Secara etimologi, harta bersama adalah dua kata yang terdiri harta dan bersama. Harta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berbarengan. Harta bersama berarti harta yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.
Harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama.
Pada kalangan mazhab Syafi‟i terdapat empat macam yang disebut harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan syirkat), yaitu :
1. Syarikat „inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat untuk membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka berdua.
2. Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upah) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu, dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya.
3. Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan tenaganya dan masing-masing diantara mereka mengeluarkan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.
4. Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.
Dari keempat macam syarikat di atas mahzab Hanafi dan Maliki hanya menerima syarikat „inan karena syarikat ini merupakan muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan hidupnya. Begitu pula dengan Mahzab Syafi‟i meskipun membagi syarikat menjadi 4 (empat) macam tetapi dalam praktik peradilan mereka hanya menganut syarikat „inan saja.
Pada KHI Pasal 85 dan 86 diatur mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dimana menyatakan bahwa adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Berdasarkan kedua pasal ini dapat disimpulkan bahwa Islam tidak mengenal adanya harta bersama atau pencampuran harta suami dan isteri.
Walaupun dalam hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama atau pencampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami-isteri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami dan isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami-isteri yang menjurus ke perceraian.
Undang-undang perkawinan pada Pasal 35-37 mengemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bawaannya tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Sebenarnya apa yang disebutkan dalam pasal di atas sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini, banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum merekamenjadi suami isteri.
Mengenai harta bersama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam perkawinan yaitu:
1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. Harta ini di Jawa Tengah disebut barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha atau harta pusaka,di Nganjuk disebut harta perimbit.
2. Harta yang diperoleh dengan hasil jerih payah sendiri sebelum mereka menjadi suami isteri. Harta yang demikian di Bali disebut guna kaya,di Sumatera Selatan dibedakan harta milik suami dan harta milik isteri sebelum kawin, kalau milik suami disebut harta pembujang yang milik isteri disebut harta penantian.
3. Harta dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan. Harta ini di Aceh disebut harta , di Bali disebut Druwe gebru, di Jawa disebut harta gonogini, di Minangkabau disebut harta saurang, di Madura disebut ghuma-ghuma, dan di Sulawesi Selatan disebut barang cakkar.
4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami dan isteri selama perkawinan.
Dari beberapa pengertian mengenai harta dalam perkawinan yang terurai di atas, penulis menyimpulkan bahwa:
1. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung yang berasal dari warisan, hadiah, ataupun hibah.
2. Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung diluar dari warisan, hadiah, atau hibah.
Guide for Buyer
ReplyDelete