HUKUM PIDANA
A. Pengertian Hukum Pidana
Dalam literatur telah banyak dijelaskan
pengertian dan makna hukum pidana sebagai salah satu bidang dalam ilmu hukum.
Pendefinisian Hukum pidana harus dimaknai sesuai dengan sudut pandang yang
menjadi acuannya. Pada prinsipnya secara umum ada dua pengertian tentang hukum
pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan ius puniend. Ius poenale merupakan pengertian hukum pidana
objektif. hukum pidana ini dalam pengertian menurut Mezger adalah "
aturan-aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan tertentu yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana."Pada
bagian lain Simons merumuskan hukum pidana objektif sebagai “Semua
tindakan-tindakan keharusan (gebod)
dan larangan (verbod) yang dibuat
oleh negara atau penguasa umum lainnya, yang kepada pelanggar ketentuan
tersebut diancam derita khusus, yaitu pidana, demikian juga peraturan-peraturan
yang menentukan syarat bagi akibat hukum itu. Selain itu Pompe merumuskan hukum pidana objektif sebagai semua aturan hukum
yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa
macam pidananya yang bersesuainya.
Sebagai bahan perbandingan perlu
kiranya dikemukakan pandangan pakar hukum pidana Indonesia tentang apa yang
dimaksud dengan hukum pidana (objektif). Moeljatno memberikan makna hukum
pidana sebagai bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b.
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
c.
Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Perumusan Moeljatno mengindikasikan
bahwa hukum pidana merupakan seperangkat aturan yang mengatur tentang 3 unsur
yakni aturan tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan proses verbal
penegakan hukum jika terjadi tindak pidana. Unsur ini menunjukkan keterkaitan
antara hukum pidana materil dan hukum pidana formil, yang bermakna bahwa
pelanggaran terhadap hukum pidana materil tidak akan ada artinya tanpa
ditegakkannya hokum pidana formil (hukum acara pidana). Demikian pula
sebaliknya hukum pidana formil tidak dapat berfungsi tanpa ada pelanggaran
norma hukum pidana materil (tindak pidana).
Andi Zainal Abidin Farid mengemukakan
istilah hukum pidana bermakna jamak yang meliputi :
a.
Perintah dan larangan, yang atas
pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh
badan-badan negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan
diindahkan oleh setiap orang;
b.
Ketentuan-ketentuan yang menetapkan
dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap
pelanggaran-peraturan-peraturan itu; dengan kata lain hukum penitensier atau
hukum sanksi.
c.
Kaidah-kaidah yang menentukan ruang
lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan wilayah negara
tertentu.
Sementara itu ius
puniendi, atau pengertian hukum pidana subjektif menurut Sudarto memiliki
dua pengertian yaitu :
a. Pengertian
luas, yaitu hubungan dengan hak negara / alat-alat perlengkapannya untuk
mengenakan atau menentukan ancaman pidana terhadap suatu perbuatan.
b.
Pengertian sempit, yaitu hak negara
untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan tindak pidana.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut di
atas merupakan kewenangan dari lembaga legislatif untuk merumuskan perbuatan
pidana sekaligus ancaman pidananya, untuk selanjutnya tugas dan fungsi
memeriksa dan memurut suatu perkara pidana ada dalam kewenangan lembaga
yudikatif.
B.
Pembagian Hukum Pidana
Pembagian
hukum pidana dilakukan dengan mempelajari atau mengamati syarat, hakikat dan
tujuan dari hukum itu sendiri serta kepentingan manusia sebagai individu maupun
insan bermasyarakat yang perlu dilindungi dan lapangan ilmu pengetahuan hukum
pidana pengelompokan dianggap penting sebagai bahan pengkajian hukum secara
sistematis dan orientasi pada independensi kelimuwan dan tidak kalah penting secara
praktis adalah legalitas dalam penerapan hukumnya.
Pembagian Hukum Pidana dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Berdasarkan
wilayah berlakunya :
(a) Pidana
umum (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, KUHP dan Undang-undang tersebar
di luar KUHP)
(b) Hukum
Pidana Lokal (Perda untuk daerah-daerah tertentu)
2) Berdasarkan
bentuknya :
(a) Hukum
Pidana tertulis terdiri dari dua bentuk, yaitu :
·
Hukum Pidana yang dikodifikasikan yaitu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); dan
·
Hukum Pidana yang tidak dikodifikasikan
(tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang tersendiri seperti UU
Tindak Pidana Ekonomi, UU Pemberantasan Tindak Pidana/korupsi, Uang, UU
Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan sebagainya).
(b) Hukum
Pidana tidak tertulis (Hukum Pidana Adat) adalah hukum yang berlaku hanya untuk
masyarakat-masyarakat tertentu. Dasar hukum keberlakuannya pada zaman Hindia
Belanda adalah Pasal 131 IS (indische
staatregeling) atau AB (Algemene
Bepalingen van Wetgeving). Pada zaman UUDS Pasal 32, 43 Ayat (4), Pasal 104
Ayat (1), Pasal 14, Pasal 13, Pasal 16 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman dalam Pasal 5 Ayat (1), UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dalam
Pasal Ayat (3 sub b).
