Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012) ini antara lain mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam undang - undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak sebagai Korban. Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan perbuatan anti sosial (Barda Nawawi Arief, 1994:20).
Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan Anak Korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus-kasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status Saksi dan/atau Korban, sehingga Anak Sebagai Saksi dan/atau Korban juga diatur dalam undang-undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana. Yang dimaksud dengan batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan Umum. Dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahai masalah Anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui Restoratif justice dan diversi.

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Kata ”peradilan” tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah bagian dari badan peradilan umum, maka sidang perkara Anak dengan sendirinya mencakup berbagai lingkup wewenang badan peradilan umum.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem peradilan pidana terhadap anak nakal berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, di Indonesian juga terdapat kekhususan, dalam hal hukum acaranya, anak yang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan ditempat yang berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh orang dewasa, karena anak-anak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal yang tidak diketahuinya. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak seperti Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum anak, Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Dalam Pasal 23 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, Tujuan dari proses semua ini adalah agar anak lebih rileks dan tidak tertekan secara mental / psikologis serta bersedia menceritakan kejadian / hal yang di alami / diketahuinya. Ketentuan ini tidak berubah, masih tercantum dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. Terhadap anak yang yang melakukan tindak pidana, sesuai Pasal 68 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijatuhkan pidana atau dikenakan tindakan :
Pasal 69
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat :
1) pembinaan diluar Lembaga
2) pelayanan Masyarakat;atau
3) pengawasan.
c. latihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga;dan
e. penjara
(2) pidana tambahan terdiri atas :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;atau
b. pemenuhan kewajiban adat
(3) Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan latihan kerja.
Sedangkan tindakan yang dapat diambil, adalah :
Pasal 74 :
Tindakan yang dapat kikenakan kepada anak meliputi : 
a. pengembalian kepada orangtua / wali;
b. penyerahan kepada pemerintah;
c. penyerahan kepada seseorang;
d. perawatan dirumah sakit jiwa;
e. perawatan dilembaga;
f. kewajiban mengikuti suatu pendidikan formal dan / atau latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
g. pencabutan surat ijin mengemudi;
h. perbaikan akibat tindak pidana;dan / atau
i. pemulihan.
Tindakan yang yang dimaksud pada ayat 1 dapat diajukan oleh penuntut umum dalam tuntutannya, kecuali jika tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun.(Pasal 74 ayat 2). Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah.
Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hukum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu - satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana.
Dalam sistem peradilan pidana pemidaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan pula merupakan satu - satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak (DS. Dewi Fatahillah A. Syukur, 2011:13).
Di dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law).
Mewujudkan kesejahteraan anak, menegakkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan menurut Undang-undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Pidana Anak. Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Peradilan Pidana Anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Pidana Anak ditinjau dari segi psikologi bertujuan agar anak terhindar kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.
Bagikan:

No comments:

Post a Comment

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Arsip Blog

Artikel Terbaru