Hukum Islam Bagi Pelaku Seks Bebas (zina)

Sungguh Allah SWT telah mengkhususkan hukuman dosa zina daripada hukuman-hukuman yang lainnya dengan tiga kekhususan yaitu:
a. Dibunuh dengan cara yang sangat keji jika pelakunnya seorang yang telah menikah, dan terkadang dicambuk (hukuman ini bagi pelaku zina yang belum menikah), terkadang digabungkan antara dua hukuman kepada pelakunya, yaitu pada tubuhnya dengan cambukan dan pada hatinya dengan di asingkan.
Ada sebuah hadits shahih bahwasanya datang seorang Arab gunung kepada Nabi Muhammad SAW, lalu berkata:
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anak lelakiku bekerja pada si fulan, lalu ia berzina dengan istrinya. Diberitakan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dirajam. Maka aku membayar fidyah darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak wanita. Kemudian aku bertanya kepada ulama dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anak lelakiku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun Istri si fulan itu harus dirajam.”
Bagikan:

Bentuk-bentuk Seks Bebas dan Pengaturannya

1. Seks Bebas atas dasar suka sama suka.
Seks bebas atas dasar suka sama suka atau seks bebas yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat perkawinan biasa juga disebut Fornication dalam hukum islam tergolong dalam perbuatan zina.
KUHP bersumber dari hukum barat, maka perzinaan menurut hukum barat, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 284 KUHP, yaitu hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan dengan orang lain (Andi Hamzah, 1992 : 114).
Bagikan:

Faktor-faktor yang mempengaruhi Seks Bebas

Kartono (2005: 196-197) mengungkapkan bahwa perilaku seks bebas dipengaruhi oleh :
1) Belum adanya regulasi atau pengaturan terhadap penyelenggaraan hubungan seks dengan peraturan tertentu.
Dorongan seks begitu dasyat dan besar pengaruhnya terhadap manusia. Seks bisa membangun kepribadian, tetapi juga bisa menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan.
2) Perubahan sosial
Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan komunikasi menyebabkan perubahan sosial yang demikian cepat pada hampir semua kebudayaan manusia. Perubahan sosial ini mempengaruhi kebiasaan hidup manusia, termasuk mempengaruhi pola-pola seks yang konvensional menjadi keluar dari jalur-jalur konvensional kebudayaan, sehingga bertentangan dengan sistem regulasi seks yang konvensional, dan terjadilah apa yang dinamakan seks bebas.
Pelaksanaan seks bebas banyak dipengaruhi oleh penyebab dari perubahan sosial, seperti : urbanisasi, mekanisasi, alat kontrasepsi, pendidikan, demokratisasi fungsi wanita dalam masyarakat dan modernisasi.
Bagikan:

Pengertian Dan Sebab-sebab Seks Bebas

1. Pengertian Sex Bebas
Free sex menurut Sarwono (1988: 8) didefinisikan sebagai perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan apa-apa selain suka sama suka dan bebas dalam seks. Pendapat lain yang dikemukakan Sarwono (2002: 137) bahwa yang dimaksud seks bebas adalah hubungan yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis yang di lakukan pada pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan.
Free sex menurut Hasan Basri (2000: 10) merupakan kegiatan seksual yang menyimpang, yang dilakukan baik secara individual maupun bergerombol pada waktu dan tempat yang disepakati bersama. Free sex ini biasanya diawali dengan acara-acara yang cukup merangsang secara seksual dan pada tempat yang dipandang “aman“ dari pengetahuan masyarakat.
Menurut Kartono (1997: 188), yang dimaksud seks bebas adalah hubungan seks secara bebas dengan banyak orang dan merupakan tindakan hubungan seksual yang tidak bermoral, dilakukan dengan terang-terangan tanpa ada rasa malu sebab didorong oleh nafsu seks yang tidak terintegrasi, tidak matang, dan tidak wajar.
Bagikan:

Obyek Kajian Sosiologi Hukum

Menurut Gerald Turkel (Achmad Ali. 2009:61), pendekatan sosiologis juga mengenal studi tentang hubungan antara hukum dan moral serta logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologis antara lain:
a. Pengaruh hukum terhadap perilaku sosial.
b. Kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat dalam “the social world” mereka.
c. Organisasi sosial dan perkembangan sosial serta institusi-institusi hukum.
d. Bagaimana hukum dibuat.
e. Kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum.
Bagikan:

Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum

Menurut Vilhelm Aubert (Achmad Ali, 2009 : 32), sosiologi hukum dipandang sebagai suatu cabang ilmu sosiologi umum serupa dengan sosiologi keluarga, sosiologi industry, atau sosiologi kedokteran, perbendaannya tentu saja karena sosiologi hukum obyek kajiannya adalah hukum. Bagi Aubert, sah saja penggunaan sosiologi untuk studi hukum dalam rangka membantu para professional hukum untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Demikian juga hukum dapat membantu para legislator dalam pembuatan peraturan perundang-undangan maupun badan peradilan dalam membuat putusannya. Dalam hal ini yang terpenting adalah fungsi kritis dari sosiologi hukum untuk membantu mempertinggi kesadaran kaum professional hukum tentang fungsi profesi mereka di masyarakat.
Bagikan:

Pengertian Sosiologi Hukum

Istilah sosiologi hukum pertama kali digunakan pada tahun 1882, oleh Anziolotti yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu yaitu filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi.
Sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan social dan bukan sebagai kaidah. Sosiologi hukum memandang hukum sebagai fenomena social yang berbeda dengan hukum normatif yang memandang hukum sebagai norma-norma positif di dalam perundang-undangan hukum nasional. Beberapa pakar yang mempengaruhi sosiologi hukum seperti Emile Durkheim, Max Weber, Eugen Ehrlich, Talcott Persons, Roscou Pound, dan Schuyt. (Achmad Ali, 2008:215)
Berikut ini beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum mengenai sosiologi hukum:
a. Soerjono Soekanto memberikan batasan pengertian tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan sosiologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. (Zainuddin Ali, 2005:1)
b. Satjipto Rahardjo juga mengemukakan batasan tentang sosiologi hukum yaitu sosiologi hukum (Sociology of Law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. (Zainuddin Ali, 2005:1)
c. Sosiologi Hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum , kultur hukum.
d. Kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum tetapi menggunakan topik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis , sehingga sering disalah tafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum tetapi juga dari kalangan hukum sendiri.(Achmad Ali, 2009 : 9)
e. Wignjosoebroto berpendapat bahwa sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi yang termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan inilah menurut beliau cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya, yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan mensejahterahkan kehidupannya, serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kalian pada cabang-cabang sosiologi yang lain. (Sabian Utsman, 2009:115)
Bagikan:

Jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut buku KPK (KPK, 2006:19), tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan yang Merugikan Negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) :
(1) ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
(2) ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Bagikan:

Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut asal kata, korupsi berasal dari kata berbahasa latin, corruptio. Kata ini sendiri punya kata kerja dasar yaitu corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Pengertian korupsi dalam Kamus Peristilahaan (M.D.J.Al Barry, 1996:208) diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri dan merugikan negara dan rakyat.
Dalam Ensiklopedia Indonesia (Evi Hartanti, 2007:8) disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan – badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Bagikan:

Hal-hal yang Menghalangi Waris

Banyak perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja yang dapat menghalangi seorang mendapat hak mewarisi, namun secara umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
1. Pembunuhan
Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang menjadi penghalang mewarisi. Namun kategori pembunuhan sendiri ada bermacam-macam dan ada golongan ulama yang berpendapat bahwa tidak semua pembunuhan dapat menggugurkan hak waris. Amir Syarifudin mengkategorikan macam-macam pembunuhan ini menjadi dua, yaitu:
a. Pembunuhan yang hak dan tidak berdosa yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang hak dan tidak berdosa adalah pembunuhan dalam peperangan, petugas qishos (ekskutor) dan membunuh untuk membela harta, jiwa dan kehormatannya.
b. Pembunuhan yang tidak hak dan berdosa yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang tidak hak dan berdosa adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Pada dasarnya seluruh fuqoha menetapkan, bahwasannya pembunuhan adalah suatu penghalang mewarisi. Namun yang menjadi perbedaan dikalangan fuqoha adalah bentuk-bentuk pembunuhan yang mana saja yang dapat dikategorikan sebagai penghalang mewarisi, dalam masalah ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Bagikan:

Ahli Waris dan Macam-Macamnya

Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c , yang berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” (Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, 1999/2000:81).
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam pasal 173. Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal 173 telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan si mati dan ada juga yang hubungannya lebih jauh dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta warisan seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli waris karena dari garis keturunan perempuan (dzawil arham). Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu: hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu:
a. Perkawinan yang sah (al-musoharoh)
b. Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena adanya perjanjian tolong menolong (Ahmad Rofiq, 2001:59).
Bagikan:

Syarat dan Rukun Waris Islam

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris (Daud Ali, 1990:129). Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri. Dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing (Daud Ali, 1990:40).
Bagikan:

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagi berikut: (Suhardi K Lubis, 1995:37).
1. Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya
kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.”
Bagikan:

Tujuan dan Manfaat Mediasi

Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tujuan dilakukannya mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak ketiga pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.
Bagikan:

Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. „Berada di tengah‟ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.
Bagikan:

Tujuan Dan Ruang Lingkup Hukum Islam

1. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam tidak terbatas pada lapangan materiel saja yang sifatnya sementara, tidak pula kepada hal-hal yang sifatnya formil belaka, akan tetapi lebih dari itu hukum Islam memperhatikan pelbagai faktor seperti faktor Individu, faktor masyarakat dan faktor kemanusiaan dalam hubungannya satu dengan yang lain demi terwujudnya keselamatan di dunia dan kebahagiaan di hari kemudian.
Dalam lapangan ibadat (shalat, puasa, zakat, dan naik haji) dimaksudkan:
1. Membersihkan jiwa manusia dan mempertemukan dirinya dengan Tuhan. Tujuan ini menyangkut kesehatan rohani;
2. Kesehatan jasmani;
3. Kebaikan individu dan masyarakat dan pelbagai seginya.
Bagikan:

Pengertian Dan Prinsip-prinsip Hukum Islam

1. Pengertian dan Prinsip-prinsip Hukum Islam
Istilah hukum Islam terdiri dari dua buah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata Hukum dan kata Islam. Kata Hukum berarti ketentuan atau ketetapan, sedangkan kata Islam berasal dari kata “aslama” menjadi “salama” selanjutnya menjadi Islam yang artinya, selamat, damai, sejahtera, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Dari kedua pengertian tersebut maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang diartikan dengan hukum Islam secara etimologis ialah segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai suatu hal dimana ketentuan itu telah diatur dan ditetapkan oleh agama Islam.
Bagikan:

Dasar Perolehan Hak Milik Atas Tanah

Hak milik adalah hubungan antar subjek dan benda yang memberikan wewenang kepada subjek untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain. Mendayagunakan mengandung arti melakukan segala tindakan berkenaan dengan benda yang dimilikinya dengan harapan mendatangkan manfaat bagi subjek yang bersangkutan, atau bahkan subjek-subjek hukum lain. Sedangkan mempertahankan berarti melakukan segala tindakan untuk mencegah interfensi pihak lain yang tidak berhak atas benda tersebut31. Ketentuan umum mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Adapun macam-macam dasar perolehan hak milik atas tanah yani dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu:
Bagikan:

Akta Bawah Tangan

Daya kekuatan pembuktian akta bawah tangan tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Akta bawah tangan yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai akta dibawah tangan dapat ditemukan dalam pasal 1874 KUH Perdata yang dalam ayat 1 menyatakan :
―Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan, akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain, tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum‖.
Dalam undang-undang ditentukan bahwa akta bawah tangan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lengkap sepanjang tanda tangan dalam akta tersebut diakui keasliannya sedangkan apabila tanda tangan atau tulisannya dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Bagikan:

Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yag diberi wewenang untuk itu oleh pengusaha, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan , baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan , yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya. Didalam HIR, akta otentik diatur dalam pasal 165 yang berbunyi sebagai berikut:
“Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang yang tercantum didalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta‖.
Bagikan:

Surat yang Berupa Akta dan Bukan Akta

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yakni surat yang merupakan akta dan surat lain-lain yang bukan akta. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat dengan semula dengan sengaja untuk pembuktian. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut akta disebutkan dalam pasal 1869 KUH Perdata:
―Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlukan sebagai akta otentik , namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak‖.
Bagikan:

Pengertian Hukum Waris dan Dasar Hukumnya

Dalam literatur hukum Indonesia sering digunakan kata “waris” atau warisan. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab akan tetapi dalam praktek lebih lazim disebut “Pusaka”. Bentuk kata kerjanya Warastra Yasiru dan kata masdarnya Miras. Masdar yang lain menurut ilmu sasaf masih ada tiga yaitu wirsan, wirasatan dan irsan. Sedang kan kata waris adalah orang yang mendapat warisan atau pusaka. Dalam literatur hukum arab akan ditemukan penggunaan kata Mawaris, bentuk kata jamak dari Miras. Namun banyak dalam kitab fikih tidak menggunkan kata mawaris sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu dari pada kata mawaris. Rasullulah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawaris. Hadis riwayat Ibnu Abas Ma’ud berbunyi: dari ibnui Abas dia berkata, Rasullulah bersabda: “Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah pada orang lain. Pelajari pula faraid dan ajarkan kepada orang-orang” (HR Ahmad) (H. Achmad Kuzari, 1973:168).
Bagikan:

Ruang Lingkup Harta Bersama

Pada pembahasan ini akan diuraikan mengenai ruang lingkup dari harta bersama. Dimana dapat diketahui harta apa saja yang dapat dikategorikan sebagai objek harta bersama dan objek harta apa yang tidak termasuk dalam harta bersama. Pada pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan maupun yurisprudensi yang terkait telah ditentukan mengenai harta yang dengan sendirinya menjadi harta bersama. Akan tetapi tidak sesederhana itu penerapannya di dalam kenyataan ini.
Berikut ini adalah batasan dalam ruang lingkup harta bersama menurut Yahya Harahap : 
a. Harta yang dibeli selama perkawinan 
Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan : 
1. Apakah isteri atau suami yang membeli, 
2. Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami, 
3. Dimana harta tersebut diletakkan. 
Bagikan:

Pengertian Harta Bersama

Secara etimologi, harta bersama adalah dua kata yang terdiri harta dan bersama. Harta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berbarengan. Harta bersama berarti harta yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.
Bagikan:

Tata Cara Perceraian

Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA Pasal 65 jo. Pasal 115 KHI).
Adapun tata cara dan prosedurnya dibedakan ke dalam 2 macam, yaitu:
Bagikan:

Penyebab Terjadinya Perceraian

Menurut Hukum Islam, perkawinan itu putus karena kematian, dan karena perceraian (Talak, khuluk, fasakh, akibat syiqaq, dan pelanggaran taklik talak) dan alasan memutuskan perceraian hanya satu saja yaitu salah satu pihak merasa bahwa perkawinannya tidak dapat lagi diteruskan.
Menurut KHI pada Pasal 116 bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturt-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
d. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
f. Antara suami dan istri terus terjadi perselisishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam, rumah tangga.
Bagikan:

Pengertian Perceraian Dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti pisah, mendapatkan imbuhan per-an sehingga secara bahasa berarti putusnya hubungan suami isteri, talak, hidup perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup. Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan bahwa perceraian itu merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Sedangkan menurut istilah agama talak dari kata “ithlaq”, artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami bermaksud menceraikan isterinya harus lebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang berkedudukan di wilayah tempat tinggalnya. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan suami isteri selagi keduanya masih hidup atau putusnya perkawinan, yang dapat terjadi dengan talak (cerai talak) ataupun khuluk (cerai gugat).
Bagikan:

Pengertian dan Asas-Asas Hukum Perbankan

Hukum perbankan (banking law), yakni merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi bank, dan lain-lainnya yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut (Munir Fuady, 1999: 14).
Bagikan:

Pengertian Dan Jenis-jenis Mediasi

A. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. Mediasi mengantarkan para pihak pada perwujudan mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution).
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga, yakni pihak yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan arbitrase, keputusan arbiter atau majelis arbitrase harus ditaati oleh para pihak, layaknya keputusan pengadilan. Sedangkan mediasi, tidak terdapat kewajiban dari masing-masing pihak untuk menaati apa yang disarankan oleh mediator (Jimmy Joses Sembiring, 2011: 28).
Bagikan:

Manfaat Viktimologi

Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak manfaat yang diperoleh.
Manfaat viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :
Bagikan:

Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.
Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :
a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik.
b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal.
c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya.
d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal.
e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan.
f. Faktor-faktor viktimogen/ kriminogen.
Bagikan:

Pengertian Viktimologi

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan istilah bahasa Inggris Victimology yang berasal dari bahasa latin yaitu “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti studi/ilmu pengetahuan. 
Pengertian viktimologi mengalami tiga fase perkembangan. Pada awalnya, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. Pada fase ini dikatakan sebagai penal or special victimology. Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja tetapi meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini desebut sebagai general victimology. Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia, pada fase ini dikatakan sebagai new victimology.
Bagikan:

Pertanggungjawaban Pidana Anak

Menurut Roeslan Saleh (Marlina, 2009:69) dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi apabila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana. Hal ini mengenai asas kesalahan yang memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Marlina (2009:69) ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu: 
1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan ini. 
2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Syarat pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak; syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan atau tidak, (Marlina, 2009:70). 
Bagikan:

Pengertian Tindak Pidana Anak

Menurut Tolib Setiadi, (2010:176) pada dasarnya yang dimaksud dengan tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 45 KUHP. Kemudian apabila dengan memperhatikan Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor P. 1/20 tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan bahwa penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun (Pasal 45 KUHP). 
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah: 
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau 
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 
Bagikan:

Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

Bertitik tolak dari Pasal 1 ayat (1) Reglemen Penjara (Staatsblad 708Tahun 1917) bahwa "penjara" itu dapat diartikan sebagai:
1. Tempat untuk menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
2. Tempat untuk mengasingkan orang yang melanggar tata tertib hukum.
Menurut Ramli Atmasasmita Rumah Penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain:
1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat.
2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.

Pembagian rumah penjara ketika itu erat kaitannya dengan kebiasaan saat itu dalam hal menempatkan para terpidana secara terpisah sesuai dengan berat ringannya pidana yang harus mereka jalani di rumah-rumah penjara manapun di dunia ini. Di Indonesia saat ini hal demikian juga diikuti namun bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga Pemasyarakatan.
Bagikan:

Tujuan Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan Anak

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditentukan bahwa;
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang -orang tertentu.
Bagikan:

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat signiflkan sejak dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo. Dalam pidatonya yang berjudul "Pohon Beringin Pengayoman", yang mengemukakan konsep tentang pengakuan kepada narapidana sebagai berikut:
“Di bawah pohon beringin pengayoman ditetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana, maka tujuan pidana penjara dirumuskan, disamping menimbulkan derita bagi terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing agar bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang sosialis Indonesia yang berguna".
Sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap Warga binaan Pemasyarakatan selanjutnya baru memperoleh pengakuan secara yuridis formal setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang mulai diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor; 13641.
Bagikan:

Pengertian Narapidana Dan Hak-hak Narapidana

1. Pengertian Narapidana
Untuk dapat melakukan pembahasan terkait pemenuhan hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak bagi anak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu beberapa istilah terkait pembahasan tersebut. Pertama, penulis mencoba mengambil beberapa kutipan terkait
pengertian narapidana. Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa:Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum.
Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan bahwa Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana kemerdekaannya hilang.

2. Hak-hak Narapidana
Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin marrtabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Adapun dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang tunduk pada pada hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang merupakan dasar dari arti yang pertama tersebut di atas.
Bagikan:

Konsepsi HAM Narapidana

Narapidana juga manusia yang memiliki hak asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat. Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, para narapidana tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tapi juga kehilangan segala hak mereka.Penyiksaan, bahkan pembunuhan, di dalam penjara dan tahanan bukan cerita langka. Hak-hak asasi mereka, baik di bidang sipil, politik, maupun ekonomi, sosial dan budaya sering dirampas. Sejarah menunjukkan narapidana sering mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Karena keprihatinan atas kondisi penjara dan tahanan, 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Konvensi yang lazim disingkat dengan Konvensi Anti Penyiksaan ini juga diratifikasi Indonesia pada 1998.
Bagikan:

Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012) ini antara lain mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam undang - undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban. Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan perbuatan anti sosial (Barda Nawawi Arief, 1994:20).
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus-kasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status Saksi dan/atau Korban, sehingga Anak Sebagai Saksi dan/atau Korban juga diatur dalam undang-undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana. Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Umum. Dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahai masalah Anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui Restoratif justice dan diversi.
Bagikan:

Pengertian Restorative Justice (Keadilan Restoratif).

Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi (pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah). Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal mendapatkan perhatian dari kalangan hukum. Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain :
Bagikan:

Pengertian Tindakan Medik

     Tindakan medik adalah tindakan professional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan. meski memang harus dilakukan, tetapi tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medik adalah suatu tindakan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama bagi pasien yang menhalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlu-kan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya, dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Budi Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus :
1. Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, pasien; 
2. Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang dihadapi. 
     Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 
1. Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang konkret. 
2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran 
3. Sudah mendapat persetujuan dari pasien.
     Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak secara lege artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.
     Lazimnya persyaratan dalam hubungan perjanjian antara pasien-dokter tidak secara eksplisit dituangkan dalam perumusan persyaratan perjanjian, namun dianggap telah terkandung di dalam sesuai dengan etik yang mengikuti dokter dalam menjalankan profesi-jabatan-nya. Dalam hubungan tersebut pengertian informasi pasien merupakan suatu bentuk umum penerangan kepada pasien pada umumnya. Guwandi menyebutkan bahwa dokter dalam melakukan tindakan medik haruslah berdsarkan empat hal, yaitu : 
1. Adanya indikasi medik;
2. Bertindak secara hati-hati ; 
3. Bekerja berdasarkan standar profesi medis dan prosedur operasional; 
4. Ada persetujuan tindakan medik (Informed Consent).

