Tindak Pidana Administrative Corruption

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa terdapat perbedaan jenis-jenis korupsi. Menurut World Bank (Marwan, 2013:56), dalam praktek dikenal dua bentuk korupsi yaitu:
a. Administrative Corruption
Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum/peraturan yang berlaku, akan tetapi ada individu-individu tertentu yang berupaya memanfaatkan memperkaya diri atau mencari keuntungan dari situasi yang ada. Sebagai contoh dalam pelaksanaan pelelangan, seakan-akan sudah sesuai dengan aturan, padahal pemenang lelang sudah ada dan sudah ditentukan terlebih dahulu, meski kemudian tetap diumumkan.
b. Against The Rule Corruption
Korupsi yang dilakukan sepenuhnya bertentangan dengan hukum, seperti penerima suap, pemerasan, memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi lain secara melawan hukum atau dengan perbuatan penyalahgunaan jabatan.
Bagikan:

Konsep Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi

Sebelum membahas konsep penyalahgunaan kewenangan, perlu diketahui pengertian kewenangan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1272) yang dimaksud kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Dalam tindak pidana korupsi, kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku koruptor adalah serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik (R. Wiyono, 2009:47). Adapun yang dilekati kewenangan tersebut yaitu kewenangan pegawai negeri seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) huruf a, b, c, d, dan e.
Pengertian kewenangan tersebut lebih luas dari pengertian kewenangan menurut konsep Hukum Administrasi Negara. Pandangan SF. Marbun (2004:47) bahwa:
“Menurut hukum administrasi pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara juridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.”
Bagikan:

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

Istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), dalam bahasa Belanda dikenal dengan algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Menurut Jazim Hamidi (Ridwan, 2010:234) menemukan pengertian AAUPB sebagai berikut:
a) AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara;
b) AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan / beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
c) Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat;
d) Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.
Bagikan:

Pengertian Kebijakan Kepala Daerah

Sebelum membahas tentang kebijakan kepala daerah, perlu diketahui terlebih dahulu siapakah yang tergolong kepala daerah tersebut. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa yang dimaksud kepala daerah adalah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Kedudukan Kepala Daerah dalam hal pengangkatan dan pemberhentian merupakan tugas dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), adapun dasar hukum wewenang tersebut diatur dalam Pasal 42 huruf d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu
“Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;”
Bagikan:

Upaya Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan empirik terdiri dari tiga bagian pokok , yaitu:
1. Pre-emtif
Yang dimaksud dengan upaya pre-emtif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulan kejahatan secara pre-emtif menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisai dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu: Niat + Kesempatan terjadinya kejahatan. Contohnya, ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi dibanyak Negara seperti Singapura, Sydney, dan kota besar lainnya didunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor “NIAT” tidak terjadi.
Bagikan:

Teori-teori dalam kriminologi

Dalam kriminologi juga dikenal sejumlah teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahanyang berkaitan dengan kejahatan atau penyebab kejahatan. Dalam teori-teori tersebut adalah teori Asosiasi Diferensial, teori Anomi, teori Subkul-tur, teori Label, teori Konflik, teori control dan sebagainya (Indah Sri Utami, 2012:70-73). Sekian diantara penjelasan dari teori tersebut adalah:
1. Teori Diferential Association
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland (Indah Sri Utami ; 70), seorang ahli sosiologi Amerika dalam bukunya Principles of Criminology (1934). Asumsinya dalam teori ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas dan George Mead yang beraliran symbolic interactionism, juga aliran ekologi dari Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay, serta culture conflict dari Thorsten Sellin. Terdapat dua versi asosiasi diferensial. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology edisi ketiga. Dalam karya tersebut perhatian Sutherland tertuju pada konflik budaya (cultural conflict), keberantakan social (social disorganization), serta diferensial association. Itulah sebabnya, ia menurunkan tiga pokok soal sebagai intisari teorinya:
-Any can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. (tiap orang menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan).
-Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. (kegagalan mengikuti suatu pola tingkah laku (yang seharusnya) akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan).
-The conflict of culture is therefore the fundamental principle in the explanation of crime. (konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan).
Bagikan:

