Pengertian Hukum Waris dan Dasar Hukumnya

Dalam literatur hukum Indonesia sering digunakan kata “waris” atau warisan. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab akan tetapi dalam praktek lebih lazim disebut “Pusaka”. Bentuk kata kerjanya Warastra Yasiru dan kata masdarnya Miras. Masdar yang lain menurut ilmu sasaf masih ada tiga yaitu wirsan, wirasatan dan irsan. Sedang kan kata waris adalah orang yang mendapat warisan atau pusaka. Dalam literatur hukum arab akan ditemukan penggunaan kata Mawaris, bentuk kata jamak dari Miras. Namun banyak dalam kitab fikih tidak menggunkan kata mawaris sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu dari pada kata mawaris. Rasullulah SAW menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawaris. Hadis riwayat Ibnu Abas Ma’ud berbunyi: dari ibnui Abas dia berkata, Rasullulah bersabda: “Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah pada orang lain. Pelajari pula faraid dan ajarkan kepada orang-orang” (HR Ahmad) (H. Achmad Kuzari, 1973:168).

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat.
4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat (Ahmad Rofiq, 2001:4).
Kata Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam (INPRES Nomor 1 tahun 1991) Pasal 171 butir (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Saekan dan Erniati Effendi, 1997:125).
Istilah hukum waris terkandung suatu pengertian yang mencakup kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Di bawah ini akan diuraikan beberapa pengertian istilah dalam hukum waris menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu:
2. Waris:
Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.
3. Warisan:
Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
4. Pewaris:
Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
5. Ahli waris:
Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.
6. Mewarisi:
Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya (W.J.S. Poerwardaminta, 1982:1148).
7. Proses Pewarisan:
Istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu :
a. Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih hidup, dan
b. berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal. (Hilman Hadikusumah, 1980:23).
Berkaitan dengan peristilahan tersebut di atas selanjutnya Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa "warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi” (Hilman Hadikusumah, 1980:21).
Menurut Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Alquran, hadist dan ijtihad para ahli (Ahmad Zahari, 2008).
Menurut Ahmad Azhar Basyir, kewarisan menurut hukum Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum (Ahmad Azhar Basyir, 2004:132).
Menurut Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam (Amir Syarifuddin, 2004:6).
Menurut al-Syatibi yang dikutip Ahmad Rofiq, bahwa terhadap ketentuan Alquran yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci dalam Alquran, seperti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta'abbudy atau dierima secara taken for granted. Karena itu realisasinya, apa yang ditegaskan Alquran diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan Allah (Ahmad Rofiq, 2000:374).
Selain Alquran, hukum kewarisan juga didasarkan kepada Sunnah Rasulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalaf fih.
Ayat-ayat Alquran cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan. Di bawah ini akan dikutip arti dari ayat Alquran dalam QS. An-Nisa 4:11, yang menunjuk tentang hukum kewarisan:
Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) atau sesudah dibayar utangnya. (Tentang orang tuamu dan anak-anaknu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, QS. An-Nisa, 4:11. (Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1986:116).
Bagikan:

No comments:

Post a Comment

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Arsip Blog

Artikel Terbaru