3) Hukum
Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
(a) Hukum
pidana umum adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum
bagi semua orang.
(b) Hukum
pidada khusus adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang pengaturannya secara
khusus yang titik berat pada golongan tertentu (militer) atau suatu tindaka
tertentu, seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi. Khususannya
meliputi tindak pidananya (desersi atau insubordinasi dalam tindak pidana di
kalangan militer) dan acara penyelesaian perkara pidananya (in absensia, pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi).
Prinsip penerapan antara kedua
jenis hukum pidana ini berlaku asas lex
spesialis derogatlegi generalis bahwa
hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada ketentuan umum (Asas ini terdapat
dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP)
4) Hukum
Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
(a)
Hukum pidana materil adalah hukum yang
mengatur atau berisikan tingkah laku yang diancam pidana, siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan dan berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan.
(b)
Hukum pidana formil (hukum acara
pidana) adalah seperangkat norma atau aturan yang menjadi dasar atau pedoman
bagi aparat penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan
kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana dalam suatu kasus tindak pidana.
C. Sifat
Hukum Pidana
Hukum publik adalah hukum yang
mengatur kepentingan publik (masyarakat umum), apabila diperinci sifat hukum
publik tersebut dalam hubungannya dengan hukum pidana maka akan ditemukan
cirri-ciri hukum publik sebagai berikut :
a.
Mengatur
hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perorang.
b.
Kedudukan
penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perorang.
c.
Penuntutan
seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana tidak bergantung kepada
perorangan (yang dirugikan) melainkan pada umumnya negara/penguasa wajib
menuntut berdasarkan kewenangannya.
Kebanyakan sarjana berpandangan Hukum Pidana adalah hukum publik.
Mereka di antaranya Simons, Pompe, Van Hamel, Van Scravendijk, Tresna, Van
Hattum dan Han Bing Siong. Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum yang
bersifat publik karena mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Hal ini
berbeda dari Hukum Perdata yang bersifat privat yang mengatur yang mengatur
hubungan antara warga masyarakat satu dan warga yang lainnya.
Namun, sejarah menunjukkan hukum pidana pada mulanya juga
bersifat hukum privat. Suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan, atau
merugikan seseorang baik fisik maupun materiil akan mendapatkan pembalasan dari
pihak yang dirugikan (korban). Istilah yang biasa dipakai adalah 'mata ganti
mata, gigi ganti gigi'.
Beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana
bersifat hukum publik antara lain van Kan, Paul Scholten, Logeman, Binding dan
Utrecht. Pada umumnya para sarjana ini berpendapat bahwa hukum pada pokoknya
tidak mengadakan kaidah-kaidah (norma) baru, melainkan norma hukum pidana itu
telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya (hukum perdata, hukum tata
Negara dan sebagainya) dan juga sudah ada sanksi-sanksinya. Hanya pada suatu
tingkatan tertentum sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga
dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disertai dengan sanksi
pidana. Binding mengatakan bahwa norma tidak terdapat pada peraturan pidana tetapi
dalam aturan-aturan di luar hukum pidana, baik hukum tertulis (hukum perdata,
hukum dagang dan lainnya) maupun hukum tidak tertulis. Aturan pidana hanya
untuk mengatur hubungan negara dengan penjahat, hanya memuat ancaman pidana
belaka, aturan ini hanya dipergunakan untuk memidana seseorang yang tidak taat
akan norma-norma.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, tidak seluruh sarjana
sependapat hukum pidana adalah hukum publik. Dilihat dari sejarah
perkembangannya hukum pidana berasal dari hukum privat yang kemudian berkembang
menjadi hukum pidana publik, selanjutnya meletakkan kekuasaan untuk menjalankan
hukum tersebut di tangan negara (penguasa) dalam upaya menciptakan ketertiban. Namun
demikian, masih ada aturan-aturan hukum pidana yang bersifat privat, sehingga
negara tidak serta merta bisa menegakkannya, tidak memiliki kewajiban untuk
menjalankannya tanpa adanya permohonan dari pihak yang dirugikan. Kerugian
pihak korban dianggap lebih besar daripada kepentingan masyarakat dan bersifat
sangat pribadi. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan delik aduan dalam hukum
pidana.
D. Sumber
Hukum Pidana
Secara umum hukum pidana dapat
ditemukan dalam beberapa sumber hukum yakni :
1)
KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia
terdiri atas :
(a) Tiga Buku KUHP,
yaitu Buku I Baguan Umum, Buku II tentang Kejahatan, Buku III tentang
Pelanggaran.
(b) Memorie van
Toelichting (MvT) atau penjelasan terhadap KUHP. Penjelasan ini tidak
seperti penjelasan dalam perundang-undangan Indonesia. Penjelasan ini
disampaikan bersama rancangan KUHP pada tweede
kamer (parlemen Belanda) pada tahun 1881 dan diundangkan tahun 1886.