Aliran-aliran dalam kriminologi

Dalam ilmu kriminologi terdapat empat aliran (Indah Sri Utami, 2012:65-68) yaitu:
1. Aliran klasik
Aliran klasik merupakan label umum untuk kelompok pemikir tentang kejahatan dan hukuman pada abad 18 dan awal abad 19. Anggota paling menonjol dari kelompok pemikir tersebut antara lain Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Dua pemikir ini mempunyai gagasan yang sama, bahwa perilaku kriminal bersumber dari sifat dasar manusia sebagai mahkluk hedonistic sekaligus rasional. Hedonistik, karena manusia cenderung bertindak demi kepentingan diri sendiri. Sedangkan rasional, karena mampu memperhitungkan untung rugi dari perbuatan tersebut bagi dirinya menurut aliran klasik ini, seorang individu tidak hanya hedonis tetapi juga rasional, dan dengan demikian selalu mengkalkulasi untung rugi dari setiap perbuatannya termasuk jika melakukan kejahatan. Kemampuan ini memberikan mereka tingkat kebebasan tertentudalam memilih tindakan yang akan diambil apakah melakukan kejahatan atau tidak. Sementara itu, Jeremy Bentham melihat suatu prindip baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sustem irrasional yang absolute, akan tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat di ukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan.
Bagikan:

Pengertian Perkawinan

Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab atau disebut dengan alnikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ‘ibarat ‘anal-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Sedangkan menurut bahasa Indonesia adalah “perkawinan”. Namun bila dicermati, istilah tersebut mempunyai makna yang sama, dan dalam karya tulis ini digunakan istilah perkawinan. Masalah perkawinan dalam Al-Qur’an ditegaskan tidak hanya dalam bentuk garis-garis besar saja, seperti halnya perintah agama melainkan diterangkan secara tafsili/terperinci. Pokok-pokok hukum perkawinan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 221-237 mengenai perkawinan, perceraian dan hubungan kerabat karena susunan.
Mengenai perintah Allah kepada manusia untuk menikah dalam Al-Qur’an disebut dalam surah An Nuur ayat 32:
Dan kawinkanlah orang orang yang sendirian diantara kamu, dan orang orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang lelaki dan hamba hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.
Nabi Muhammad SAW memperkuat Firman Allah diatas dengan bersabda “Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang mengikuti sunnahku berarti termasuk golonganku dan barang siapa yang membenci sunnahku berarti bukan termasuk golonganku”.(HR.Bukhori-Muslim)
Bagikan:

Pengaturan Perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pada bidang perkawinan, bangsa Indonesia telah memiliki undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundangkan di dalam Lembaga Negara Repoblik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Sedangkan penjelasannya dimuat di dalam Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3019. Menurut DR.Mr. hazairin, Undang-Undang Perkawinan ini adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku bagi setiap warga Negara Republik Indonesia. Undang-undang ini merupakan suatu unifikasi dengan tetap menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi ini bertujuan hendak melengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena dalam hal tersebut Negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntunan zaman.
Bagikan:

Pengertian Kartu Kredit, Jenis-jenis dan Ciri-ciri Kartu Kredit

A.    Pengertian Kartu Kredit
Kartu kredit merupakan alat pembayaran pengganti uang tunai yang dapat digunakan oleh konsumen untuk ditukarkan dengan barang dan jasa yang diinginkannya di tempat-tempat yang dapat menerima pembayaran dengan menggunakan kartu kredit (merchant).1Pengertian kartu kredit dalam pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Inonesia Nomor 7/52/PBI/2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu :
“ Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran.” 2
Dibandingkan dengan jenis-jenis kredit yang ditawarkan dunia perbankan, kartu kredit merupakan jenis kredit yang paling mudah dan cepat disetujui. Syaratnya sederhana yaitu fotocopi KTP, slip gaji atau surat keterangan penghasilan, foto dan surat keterangan lain yang dianggap perlu.
Bahkan pada perkembangan saat ini, apabila calon pemegang kartu kredit yang mengajukan permohonan kartu kredit telah memiliki kartu kredit sebelumnya, maka calon pemegang kartu kredit yang bersangkutan hanya perlu menyerahkan fotokopi tagihan kartu kredit tersebut.
Selain kemudahan dalam mengajukan permohonan, kelebihan lain dari penggunaan kartu kredit adalah lingkup penggunaannya yang sangat luas, dari transaksi kecil sampai transaksi bervolume besar. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang sering melakukan perjalanan, baik untuk bisnis maupun wisata karena kartu kredit juga dapat digunakan untuk melakukan transaksi diberbagai negara yang menerima pembayaran dengan kartu kredit.
Masyarakat biasanya menggunakan kartu kredit untuk pembayaran transaksi yang dilakukan melalui internet atau di toko-toko yang menyediakan layanan pembayaran dengan kartu kredit. Pada transaksi yang dilakukan melalui internet, pihak card holder mempunyai kewajiban untuk membayar barang yang dibelinya dan mempunyai hak untuk menerima barang yang telah dibelinya dari merchant, dan sebaliknya merchant mempunyai kewajiban untuk mengirim barang itu dalam keadaan baik dan spesifikasinya sesuai dengan apa yang dipesan oleh card holder dan berhak untuk menerima pembayaran.  Perkembangan penggunaan kartu kredit yang begitu pesat ini disebabkan karena masyarakat merasakan semakin pentingnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran dan mengambil uang tunai mengingat kepraktisan, rasa nyaman dan aman yang ditimbulkan. Kegiatan itu juga tidak terlepas dari pembebanan pajak sebagai kewajiban masyarakat untuk membebankan pajak pada setiap transaksi atau fasilitas atau biaya yang harus dibayar atas penggunaan fasilitas atau kepimilikan suatu barang.