Bagikan:

Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak.

Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka sama suka.
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan,  yaitu:
a.    Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
b.    Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
c.    Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual.
d.    Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tettentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.

e.    Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Bagikan:

Teori Penyimpangan Perilaku

1.         Teori Anomi
                    Teori anomi berpandangan bahwa munculnya perilaku menyimpang merupakan konsekuensi dari perkembangan norma masyarakat yang makin lama makin kompleks. Akibatnya tindak ada pedoman yang jelas yang dapat dipelajari dan dipatuhi warga masyarakat sebagai dasar dalam memilih dan bertindak dengan benar. Misalnya, akibat kedua orang tua bekerja dan tidak berada dirumah, anak cenderung menjadi anak nakal 
2.        Teori Sosiologi atau Teori Belajar
Teori ini menyebutkan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Salah seorang ahli teori belajar yang banyak dikutip dari tulisannya adalah Edwin H. Sutherland ia menanamkan teorinya dengan Diasosiasi Diferencial. Menurut Sutherland, penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang.
Teori ini umumnya mempunyai keyakinan bahwa pemberian cap atau stigma sering kali mengubah anggapan masyarakat terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan menyimpang. Semula pelaku-pelaku hanya melakukan penyimpangan primer, namun lambat laun dengan anggapan masyarakat itu akan melakukan penyimpangan sekunder 
Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi  orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labelers) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negative ,misalnya, disebut penipu, pencuri, wanita nakal, orang gila, dan sebagainya, maka si pelaku akan terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder (tahap lanjut) dengan alasan ”kepalang tanggung”
4.   Teori Kontrol
Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.Teori ini dibangunatas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.oleh sebab itu para ahli terori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hokum.
5.   Teori Fungsi

Menurut E. Durkhiem tercapainya kesadaran moral dari semua anggota masyarakat karena faktor keturunan, perbedaan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kejahatan itu akan selalu ada sebab orang-orang yang berwatak jahat pun akan sulalu ada. Bahkan, Durkhiem berpandangan bahwa kejahatan itu perlu, agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal.
Bagikan:

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK JALANAN SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DI KOTA MAKASSAR

A.    PENDAHULUAN
Anak sebagai generasi penerus bangsa mempunyai hak untuk mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Namun pada kenyataannya tidak semua anak-anak di Indonesia telah mendapatkan haknya tersebut, kenyataan pahit ini dapat dilihat di jalan dimana anak-anak harus rela berada di jalanan demi mencari nafkah demi membantu perekonomian keluarga dan kelangsungan hidupnya dan bahkan mereka menjadi pelaku tindak kejahatan
Kenyataannya dapat dilihat banyak anak yang tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga mereka harus hidup di jalanan. Pemandangan yang acap kali  ditemui di pusat perbelanjaan, pasar, terminal, lampu merah di jalanan, dan sebagainya, beberapa anak usia sekolah yang meminta-minta, berjualan koran, mengamen atau becanda dengan kawan-kawannya. Mereka inilah yang disebut anak jalanan. Sebagian atau seluruh waktu anak jalanan dihabiskan di jalan, mereka rentan terhadap kejahatan baik berupa kekerasan fisik, mental, maupun seksual.

Bagikan:

PENGELOMPOKKAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001


Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.    Kerugian Keuangan Negara
a.       Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara (pasal 2).
b.      Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara (pasal 3).
2.    Suap – menyuap
a.       Menyuap pegawai negeri (pasal 5 ayat 1 huruf a dan b).
b.      Memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya (pasal 13).
c.       Pegawai negeri menerima suap (pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan b).
d.      Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (pasal 11).
e.       Menyuap hakim (pasal 6 ayat 1 huruf a).
f.       Menyuap advokat (pasal 6 ayat 1 huruf b).
g.      Hakim dan advokat menerima suap (pasal 6 ayat 2).
h.      Hakim menerima suap (pasal 12 huruf c).
i.        Advokat menerima suap (pasal 12 huruf d).
3.    Penggelapan dalam jabatan
a.       Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan (pasal 8).
b.      Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9).
c.       Pegawai negeri merusak bukti (pasal 10 huruf a).
d.      Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf b).
e.       Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti (pasal 10 huruf c).

4.    Pemerasan
a.       Pegawai negeri memeras (pasal 12 huruf e dan g).
b.      Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain (pasal 12 huruf f).
5.    Perbuatan curang
a.       Pemborong berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf a).
b.      Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 1 huruf b).
c.       Rekanan TNI atau Polri berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf c).
d.      Pengawas rekanan TNI atau Polri  membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 1 huruf d).
e.       Penerima barang TNI atau Polri membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 2).
f.       Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain (pasal 12 huruf h).
6.    Benturan kepentingan dalam pengadaan
a.       Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya (pasal 12 huruf i).
7.    Gratifikasi

a.       Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK (pasal 12 B jo pasal 12 C).
Bagikan:

Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Menurut KUHP

A.    Penggolongan Tindak-Tindak Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengadakan penggolongan kualitatif dalam titel-titel yang merupakan bagian-bagian dari Buku II dan Buku III. Ukuran-ukuran kualitatif ini sekadar dapat dilihat dalam judul-judul dari titel-titel tersebut.
·         Buku II KUHP terdiri dari. 30 titel, yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I              Kejahatan-kejahatan terhadap Keamanan Negara
Titel II            Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Titel III           Kejahatan-kejahatan terhadap Negara-negara Asing Ber‑
sahabat dan terhadap Kepala dan Wakil Negara-negara tersebut
Titel IV           Kejahatan-kejahatan tentang Melakukan Kewajiban Kenegaraan dan Hak Kenegaraan
Titel V             Kejahatan-kejahatan terhadap Ketertiban Umum
Titel VI            Perang tanding (tweegevecht, duel)
Titel VII          Kejahatan-kejahatan. yang Membahayakan Keamanan Umum Orang dan Barang
Titel VIII         Kejahatan-kejahatan terhadap Kekuasaan Umun-,
Titel IX            Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Titel X             Pemalsuan Uang Logam dan Uang Kertas
Titel XI            Pemalsuan Meterai dan Cap
Titel X11         Pemalsuan Surat
Titel XIII         Kejahatan-kejahatan tentang Kedudukan Perdata
Titel XIV         Kejahatan-kejahatan Melanggar Kesopanan
Titel XV          Meninggalkan Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel XVI         Penghinaan
Titel XVII       Membuka Rahasia
Titel XVIII      Kejahatan-kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang
Titel XIX         Kejahatan-kejahatan terhadap Nyawa Orang
Titel XX          Penganiayaan
Titel XXI         Menyebabkan Matinya atau Lukanya Orang karena Kealpaan
Titel XXII       Pencurian
Titel XXIII      Pemerasan dan Pengancaman
Titel XXIV      Penggelapan Barang
Titel XXV       Penipuan
Titel XXVI      Merugikan Orang Berpiutang atau Berhak
Titel XXVII    Penghancuran atau Perusakan Barang
Titel XXVIII   Kejahatan-kejahatan Jabatan
Titel XXIX      Kejahatan-kejahatan Pelayaran
Titel XXX       Pemudahan (begunstiging)
·         Buku III-KUHP terdiri dari 10 titel yang masing-masing berjudul sebagai berikut:
Titel I               pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Umum
Titel II             Pelanggaran-pelanggaran terhadap Ketertiban Umum
Titel III           Pelanggaran-pelanggaran terhadap Kekuasaan Umum
Titel IV           Pelanggaran-pelanggaran tentang Kedudukan Perdata
Titel V             Pela nggaran-pelangga ran mengenai Orang-orang yang Perlu Ditolong
Titel VI           Pelanggaran-pelanggaran Kesopanan
Titel VII          Pelanggaran-pelanggaran tentang Tanah-tanah Tanaman
Titel VIII        Pelanggaran-pelanggaran Jabatan
Titel IX           Pelanggaran-pelanggaran Pelayaran
Titel X             Pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Negara

B.     Persamaan Sifat Semua Tindak Pidana
Berbicara tentang penggolongan tindak pidana harus dimulai dengan mencari persamaan sifat semua tindak pidana. Dalam beberapa pasal ketentuan hukum pidana disebutkan sebagai salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu : wederechtljkheuid atau Sifat Melanggar Hukum. Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melawan hukum. Adakalanya dengan perbuatan ini ditekankan bahwa sifat melanggar hukum ini terutama mengenal bagian dari suatu bagian tindak pidana, misalnya dalan tindak pidana “pencurian” oleh pasal 362 KUHP disebutkan bahwa pengambilan barang milik orang lain harus dengan tujuan untul memiliki barang itu dengan “melanggar hukum”.
Dalam tindak pidana “penggelapan barang” dari pasal 372 KUHP perbuatannya dirumuskan sebagai “pemilik barang” dengan melanggar hukum (Wederrechtelijke Zich Toeenegen).
Penyebutan “sifat melanggar hukum” dalam pasal-pasal tertentu ini menimbulkan tiga pendapat tentang arti dari melanggar hukum :
1.      bertentangan dengan hukum ( Obyektif )
2.      bertentangan dengan hak ( Subyektif ) orang lain.
3.      Tanpa Hak

C.    Pengertian Sifat Melanggar Hukum
Sifat menlanggar hukum adalah salah satu unsur khusu dari suatu tindak pidana yang di tekankan melalui sifat tindak pidana terutama bagian dari suatu tindak pidana


D.    Sifat-sifat melanggar hukum
·         KEJAHATAN TERHADAP HARTA BENDA
                       1. Pencurian
                       2. Pencurian Khusus
                       3. Pemerasan
                       4. Pengancaman
                       5. Penipuan
                       6. Penadahan
                       7. Kejahatan dengan Alat Percetakan
·         KEJAHATAN TERHADAP JIWA SESEORANG
                       1. Tindak Pidana Pembunuhan
                       2. Pembunuhan Dengan Pemberatan
                       3. Pembunuhan yang direncanakan
                       4. Pembunuhan Terhadap Anak yang Baru lahir
                       5. Pembunuhan Anak yang Telah Direncanakan Dahulu
                       6. Turut serta Dalam Pembunuhan Anak
                       7. Abortus
                       8. Euthanasia
                       9. Pembunuhan Diri
·         KEJAHATAN TERHADAP BADAN SESEORANG
                       1. Penganiayaan Biasa
                       2. Psl. 351 (4) dalam Praktek
                       3. Penganiayaan Ringan
                       4. Penganiayaan yang direncanakan  Biasa
                       5. Penganiayaan Berat
                       6. Hukuman Tambahan
                       7. Penyerangan/Perkelahian
·         KEJAHATAN TERHADAP KEHORMATAN SESEORANG
                       1. Penghinaan
                       2. Pengertian Fitnah
                       3. Pembuktian Fitnah
                       4. Pengaduan Fitnah