KUHP sendiripun telah mengalami banyak
perubahan maupun pengurangan. Dengan demikian undang-undang yang mengubah KUHP
jugs merupakan sumber hukum pidana Indonesia.
2)
Undang-undang diluar KUHP yang berupa
tindak pidana khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Narkotika, UU Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT).
3)
Beberapa yurisprudensi yang memberikan
makna atau kaidah hukum tentang istilah dalam hukum pidana, misalnya perbuatan
apa saja yang dimaksud dengan penganiayaan sebagaimana dirumuskan Pasal 351 KUHP yang dalam perumusan pasalnya
hanya menyebut kualifikasi (sebutan tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur
tindak pidananya. Dalam salah satu yurisprudensi dijelaskan bahwa terjadi
penganiayaan dalam hal terdapat perbuatan kesengajaan yang menimbulkan perasaan
tidak enak, rasa sakit dan luka pada orang lain. Selain itu Pasal 351 ayat (4)
KUHP menyebutkan bahwa penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan
orang lain.
Yurisprudensi Nomor Y.I.II/1972 mengandung
kaidah hukum tentang hilangnya sifat melawan hukum perbuatan yakni bahwa suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor yakni, negara tidak dirugikan,
kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat untung.
4)
Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan
tertentu yang dilarang dan tercela menurut pandangan masyarakat yang tidak
diatur dalam KUHP. Hukum adat (hukum pidana adat) masih tetap berlaku sebagai
hukum yang hidup (The living law).
Keberadaan hukum adat ini masih diakui berdasarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951
Pasal 5 Ayat (3) Sub b. Seperti misalnya delik adat Bali Lokika Sanggraha
sebagaima dirumuskan dalam Kitab Adi Agama Pasal 359 adalah hubungan cinta
antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan,
dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya
janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si
pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan
cintanya tanpa alasan yang sah. Delik ini hingga kini masih sering diajukan ke
pengadilan.
Delik
adat Malaweng luse (Bugis)/Salimara’ (Makassar) adalah hubungan kelamin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana yang satu terhadap yang
lainnya terlarang untuk mengadakan perkawinan baik larangan menurut hukum islam
atau hukum adat berhubung karena hubungan yang terlalu dekat.
E. Sejarah
Hukum Pidana Indonesia
Jonkers dalam bukunya Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel
yang diterbitkan pada tahun 1940 menuliskan pada kalimat pertama mengatakan De Nederlander, die over wijdezeeen en
oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee
(orang-orang Belanda yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki
jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya, membawa hukumnya sendiri untuk
berlaku baginya.
Sejarah hukum pidana Indonesia
secara umum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat Indonesia,
masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan, masyarakat Indonesia
di bawah jajahan Belanda dan masyarakat Indonesia setelah masa kemerdekaan.
Hukum pidana modern Indonesia dimulai pada masa masuknya bangsa Belanda di
Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang sebelum itu atau setelahnya,
yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum
adat.
Pada masa penjajahan Belanda
pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia, dimulai
tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini tidak termasuk
dalam lapangan hukum pidana. Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen. Pasal 1
ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap
berlaku dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya.
Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen, pemerintah
Belanda tetap berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan
hukum pidana, usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn 10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie
(wetboek voor de europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van
Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku sampai saat ini dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
pemerintah Republik Indonesia .
Zaman Indonesia merdeka untuk
menghindari kekosongan hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
semua perundang-undangan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang
baru. Untuk mengisi kekosongan hukum pada masa tersebut maka diundangkanlah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana yang berlaku
di Jawa dan Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946 diberlakukan
juga untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus dualsme
hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku di Indonesia
sekarang ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta perubahan-perubahannya
antara lain dalam Undang-Undang 1 Tahun 1960 tentang perubahan KUHP,
Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP,
Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana
Denda Dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.
F. Ilmu
Pembantu Hukum Pidana
Hukum pidana pada dasarnya
merupakan hukum atau ketentuan-ketentuan mengenai kejahatan dan pidana.
Sedangkan objek kriminologi sebagai ilmu pembantu hukum pidana adalah orang
yang melakukan kejahatan itu sendiri sebagai gejala dalam masyarakat.
Kriminologi menurut Sutherland
adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, penjahat, dan reaksi masyarakat
terhadap kejahatan.Tugas
ilmu pengetahuan hukum pidana adalah menjelaskan (interpretasi) hukum pidana,
mengkaji norma hukum pidana (konstruksi) dan penerapan ketentuan yang berlaku
terhadap suatu tindak pidana yang terjadi (sistematisasi).
Hukum pidana memiliki hubungan
dengan kriminologi tentu tidak dapat dipungkiri beberapa sarjana seperti Simons
dan Van Hamel bahkan mengatakan kriminologi adalah ilmu yang mendukung ilmu
hukum pidana. Alasan-alasan yang dikemukakan, penyelesaian perkara pidana tidak
cukup mempelajari pengertian dari hukum pidana yang berlaku, mengkonstruksikan
dan mensistematiskan saja, tetapi perlu juga diselidiki penyebab tindak pidana
itu, terutama mengenai pribadi pelaku. Selanjutnya perlu dicarikan jalan
penanggulangannya.