Bagikan:

Kewenangan DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Kewenangan DPD mengajukan RUU menurut MK, kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat(1) UUD 1945 merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Mengenai Kewenangan DPD Ikut Membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “DPD ikut membahas RUU tertentu serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama”.
Bagikan:

Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Pembatalan perkawinan

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal isteri, suami atau isteri. (Pasal 38 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975).
Bagikan:

Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Alasan-alasan pembatalan perkawinan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
Pasal 70
Suatu perkawinan batal apabila:
a.    Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu isteri dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i. talak raj’I adalah talak yang masih boleh rujuk. Arti rujuk ialah kembali, maksudnya kembali menjadi mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi
b.    Seorang yang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya (putusnya hubungan perkawinan karena tindakan suami yang menuduh isternya berbuat zina dan isterinya menolak tuduhan itu).
c.    Seorang menikahi isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali jika isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d.    Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
e.    Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau ponakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Bagikan:

Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin,S.H.: “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai Undang-Undang”.
“Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.
Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan:”Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan.
Bagikan:

Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Pada pelaksanaan perkawinan, calon mempelai harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan tetapi tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan:
a.     Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
b.    Tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pernyataan seperti tersebut diatas juga dijelaskan kembali pada bagian penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu “dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.
Bagikan:

Tujuan dan Asas Perkawinan

Tujuan dilaksanakannya perkawinan menurut hukum nasional adalah untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan bila mendasarkan pada Al-Qur’an dan hadist dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan kebahagian sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
K.Wantjik Saleh berpendapat, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak diputuskan begitu saja. Pendapat lain mengemukakan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga dan menciptakan keluarga yang sakinah dengan landasan kebajikan tuntunan agama.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya “Hukum Perkawinan Islam” menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Tujuan perkawinan dalam pasal 3 kompilasi Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrohmah (keluarga yang tentram penuh kasih dan sayang). Pada buku yang ditulisnya, Soemiyanti menjelaskan, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah. Rumusan tujuan perkawinan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
a.    Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan.
Dengan perkawinan, pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan itu dapat disalurkan dengan sah. Apabila manusia dalam usaha memenuhi hajat tabiat kemanusiaan dengan saluran yang tidak sah dan dilakukan terhadap siapa saja, dan dengan sendirinya masyarakat menjadi kacau balau serta bercampur aduk tidak karuan. 
Bagikan:

Perlindungan Anak

1. Tujuan perlindungan anak
Tujuan umum perlindungan anak adalah untuk menjamin pemenuhan hak-hak kelangsungan hidup, tumbuh kembang,  perlindungan, dan partisipasi anak. Adapaun tujuan khusus yang hendak dicapai adalah:
a.    Menjamin perlindungan khusus bagi anak dari berbagai tindak perlakuan tidak patut, termaksud kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi.
b.    Menjamin perlindungan hukum baik dalam bentuk pembelaan pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum agar hak-haknya tetap terpenuhi, dan terlindungi dari tindak diskriminasi.
c.    Mengakui dan menjamin hak anak dari komunitas minoritas untuk menikmati bu daya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agamanya.
Sasaran yang ingin dicapai untuk perlindungan anak adalah terlaksananya sosialisasi anak ditingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, baik dikalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik keluarga, masyarakat, maupun dunia usaha.Terjaminnya hak-hak anak dalam situasi darurat meliputi pengunggsian dan konflikbersenjata, serta anak dalam kondisi tereksploitasi ekonomi maupun non ekonomi.Tercapainya perlindung hukum yang ramah anak baik pada elemen pemerintah (polisi dan jaksa), yudukatif (hakim), pengacara dan lembaga perlindungan hukum non pemerintah. Terselenggarannya upaya-upaya pelaksanaan kesejahteraan bagi anak, baik pengawasan, pencegahan, perawatan, rehabilitasi, perlindungan dari eksploitasi media massa dan labelitas, re-integrasi, penyediaan saran dan prasarana kecacatan, penjaminan keselamatan terhadap pihak eksploiter, dan pemudahan aksebilitas terhadap informasi hukum dan hak-hak anak. Perlunya kepemilikan akte kelahiran bagi anak, tersedianya wadah bagi anak-anak dari komunitas adat terpencil dan kelompok minoritas untuk menikmati budaya, menggunakan bahasa, dan melaksanakan ajaran agama.( Program nasional bagi anak Indonesia. 2009: 19-21).
2.  Perlindungan anak dalam hukum
Pengertian anak yang mengalami kekerasan fisik, dan atau mental, eksploitasi anak, ekonomi seksual dan diskriminasi dalam tulisan ini selanjutnya disebut anak yang mengalami berbagai perlakuan salah. Kondisi dan situasi anak yang sulit  tersebut tergolong ke dalam anak yang memerlukan perlindungan hukum khusus.
Bagikan:

Pengertian Perdagangan Anak

Defenisi Perdagangan Orang yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Selanjutnya disingkat UUPTPPO) yang rumusannya:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Perlindungan anak-Kementrian  negara  pemberdayaan perempuan RI. 2009: 37).
Bagikan:

Pengertian Konsumen dan Hak Konsumen

a. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi. Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 undang-Undang Perlindungan Konsumen adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Selain pengertian-pengertian di atas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti rugi. Di Amerika serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai akhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen pemakai dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen” yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya.
Terdapat beberapa batasan pengertian konsumen, yakni:
1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
2) Konsumen antara adalah setip orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa, untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersial).
Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara), dan dapat terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti supplier, distributor, atau pedagang.Sedangkan konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen. Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam kebutuhan hidup mereka tidak diukur atas dasar untung rugi secara ekonomis belaka, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup raga dan jiwa konsumen.
Bagikan:

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen adalah:
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual;
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Bagikan:

Pengertian Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), yaitusegala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Bagikan:

Kejahatan Spionase (Cyber Espionage)

Spionase atau tindakan memata-matai adalah suatu tindakan yang melibatkan pemerintah atau secara individual untuk mendapatkan informasi yang rahasia atau sangat penting tanpa adanya izin dari pemilik informasi tersebut. Spionase merupakan kegiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang biasanya merupakan tindakan ilegal dan dapat dihukum.38 Tindakan spionase biasa dilakukan berdasarkan permintaan dari suatu instansi baik instansi pemerintahan maupun berasal dari perusahaan untuk kepentingan bisnis. Permintaan spionase dari pemerintah biasanya merupakan permintaan yang berhubungan dengan kegiatan militer dari musuh sedangkan spionase yang berhubungan dengan perusahaan biasa dikenal dengan istilah spionase industri. Salah satu cara yang efektif untuk mendapatkan data dan informasi mengenai musuh yaitu dengan melalui cara memasuki wilayah musuh. Tugas ini biasa dilakukan oleh mata-mata (agen spionase). Mata-mata dapat membawakan kembali seluruh bagian informasi mengenai ukuran maupun kekuatan dari pasukan musuh.
Bagikan:

Hukum Siber (Cyber Law)

Perkembangan cyberspace (internet) yang sangat maju menyebabkan kebebasan bertindak yang dilakukan oleh pengguna internet. Mereka dapat memanfaatkan kemajuan internet dengan melakukan interaksi sosial yang tanpa harus saling bertatap muka langsung atau secara konvensional. Bahkan mereka dapat melakukan suatu transaksi barang dari suatu negara ke negara lain tanpa harus bertemu langsung untuk melakukan transasksi jual beli.
Fenomena baru tersebut bukan tidak ada resikonya. Selain menimbulkan dampak positif, fenomena tersebut tentunya menimbulkan dampak negatif. Perkembangan dari semakin majunya penggunaan cyberspace dapat menimbulkan penyalahgunaan internet yang disebut sebagai cybercrime sehingga diperlukan adanya tindakan pencegahan untuk melindungi pengguna internet dari tindakan para pelaku cybercrime. Diperlukan hukum yang mengatur agar tercipta keamanan dan kenyaman dalam memanfaatkan kemajuan cyberspace yaitu diperlukannya cyberlaw.
Bagikan:

Cybercrime (Kejahatan Siber)