·         KEJAAHATAN MENGENAI PEMALSUAN
                       1. Sumpah Palsu
                       2. Pemalsuan Uang
                       3. Mengedarkan Uang Palsu
                       4. Merusak Uang
                       5. Mengedarkan Uang Logan yang Dirusak
                       6. Upaya BI dalam Menanggulangu Pemalsuan Uang
·         KEJAHATAN MENGENAI KESUSILAAN
                       1. Pornografi
                       2. Tindak Pidana Perzinahan
                       3. Tindak Pidana Perkosaan
                       4. Mengadakan Hubungan Kelamin diluar Perkawinan
·         KEJAHATAN TERHADAP NEGARA
                       1. Makar Terhadap kepala Negara
                       2. Makar Untuk Memasukkan Indonesia dalam   Penguasaan asing 

                       
E.       Kejahatan dan Pelanggaran terhadap Badan dan Orang
        Diatur dalam Buku II KUHP dalam pasal 351-358 KUHP penganiayaan dibagi atas tiga bagian :
1.   Penganiayaan biasa
2.   Penganiayaan ringan
3.   Penganiayaan berat
 1.   Penganiayaan biasa
            Pasal 351 KUHP   :     (1).    Penganiayaan diancam dengan hukuman piadana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
                                                (2).    Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun penjara.
                                                (3).    Jika mengakibatkan mati dikenakan pidan penjara paling lama tujuh tahun.
(4).    Dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.
(5).    Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tindak pidana
Dari rumusan 351 KUHP diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang hanya membicarakan mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindakan penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan pada buku I (ketentuan umum) juga tidak ditemukan pengertian penganiayaan, maka kita cari melalui yurisprudensi. Dalam Yurisprudensi II.R. 25 Juni 1844 W, disebutkan :
Penganiayaan : Kesengajaan menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit / luka.
-          Pasal 351 KUHP merupakan delik materil yang menekankan pada akibatnya. Unsur dengan sengaja harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Menimbulkan rasa luka / sakit pada orang lain merupakan tujuan atau kehendak pelaku.
-          Rasa Sakit    :     merasa sakit sehingga kondisi kesehatan terganggu.
Contoh         :     dipukul, ditempeleng.
Luka                         :     terdapat perubahan dalam bentuk tubuh/badan manusia dari segala bentuk semula
            Contoh         :     menusuk, menyiram dengan air panas, memotong jari, mengiris.
Pembutian atas penganiayaan adalah cukup apabila tersirat bahwa pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatan tertentu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan pelaku.

2.    Pasal 351 (4) dalam Praktek tidak dapat diterapkan
Berdasarkan pasal 351 (4) kesengajaan merugikan kesehatan disamakan dengan penganiayaan, maksudnya perbuatan yang dapat menimbulkan penyakit atau membuat penyakit yang diderita orang lain lebih berat.
Contohnya   :     mendirikan pabrik dan pembuangan limbahnya ditengah lingkungan penduduk.
Tidak berfungsinya para pendidik dan penyidik menegakkan hukum, khususnya dalam memberlakukan ketentuan yang diatur dalam pasal 351 ayat (4) KUHP, yang disebabkan oleh hambatan-hambatan administratif dan kekeliruan pandangan pembagian tugas. Di dalam praktek biasanya mengenai lingkungan ditangani oleh PEMDA melalui BAPPEDAL / Unit Lingkungan Hidup.
3.    Penganiayaan Ringan
            Diatur dalam pasal 352 KUHP :
(1)         kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian diancam pidana penjara paling lama tiga bulan.
(2)         Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dapat di pidana.
-          pada pasal ini korban mendapat luka ringan.
-          Luka Ringan   =    1.   maksudnya tidak sakit / anggota tubuh tidak berubah bentuk.
                                          2.   tidak halangan untuk melaksanakan pekerjaan.
                                    Contoh : menempeleng orang.
4.    Penganiayaan Biasa yang Direncanakan
            Diatur dalam pasal 353 (1)   :  penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
                                                   (2)  :  Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara tujuh tahun.
                                                   (3)  :  Jika perbuatan mengakibatkan mati dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Yang dimaksud dengan direncanakan ialah ; adanya jangka waktu baik singkat maupun lama untuk membuat suatu rencana dengan tenang dan mempertimbangakan kembali rencana tersebut dengan tenang dan memperhitungkan akibatnya.
Unsur lain yang tidak kalah penting dari pasal 353 (2) ialah unsur luka berat. Menurut pasal 90 KUHP yang dimaksud dengan luka berat ialah :
(1)   Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut.
(2)   Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan.
(3)   Kehilangan salah satu panca indra
(4)   Mendapat cacat berat : daun telinga putus / jari tangan putus.
(5)   Terganggu daya pikir selama 4 minggu.
(6)   Lumpuh : tidak bisa menggerakkan badan.
(7)   Matinya kandungan seorang perempuan.
Dalam hal ini pembuktian oleh hakim dengan mendengarkan saksi ahli (dokter) yang dalam prakteknya keterangan ini disebut :  VISUM ET REPERTUM.
5.    Penganiayaan Berat
            Diatur dalam pasal 354 :
(1)    barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2)    Jika perbuatan mengakibatkan kematian yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
6.    Hukuman Tambahan
Pasal 356 : Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga.
Ke 1.   Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.
Ke 2.   Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.
Ke 3.   Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.
-          Pertimbangan Hakim dalam memutus Kasus Penganiayaan berdasarkan kepada :
Niat/sikap batin seorang.
Akibat
Sengaja