Selain kriminologi ada sosiologi,
antropologi, pisikologi dan beberapa ilmu lainnya yang berperan dalam hukum
pidana. Sosiologi kriminal menyelidiki faktor-faktor sosial seperti misalnya
kemakmuran rakyat, pertentangan kelas di lapangan sosial dan ekonomi,
penggangguran dan sebagainya yang mempengaruhi perkembangan kejahatan tertentu
di daerah tertentu. Antropologi kriminal menyelidiki bahwa manusia yang berpotensi berbuat jahat
mempunyai tanda-tanda fisik tertentu. Lambroso mengadakan penelitian secara
antropologi mengenai penjahat dalam rumah penjara. Kesimpulan yang ia dapatkan
bahwa penjahat mempunyai tanda-tanda tertentu, tengkoraknya isinya kurang
(pencuri) daripada orang lain, penjahat pada umumnya mempunyai tulang rahang
yang lebar, tulang dahi yang melengkung ke belakang dan lain-lain.Psikologi
kriminal mencoba memberikan pemahaman bahwa ada faktor kejiwaan tertentu yang
mempengaruhi seseorang untuk berbuat kejahatan, mulai gangguan dari tingkat
yang paling rendah sampai pada tingkat yang paling tinggi (kleptomania,
pedopilia, neurose, psikopat dan lain-lain ).
Selain itu di samping kriminologi
ada viktimologi yakni ilmu yang mengkaji
tentang peran korban dalam suatu kejahatan. Viktimologi berkembang selaras
dengan perkembangan teori-teori dalam viktimologi tentang peranan korban. Hans
von Hentig (1941), Mendelsohn (1947) memberikan pemahaman kepada kriminologi
bahwa munculnya kejahatan tidak hanya dapat dilihat dari faktor-faktor empiris
yang terdapat pada diri pelaku kejahatan tetapi
peranan korban harus dipandang sebagai faktor simultan dan sangat
signifikan terhadap timbulnya kejahatan. Perkembangan viktimologi semakin pesat
dan berkembang menjadi ilmu yang mempunyai objek kajian yang lebih luas yakni
bagaimana memberikan perlindungan terhadap korban dalam sistem peradilan
pidana, perkembangan model-model perlindungan korban bahkan pemahaman korban
juga meliputi victim abuse of power
(korban penyalahgunaan kekuasaan) sebagaimana diatur dalam Declatarion of Basic Principle of Juctice for Victim of Crime and Abuse
of Power MU PBB 40/34 1985.
ASAS LEGALITAS
A. Sejarah
dan Landasan Asas Legalitas
Cikal bakal
asas legalitas pada umunya dimulai pada zaman dimana hukum pidana belum
tertulis ditandai adanya Revolusi Perancis dimana rakyat bergejolak menuntut
keadilan atas kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu. Dalam memuncaknya
reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme)
dari raja maka mulailah timbul pemikiran tentang harus ditentukannya dalam
undang-undang terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar
rakyat lebih dahulu dapat mengetahui dan tidak akan melakukan perbuatan
tersebut dan jika memilih untuk melakukan kehendak bebasnya untuk berbuat
kejahatan maka sanksi pidana sudah pasti harus dapat diterimanya sebagai
konsekuensi dari akibat perbuatannya. Dalam fase selanjutnya asas ini
diberkembang dan berlaku di beberapa negara seiring dengan sejarah negara
adikuasa terhadap negara jajahannya. Keadaan ini dianulir oleh para filsuf
bangsa barat untuk membuat suatu pemikiran baru dalam dunia hukum,
ketatanegaraan dan hak asasi manusia. Pencetus asas Legalitas yakni Paul
Johan Anslem Von Feuerbach (1775-1883), seorang sarjana hukum pidana Jerman
dalam bukunya Lehrbuch des Penlichen
recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo, apa yang dirumuskan oleh
Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin
berbunyi : nulla poena sine lege, nulla
poena sinepraevia legi poenalli”. Ketiga frasa tersebut kemudian
dikembangkan oleh Feuerbach tadi menjadi adagium
nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenalli.
Asas Legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, maka sangatlah
mungkin ada yang beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi kuno.
Sesungguhnya, menurut Moeljatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak
dikenal dalam hukum Romawi kuno. Demikian pula menurut Sahetapy, yang
menyatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata
karena bahasa latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu
itu.
