namun,
karena kondisi individu-individu dari
kelompok minoritas di Indonesia rentan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi, maka negara wajib melindungi
orang-orang yang tergabung dalam kelompok
ini. Semata-mata karena kekhususan posisi mereka yang lemah dan inferior. Perlindungan ini juga dalam
kerangka pelaksanaan prinsip kesetaraan dan
non diskriminasi yang terkandung dalam UUD 1945, Undang-Undang 39 Tahun 1999 dan ICCPR.
Alhasil dalam perspektif hukum HAM, kelompok
minoritas berada pada tingkat
setara dengan individu-invidu pemangku hak yang lain. Setara adalah prinsip utama HAM. Dalam kesetaraan, perlakuan
diskriminatif tidak diberi tempat.
Tidak ada izin bagi siapa pun untuk bertindak diskriminatif terhadap siapa pun, entah dia berasal dari kelompok
minoritas atau bukan, termasuk oleh negara
sebagai subyek hukum pemangku kewajiban HAM. Semua orang punya akses yang sama dalam kehidupan politik,
untuk memeluk agama, untuk memilih kepercayaan
yang diyakini, untuk menjalankan ritual agamanya dengan tenang, untuk berbahasa, berbudaya, untuk tidak
disiksa, untuk memperoleh jaminan atas
rasa aman dan untuk akses hak asasi manusia keseluruhan. Namun karena senyatanya kelompok minoritas adalah warga kelas
bawah, maka dibutuhkan hak khusus
untuk mengangkat martabat mereka.
Seperti sudah dipaparkan di muka, hak khusus
bukanlah hak istimewa, tapi hak ini
diberikan agar kaum minoritas mampu menjaga identitas, ciri-ciri dan tradisi khasnya. Hak khusus seperti ini
penting untuk mencapai perlakuan yang sama.
Hanya ketika kaum minoritas berdaya untuk beribadah menurut agama yang diyakini, menggunakan bahasa-bahasa
mereka, mendapatkan keuntungan dari
pelayanan-pelayanan yang mereka organisasikan sendiri, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi negara,
barulah mereka mencapai status yang
selama ini dimiliki oleh kelompok mayoritas.