Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat signiflkan sejak dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo. Dalam pidatonya yang berjudul "Pohon Beringin Pengayoman", yang mengemukakan konsep tentang pengakuan kepada narapidana sebagai berikut:
“Di bawah pohon beringin pengayoman ditetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan narapidana, maka tujuan pidana penjara dirumuskan, disamping menimbulkan derita bagi terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing agar bertobat, mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang sosialis Indonesia yang berguna".
Sistem pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap Warga binaan Pemasyarakatan selanjutnya baru memperoleh pengakuan secara yuridis formal setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang mulai diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor; 13641.
Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofis retributif (pembalasan), Deterennce (penjeraan), dan resosialisasi. Dengan kata lain berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).
Dalam Pasal 1 Poin 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditentukan bahwa:
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Kemudian dalan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa:
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesaiahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa pemerintah telah memberikan sebuah upaya yang signifikan untuk melakukan perubahan terhadap kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan narapidana dengan sangat manusiawi, melalui hak-hak terpidana.
Bertitik tolak dari Pasal 1 ayat (1) Reglemen Penjara (Staatsblad 708 Tahun 1917) bahwa "penjara" itu dapat diartikan sebagai:pemidanaan tidak bertujuan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofis reintegrasi sosial yang 1. Tempat untuk menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim
2. Tempat untuk mengasingkan orang yang melanggar tata tertib hukum.
Menurut Ramlf Atmasasmita Rumah Penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain :
1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat,
2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.
Pembagian rumah penjara ketika itu erat kaitannya dengan kebiasaan saat itu dalam hal menempatkan para terpidana secara terpisah sesuai dengan berat ringannya pidana yang harus mereka jalani di rumah-rumah penjara manapun di dunia ini. Di Indonesia saat ini hal demikian juga diikuti namun bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga Pemasyarakatan.
Seiring dengan berjalannya waktu, struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan berubah dengan berdasarkan pada surat keputusan Menteri Kehakiman Rl No. M.01.-PR.07.03 Tahun 1985 dalam Pasal 4 ayat (1) diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu :
a. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I
b. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA
c. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II B
Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja. Lembaga Pemasyarakatan menurut Departemen Hukum dan HAM Rl adalah unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana. Sedangkan pengertian Lembaga Pemasyarakatan menurut kamus bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Lembaga adalah organisasi atau badan yang melakukan suatu penyelidikan atau melakukan suatu usaha.
b. Pemasyarakatan adalah nama yang mencakup semua kegiatan yang keseluruhannya dibawah pimpinan dan pemilikan Departemen Hukum dan HAM, yang berkaitan dengan pertolongan bantuan atau tuntutan kepada hukuman/bekas tahanan, termasuk bekas terdakwa atau yang dalam tindak pidana diajukan ke depan pengadilan dan dinyatakan ikut terlibat, untuk kembali ke masyarakat.
Dari uraian di atas, yang dimaksud dengan Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu badan hukum yang menjadi wadah/menampung kegiatan pembinaan bagi narapidana, baik pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohaniah agar dapat hidup normal kembali di tengah masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 maka secara resmi Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Mantap, terima kasih admin atas artikelnya, semoga bisa menjadi referensi untuk kami dari Lapas Sarolangun
ReplyDelete