Ada pula yang berpendapat bahwa asas legaliatas seolah
berasal dari ajaran Montesquieu, yang dituangkan dalam bukunya l’Espritn des Lois, 1748. Ajarannya yang
paling terkenal adalah mengenai pemisahan kekuasaan menjadi tiga jenis (trias politica) yang dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak atau kepentingan individu terhadap kesewenang-wenangan
penguasa. Menurut Montesquieu, dalam pemerintahan yang moderat, hakim harus
berkedudukan terpisah dari penguasa dan harus memberikan hukuman setepat
mungkin sesuai ketentuan-ketentuan harfiah hukum. hakim harus bertindak
berhati-hati untuk menghindari tuduhan tidak adil terhadap orang-orang yang
tidak bersalah. Tujuan Montesquieu untuk melindungi kemerdekaan individu
terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintahan negara selaras dengan tujuan
asas legalitas yang juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu melindungi individu
terhadap perlakuan sewenang-wenang pihak peradilan arbitrer, yang pada zaman
sebelum revolusi Perancis menjadi suatu kenyataan yang umum di Eropa Barat.Beberapa
literatur umumnya menjelaskan bahwa kemunculan asas legalitas dimulai pada
zaman dimana hukum pidana belum tertulis, ketika kesewenang-wenangan penguasa
pada masa itu yakni raja atau hakim semakin membuat rakyat menderita
ketidakadilan. Kenyataan pada masa itu bahwa hukum pidana belum tertulis yang
berlaku adalah hukum adat atau kebiasaan, sementara kekuasaan raja bersifat
absolute, Ukuran keadilan hanya dinilai secara subyektif berdasarkan keyakinan
pribadi raja atau penguasa. Situasi ini menimbulkan kesewenang-wenangan
penguasa. Pemidanaan dilakukan sesuai selera penguasa atau tergantung pada
subyektivitas penguasa.
Selain itu Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dengan
ajarannya mengenai “Fiksi Perjanjian Masyarakat” atau yang dikenal dengan Teori
Kontrak Sosial, dalam tulisannya yang berjudul Du Contrat Social (1762) mengambarkan bahwa pemerintah adalah suatu
badan, yang terjadi atas dasar kesepakatan antara warga negara dan penguasa
dalam hubungannya masing-masing, yang ditugaskan untuk melaksanakan
undang-undang dan menjamin kemerdekaan politik dan perdata. Sementara Beccaria
di Italia (1764) menganjurkan pula agar hukum pidana harus bersumber pada
umumnya pada hukum tertulis, supaya hak asasi manusia dapat dijamin dan dapat
diketahui tindakan-tindakan terlarang dan yang diharuskan.
Jauh sebelum von Feuerbach, gagasan dasar Asas Legalitas
sudah diinisiasi dalam Magna Charta
(1215), Biil of Rights (1628), Habeas Corpus Act (1679), Declaration des
droits de I’homme et de citoyens (1789), dan Code Penal (1791).
Gagasan tentang perlunya jaminan perlindungan hak-hak warga
Negara Inggris dengan cara membatasi kekuasaan raja (termasuk kewenangan hakim)
terartikulasi sejak dibuatnya Magna
Charta pada tahun 1215, Bill of
Rights pada tahun 1628 sampai Habeas
Corpus Act pada tahun 1679.Declaration des droits deI’homme et de
citoyens (pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara) sebagai
produk Assemble Nationale (panitian
pembaharuan hukum pidana) yang diprakarsai oleh Raja Louis XVI di dalamnya,
Asas Legalitas mempunyai bobot begitu besar, dijadikan sebagai pangkal tolak
dalam menentukan arah pembaharuan hukum pidana.
Salah satu penyebab dari revolusi Perancis adalah adanya
hasrat masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum. Rakyat tertindas
menghendaki adanya kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis.
Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya. Negeri Belanda yang pernah
mengalami penjajahan Perancis mencantumkan pula asas tersebut dalam Wetboek van Strafrechtnya melalui Code
Penal yang dibawa oleh Perancis. Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918)
asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP Indonesia yang merupakan
jajahan Belanda ketika itu dan sampai saat ini sejak Indonesia merdeka asas
legalitas tetap masih berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Jo. Undang-Undang No
73 Tahun 1968 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Perubahan
KUHP. Perkembangan selanjutnya KUHP beberapa kali mengalami perubahan yakni :
1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2)
Perpu No 16 Tahun 1960 tentang Beberapa
Perubahan dalam KUHP,
3)
Perpu No. 18 Tahun 1960 tentang
Perubahan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam
Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus
1945,
4)
Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 tentang
Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Terhadap Penerbangan
5)
Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara.
6)
Perma No. 2 Tahun 2012 tentang
Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) Dan Jumlah Denda Dalam
KUHP.
B. Makna
Asas Legalitas
Secara umum
asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi ratio legis pembentukan
hukum. Salah satu fungsi asas hukum yakni agar konsistensi tetap terjaga dalam
suatu sistem hukum. Asas legalitas merupakan asas yang sangat fundamental dalam
hukum pidana dengan tujuan utamanya adalah pencapaian kepastian hukum di dalam
penerapannya dan mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Berbeda dengan asas
hukum lainnya yang bersifat abstrak, asas legalitas justru tertuang secara
eksplisit dalam undang-undang (KUHP). Pada umumnya asas hukum bersifat abstrak
dan justru menjadi latar belakang pembentukan aturan yang sifatnya konkrit dan
tetuang dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan Asas legalitas di
Indonesia secara eksplisit tertuang dalam Pasal1 ayat (1) KUHP : “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”, yang dalam bahasa
Latin dikenal dengan adagium : “nullum
delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali”.