7..    Penyerangan atau Perkelahian
Pasal 358 KUHP : Barang siapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan yang khusus, dihukum:
1.      Penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya menjadikan ada orang yang mendapat luka berat saja .
2.      Penjara selama-lamanya empat tahun, jika penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya seseorang.
Bahwa turut serta dalam penyerangan atau perkelahian seperti yang dimaksudkan dalam pasal 55 dan 56 KUHP melainkan harus disesuai dengan pengertian yang umum menurut tatabahasa yaitu : “Melibatakan diri dalam perkelahian tersebut”.
Perkelahian itu mempunyai arti yang lebih luas dari pada penyerangan, yakni karena pada suatu penyerangan, maka pihak yang mendapat penyerangan, berhak membela diri mereka atau dengan kata lain mereka itu berhak melakukan pembelaan diri dan tidak dapat diminta pertangungjawabkan menurut hukum pidana.
Dari pasal 358 KUHP dapat diketahui : menyebabkan luka berat pada tubuh dan menyebabkan kematian merupakan akibat-akibat yang membuat pelaku dapat dipidana, seandainya tidak menyebabkan luka berat/kematian, maka tidak dapat dijatuhi pidana.
Timbul kini pertanyaan siapakah yang harus mendapat luka berat dan siapakah yang meninggal agar para peserta dalam penyerangan/perkelahian itu dapat dipidana ?. Menurut Wiryono Prodjodikoro : bahwa yang harus mendapat luka berat pada tubuh atau yang harus meninggal dunia itu tidak perlu merupakan salah seorang dari pihak yang diserang ataupun dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkelahian, melainkan ia juga dapat merupakan salah satu pihak yang menyerang ataupun pihak ketiga yang mungkin saja telah terlibat didalamnya karena berusaha melerai perkelahian yang bersangkutan atau secara kebetulan sedang berada ditempat perkelahian.


Menurut SIMONS : Jika luka berat pada tubuh itu hanya timbul pada salah satu seorang peserta penyerangan, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.
Setiap peserta telah dapat dipidana semata-mata karena mereka telah turut serta (dalam tindak pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 358 KUHP), tanpa memandang bagaimana akibat itu dengan penyerangan  atau perkelahian yang bersangkutan terdapat suatu hubungan sebab akibat. Ini berarti bahwa misalnya dalam suatu penyerangan itu terdapat tiga orang peserta dan kemudian ternyata bahwa dalam penyerangan tersebut salah seorang dari peserta-peserta itu dengan sengaja telah membunuh salah seorang dari pihak yang diserang dan karena timbulnya korban yang meninggal dunia itu telah menyebabkan kejahatan menurut pasal 358 (2) KUHP itu menjadi selesai maka :
a.       peserta yang sengaja telah menghilangkan nyawa orang lain dapat dituntut karena melanggar pasal 338 JO pasl 358 (2) KUHP yang mengancam peserta tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama-lamanya lima belas tahun dan empat tahun.
b.      Dua orang peserta lainnya yang dengan sengaja telah turut serta dalam penyerangan yang bersangkutan dapat dituntut karan melanggar pasal 358 (2) KUHP yang mengancam peserta-peserta itu dengan pidana penjara selama empat tahun, walaupun mereka itu sebenarnya telah tidak ikut melakukan pembunuhan terhadap korban.


F.     Pengertian Kejahatan dan Pelanggaran
Kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum , sedangkan Pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.
Kejahatan adalah perbuatan yang karena sifatnya melanggar dan mengancam barang-barang hukum (rechtsgoederen) ,sedangkan Pelanggaran adalah perbuatan yang sama sekali tidak melanggar atau mengancam barang-barang hukum.


G.    Pengertian  Pembunuhan dan Penganiayaan Ringan
 Pembunuhan adalah suatu tindakan menghilangkan nyawa orang lain dengan cara disengaja maupun tidak disengaja.
Penganiayaan Ringan adalah penganiayaan yang tidak mengakibatkan orang menjadi sakit (ziek) dan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya (pasal 352 KUHP)
Contoh :
Ada seseorang perempuan dianiaya oleh mantan suaminya, akibat penganiayaan tersebut si korban mengalami luka dan rasa sakit pada bagian bibir dan mulutnya. Bahwa setelah peristiwa tersebut terjadi Korban pada waktu yang sama melaporkannya kepada pihak kepolisian. Setelah sampai dan melaporkan peristiwa tersebut Si Korban di mintai keterangan (BAP) tentang bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya, hingga pada akhirnya munculah pertanyaan terakhir dari penyidik , dan si Korban ditanya oleh Penyidik : Apakah setelah peristiwa penganiayaan tersebut terjadi Saksi Korban masih bisa bekerja ? Jawab Korban “ Iya, saya masih bisa bekerja dengan baik. Bahwa dengan alasan si korban masih bisa bekerja dengan baik, akhirnya Penyidik berkesimpulan bahwa Pelaku dikenakan pasal 352 ayat (2) KUHP yakni penganiayaan ringan walaupun jika kita lihat secara kasat mata demikian rupa parahnya luka tersebut. Akibat dari penggunaan pasal tersebut akhirnya Pelaku tidak ditahan.


KESIMPULAN
            Pelanggaran-pelanggaran di luar kapasitas adat istiadat, norma-norma perilaku masyarakat ataupun sifatnya umum yang dapat ditinjau dari segi hukum perdata, ketatanegaraan, tata usaha pemerintah serta pembentuk undang-undang yang secara langsung ditanggapi oleh suatu hukum pidana, maka jika digolonggkan dari segi tindak-tindak pidananya ataupun semua tindak pidana terlihat jelas yaitu melanggar hukum, atau tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Halaman Web :
http://campusline21.blogspot.com/2012/04/bagian-i-penggolongan-tindak-tindak.html

Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Arsip Blog

Artikel Terbaru