Menurut Roeslan Saleh (Marlina, 2009:69) dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi apabila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana. Hal ini mengenai asas kesalahan yang memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Marlina (2009:69) ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan ini.
2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Syarat pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak; syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan atau tidak, (Marlina, 2009:70).
Marlina (2009:72-72) menyatakan bahwa dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana kepada seorang anak yang telah melakukan tindak pidana, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan, akan tetapi pemidanaan terhadap anak hendaknya haras memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang berfikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik bagi anak di masa akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita bangsa.
Menurut Setya Wayhudi (2011:53) penjatuhan sanksi kepada anak, dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1. Apakah sanksi itu sungguh-sungguh mencegah terjadinya kejahatan;
2. apakah sanksi itu tidak berakibat timbulnya keadaan lebih meragikan atas diri anak (stigmatisasi), dari apabila sanksi yang tidak dikenakan;
3. apakah tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian yang lebih kecil.
Kebijakan penjatuhan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum menunjukan adanya kecenderungan bersifat meragikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan bersifat meragikan ini akibat keterlibatan anak dalam proses peradilan pidana anak, dan dapat disebabkan akibat dari efek penjatuhan pidana yang berupa stigma. Efek negatif bagi anak akibat keterlibatan anak dalam proses peradilan pidana dapat berupa penderitaan fisik dan emosional seperti ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan maupun gangguan jiwa. Akibat semua ini maka anak menjadi gelisah, tegang, kehilangan kontrol emosional, menangis, gemetaran, malu dan sebagainya. Terjadinya efek negatif ini disebabkan oleh adanya proses peradilan pidana, baik sebelum pelaksanaan sidang, saat pemeriksaan perkara, dan efek negatif keterlibatan anak dalam pemeriksaan perkara pidana.
No comments:
Post a Comment