Terkait definisi asas legalitas,
kiranya terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana antara
lain Hazewinkel Suringa, van Bemmelen, van Hattum, Enschede, Jan Remmelink, D.
Schaffmeister bahwa pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat
dihukum kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang
sudah ada terlebih dahulu. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana
dan dikenai sanksi pidana bilamana dalam suatu rumusan undang-undang perbuatan
itu dirumuskan sebagai perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (delik comisi)
atau diperintahkan untuk dilakukan (delik omisi) dan sebagai konsekwensinya
bagi barangsiapa yang tidak mematuhi perintah atau larangan tersebut akan dikenakan
sanksi berupa pidana tertentu yang bersifat memaksa.
Terkait definisi asas legalitas
terdapat kesepahaman diantara ahli hukum pidana namun menyangkut makna atau
esensi yang terkandung di dalam asas legalitas kiranya terdapat perbedaan
pendapat. Pemikiran yang sederhana mengenai makna yang terkandung dalam asas
legalitas dikemukakan oleh Enschede bahwa hanya ada dua yang terkandung dalam
asas legalitas yaitu :
1) Suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur
dalam perundang-undangan pidana.
2) Kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan
surut.
Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana,
menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian yaitu :
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (kiyas).
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Menurut Groenhuijsen, sebagaimana
dikutip oleh Komariah Emong Sapardja menyebutkan ada empat makna yang
terkandung dalam asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu :
(1)
Pembuat
undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur.
(2)
Semua
perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya.
(3)
Hakim
dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
(4)
Terhadap
peratuiran hukum pidana dilarang diterapkan analogi
Makna asas legalitas merupakan
konsekuensi logis dari gagasan dasar yang merupakan subtansi asas legalitas
yaitu perlindungan hak-hak individu warga negara dengan cara membatasi
kekuasaan penguasa (termasuk hakim) dan pengaturan pembatasan melalui
instrument undang-undang pidana. Sebagai konsekuensi logis dari gagasan dasar
dan esensi asas legalitas maka asas legalitas melaksanakan dua fungsi
yaitu fungsi perlindungan dan fungsi
pembatasan. Fungsi perlindungan dilakukan untuk melindungi hak-hak individu
warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan penguasa termasuk hakim.
Merupakan suatu safeguard bagi
perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia sedangkan fungsi pembatasan dilakukan untuk membatasi kekuasaan
multak penguasa (termasuk hakim) agar tidak sewenang-wenang.
Beberapa ahli hukum pidana
berpendapat tentang berbagai aspek dari asas legalitas. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa dalam tradisi Civil Law
System ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat yaitu :
(1)
Peraturan
perundang-undangan (law)
Penuntutan dan pemidanaan harus didasarkan pada
undang-undang (hukum yang tertulis). Undang-undang harus mengatur mengenai
tingkah laku yang dianggap sebagai perbuatan pidana. Kebiasaan tidak dapat
dijadikan dasar untuk menuntut dan memidana seseorang.
(2)
Rektroaktivitas
(rektroactivity)
Undang-undang yang merumuskan perbuatan pidana tidak
dapat diberlakukan surut (retroaktif).
Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut.
Pemberlakuan secara surut merupakan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak
asasi manusia. Namun demikian dalam praktek, penerapan asas ini terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Menurut Romli Atmasasmita bahwa prinsip hukum
non-rettroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana biasa sedangkan
pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa sehingga prinsip
non-rektroaktif tidak bisa dipergunakan.
(3)
Lex Certa
Pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan
rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan perbuatan pidana, mendefinisikan
dengan jelas tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu. Hal
inilah yang disebut dengan asas lex
certa. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya memunculkan
ketidakpastian hukum. Dalam praktek tidak selamanya pembuat-undang-undang dapat
memenuhi persyaratan itu, sehingga lebih banyak menggunkan metode penafsiran
dalam hukum pidana atau menggali sumber hukum lainnya melalui yurisprudensi,
dotrin dan sebagainya.
(4)
Analogi
Ilmu hukum pidana memberi peluang untuk dilakukan
interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang. Untuk itu dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran yaitu penafsiran
gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis,
penafsiran teleologis, penafsiran kebalikan (penafsiran a-contrario), penafsiran membatasi (penafsiran restriktif) dan
penafsiran memperluas (Penafsiran ekstensif). Salah satunya yang dilarang dalam
hukum pidana adalah menggunakan analogi untuk memberikan makna cakupan
perbuatan yang dapat dipidana karena dipandang bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum dan akan memicu ketidakpastian hukum. Analogi terdapat bilamana
suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada aturan yang mengaturnya
sebagai perbuatan pidana tetapi diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk
perbuatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan itu
sehingga kedua perbuatan itu dipandang analog satu sama lain. Penerapan analogi
dalam praktek hukum dipicu oleh fakta perkembangan masyarakat yang sedemikian
cepat yang tidak diiringi oleh dinamisme hukum pidana tertulis sehingga
terkadang hukum tertinggal dari apa yang diatuirnya.
C. Asas
Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia
Realitas asas legalitas di Indonesia menjadi piranti
utama dalam penegakan hukum pidana. Sifat kepastian hukum yang melekat pada
asas legalitas menjadikan hukum pidana sebagai salah satu bidang ilmu hukum
yang pasti dalam kacamata hukum karena melekat padanya bingkai-bingkai hukum
yang jelas dan tegas, yang menjadikannya sebagai instrument pedoman, panduan
dan pembatas dalam penerapan kasus konkrit.
Asas legalitas dalam konstitusi di
Indonesia dimasukkan dalam Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 281 Ayat (1) yang
menyebutkan bahwa :
"Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun".
Sedangkan
dalam Pasal 28J Ayat (2) menyatakan bahwa :
"Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dinyatakan bahwa :
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu.
Dalam konteks asas legalitas
tersebut di atas mengandung makna bahwa
(1) Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara jelas dalam bentuk
tertulis, (2) Perundang-undangan hukum pidana tidak boleh berlaku surut, (3).
Dalam hukum pidana tidak dibenarkan untuk menerapkan analogi.
Realita di Indonesia asas
legalitas tidak dianut secara mutlak dengan melihat fakta-fakta berikut ini :
(1) Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara
tertulis
Faktanya di Indonesia hukum yang
berlaku (hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa, hukum adat
dan hukum islam (terutama dalam hukum perdata). Dalam lapangan hukum pidana
selain atas dasar KUHP dan Kitab Undang-Undang Di Luar KUHP sebagai dasar
legalitas perbuatan yang dapat dihukum, dalam masyarakat adat juga diakui
keberlakuan hukum adat pidana yang pada umumnya tidak tertulis tapi merupakan
kaidah-kaidah yang tetap hidup, tumbuh dan dipertahankan oleh masyarakat adat
sebagai hukum yang hidup. Dan sebagai peletak dasar pengecualian berlakuanya
hukum yang tidak tertulis melalui hukum pidana adat maka ditetapkanlah
Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan
Sipil, Pasal 5 ayat (3) sub b Jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 Tentang
Penetapan Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang.
Dalam Pasal 5 ayat (3) sub b UU
Darurat No. 1 Tahun 1951 dinyatakan bahwa :
“…..bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada
bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukum pengganti, bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh hakim dengan besarnya kesalahan terhukum; bahwa bilamana
hukuman yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui di atas, atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi
dengan dengan zaman mesti diganti menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya
dalam Kitab hukum Pidana yang sama dengan hukuman dalam Kitab Hukum Pidana
yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan itu”.
Di Bali terdapat delik adat lokika
sangraha yang tidak diatur dalam hukum pidana nasional (KUHP) tetapi oleh
masyarakat Bali delik ini masih dipandang sebagai perbuatan yang tercela dan
tidak patut untuk dilakukan. Delik adat Lokika Sangraha terjadi apabila seorang
pria yang menjalin kasih dengan seorang wanita membujuk si wanita tersebut untuk
bersetubuh dengan janji akan dinikahi dan setelah itu si pria mengingkari
janjinya dan memutuskan hubungan dengan wanita tersebut. Dalam masyarakat adat
Bali perbuatan asusila ini amat tercela dan tergolong delik adat yang tidak ada
bandingnya dalam KUHP.
(2) Peraturan Hukum Pidana tidak boleh berlaku surut
Untuk menjamin kepastian hukum
harus ditetapkan terlebih dahulu ketentuan pidana tentang suatu perbuatan
tindak pidana baru kemudian pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat dikenakan
sanksi pidana sebagai konsekuensi logis pilihan bebas subyek hukum untuk
berbuat suatu perbatan yang dilarang. Hal ini sejalan pula dengan prinsip umum
bahwa setiap orang terikat pada suatu undang-undang sejak undang-undang
tersebut dinyatakan berlaku dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara.
Pada kenyataannya hukum pidana
tidak menganut prinsip asas tidak berlaku surut secara mutlak, hal ini tertuang
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jikalau undang-undang diubah
setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya. Ini membuktikan bahwa undang-undang dapat diberlakukan
surut selama ketentuan undang-undang yang lama atau terdahulu lebih menguntungkan terdakwa, Menurut R Soesilo
bahwa lebih menguntungkan meliputi ringannya hukuman, tentang anasir peristiwa
pidananya, tentang delik aduan atau tidak, mengenai persoalan salah tidaknya
terdakwa dan sebagainya.
Demikian pula dalam praktek
penegakan hukum kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok, asas legalitas disimpangi
dengan memberlakukan asas retroaktif. Pasal 43 ayat (1) UU No 26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran
HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan
diputus oleh pengadilan Ham ad hoc. Ini berarti undang-undang pengadilan HAM
berlaku juga bagi pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang tersebut.
(3) Dalam penerapan hukum pidana tidak boleh menggunakan
analogi
Kadangkala dalam penerapan hukum
pidana terhadap kasus konkrit hakim harus melakukan penemuan hukum melalui
sumber hukum dengan menggunakan metode penafsiran dalam hukum pidana.
Penafsiran dibutuhkan dalam hukum pidana untuk mencari makna yang terkandung di
dalam suatu istilah atau cakupan suatu tindak pidana. Asas legalitas membatasi
secara rinci dan cermat perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Asas legalitas
melandasi pembatasan makna tindak pidana dalam rumusannya yang meliputi subyek
atau pelaku tindak pidana, perbuatan atau akibat, objek atau korban tindak
pidana dan unsur tambahan lainnya yang menjadi sifat tindak pidananya (di muka
umum misalnya Pasal 170 KUHP dan Pasal 281 KUHP,
motif melakukan kejahatan pembunuhan anak karena takut ketahuan akan melahirkan
anak misalnya Pasal 341 KUHP dan sebagainya). Semuanya harus ditafsirkan makna
dan ruang lingkup cakupannya untuk memberikan kepastian hukum tentang suatu
tindak pidana.
Salah satu prinsip asas legalitas
yakni bahwa dalam penerapan hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi.
Analogi adalah menerapkan suatu ketentuan hukum pidana (yang mempunyai
kemiripan atau bentuk yang sama) terhadap suatu perbuatan yang pada saat
dilakukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengaturnya. Penerapan analogi
menunjukkan ketertinggalan hukum terhadap apa yang seharusnya diaturnya.
Salah satu contoh penerapan
analogi yang sangat fenomenal dalam sejarah penegakan hukum pidana adalah
penerapan analogi oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 1983, melalui putusan
Pengadilan Tinggi Medan No. 144/PID/1983/PN/Mdn Bismar Siregar menganalogikan
unsur barang yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP
dengan keperawanan wanita (alat kelamin perempuan atau “bonda” dalam bahasa Tapanuli) dan
sekaligus menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Kasusnya mengenai seorang pria
yang bernama Mertua Raja Sidabutar yang berjanji akan menikahi seorang gadis
setelah ia melakukan hubungan persetubuhan dengannya, tetapi si pria ingkar
janji sehingga sang gadis merasa ditipu. Putusan tersebut menimbulkan pro dan
kontra, akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan yang cukup kontroversial
ini.
D. Pengaturan
Asas Legalitas di Beberapa Negara
Studi perbandingan hukum merupakan studi yang amat
penting bagi perkembangan ilmu hukum dan perkembangan pembaharuan hukum
nasional. Fungsi perbandingan hukum tidak lain semata-mata hanya untuk memahami
hukum nasional atau hukum asing tertentu akan tetapi juga dapat dipergunakan
untuk menemukan penyelesaian dalam masalah hukum yang menyangkut peristiwa
hukum konkrit atau dalam pembentukan hukum nasional.
1. Inggris
Asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan di
Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara
formal dirumuskan dalam perundang-undangan. Karena bersumber pada case law,
pada mulanya pengadilan merasa dirinya berhak menciptakan delik, namun pada
perkembangannya tahun 1972 House of Lord
menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik
baru atau memperluas delik yang ada. Nampaknya ada pergeseran dari asas
legalitas materil ke asas legalitas formal, artinya suatu perbuatan pada mulanya
dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang
dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat
ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute
law).
2. Republik Rakyat Cina (RRC)
Republik Rakyat Cina adalah negara yang tidak
memberlakukan asas legalitas. RRC merupakan salah satu negara komunis yang
masih bertahan meski dalam kehidupan ekonominya telah membuka diri dan hal-hal
tertentu menempuh pula "jalan kapitalisme". KUHP RRC yang disusun
tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1980 masih sangat berciri
komunisme, dengan tiadanya ketentuan tentang asas legalitas (nullum crimen sine lege sticta). juga
tidak ada ketentuan tentang perubahan perundang-undangan yang pada umumnya
ditentukan dalam banyak KUHP didunia yang diterapkan adalah yang menguntungkan
terdakwa. Ditegaskan pula dalam Pasal 2 KUHP RRC bahwa pidana di RRC
dipergunakan sebagai alat perjuangan untuk menghadapi perbuatan yang kontra
revolusioner untuk mempertahankan sistem kediktatoran proletariat untuk
melindungi harta benda sosialis dan seterusnya.
3. Jerman
Pada KUHP Jerman yang diumumkan pada tanggal 13
November 1998 disebut strafgesetzbuch
(StGB) pada Section 1 No Punishment
Without a Law disebutkan, "Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana
apabila telah ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu
dilakukan".(An act may only be
punished if its punishability was determined by law before the act was
committed). Pada dasarnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi
kepada dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman
menganut "positive legality
principle".
4. Perancis
Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi
Perancis dengan menyebutkan bahwa, "
a person may be accused, arrested, or detained only in the cases specified by
law and in accordance with the procedures which the law provides. Those who
solicit, forward, carry out or have arbitrary orders carried out shall be
punished; however, any citizen summonedor apperhended pursuant to law obey
forhwith; by resisting, he admits, she guilt".
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
ReplyDeleteBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....