Cybercrime merupakan salah satu bentuk baru jenis kejahatan. Kejahatan berkembang terus menerus mengikuti zaman dan teknologi. Cybercrime saat ini digunakan untuk menunjukkan kepada kejahatan yang berhubungan dengan cyberspace dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Perkembangan cyberspace yang pesat menyebabkan terjadinya penyalahgunaan teknologi tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penyalahgunaan dari perkembangan cyberspace tersebut yang akhirnya disebut sebagai cybercrime. Definisi mengenai cybercrime belum ada satu kesepahaman.
Secara umum, yang dimaksud kejahatan di dunia siber (cybercrime) adalah upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.
Bagikan:

Definisi Hukum Pidana Internasional

Hukum Pidana Internasional diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss); Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda); kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amerika Serikat seperti Edward M. Wise pada tahun 1965 dan M. Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).
Hukum Pidana Internasional dikembangkan sebagai salah satu cabang ilmu hukum yang dilakukan oleh Gerhard O. W., Mueller dan Edward M. Wise. Mereka telah menyusun karya tulis International Criminal Law pada tahun 1965 sebagai salah satu proyek penulisan dibawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh M. Cherif Bassiouni dan Ved P. Nanda pada tahun 1986 yang telah menulis sebuah karya tulis “A Treatise on International Criminal Law” pada tahun 1973.
Romli Atmasasmita dalam bukunya Pengantar Hukum Pidana Internasional mengambil pendapat dari Rolling yaitu dia selain membedakan antara national criminal law dan international criminal law, juga membedakan antara kedua pengertian tersebut dengan istilah supranational criminal law.
Menurut Rolling, national criminal law is the criminal law which has developed within the national legal order and which is founded on a national source of law (hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang berkembang didalam kerangka orde peraturan perundang-undangan nasional dan dilandaskan pada sumber hukum nasional). International law is the law which determines what national criminal law will apply to offences actually commited if they contain an international element (hukum pidana internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan apabila terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya). Supranational criminal law is the criminal law of the greater community which comprises States and people-means the criminal law standards that have been developed in that greater community (hukum pidana dan masyarakat yang lebih besar yang terdiri dari negara dan rakyat berarti standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut). Rolling kembali menegaskan meskipun ketiga tipe hukum pidana tersebut harus dibedakan namun ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiganya sangat berkaitan erat dan tergantung satu sama lain, menyatu, dan saling beradaptasi.
Bagikan:

Ketentuan Pidana Perbuatan yang Menghilangkan Nyawa Orang Lain

1. Sengaja menghilanggkan nyawa orang lain diatur dalam Pasal 338 KUHPidana.
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum, maker mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Kejahatan ini dinamakan makat mati atau pembunuhan.
- Barang siapa
Yangdimaksud dengan barang siapa adalah untuk menetukan siapa pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum yang telah melakukan tindak pidana tersebut dan memiliki kemampuan jiwa (Geestelijkevermoges) dari pelaku yang didakwakan dalam melakukan tindak pidana yang dalam doktrin hukum pidana ditafsirkan sebagai dalam keadaan sadar.
- Sengaja
Adanya kesengajaan sebagai niat atau maksud
- Menghilangkan nyawa orang lain

Kesengajaan membunuh (merampas nyawa) orang lain itu dilakukan segera setelah timbul niat sehingga tidak ada waktu untuk berfikir dengan tenang.
Bagikan:

Perbedaan Dolus Eventualis dengan Culpa lata

1. Jenis-Jenis Culpa lata
Sebagaimana telah dikemukakan tentang pengertian delik kulpa di atas, yakni delik yang di dalamnya terdapat unsure kurang kehati-hatian, maks culpa lata tersebut mempunyai corak tersendiri.
Andi Zainal Abidin Farid, (1981: 228) menyimpulkan bahwa pembuat Undang-Undang mengakui corak dari culpa lata yaitu:
a. Culpa lata yang diinsyafi atau disadari (Bewuste Schuld)
Si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha mencegah, tapi timbul juga masalah.
b. Culpa lata yang tidak disadari (Onbewuste schuld)
Si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akibat yang akan timbul.
Di dalam KUHPidana tidak terdapat pembagiannya, akan tetapi dalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan yang disadari (bewuste schuld). Bewuste schuld sukar dibedakan dengan voorwaardelijk opzet, karena keduanya dapat digambarkan sebagai seorang pembuat delik yang telah membayangkan akibat yang akan terjadi, akan tetapi walaupun demikian akibatnya tetap timbul juga. Pada onbewuste schuld terhadap si pembuat dalam berbuat tidak membayangkan akibat yang timbul, padahal seharusnya ia membayangkannya.
Jonkers (Bambang Poenomo 1992: 174), memberikan contoh bahwa seseorang ingin membakar rumah dengan tiada maksud lain, akan tetapi ditempat lain itu ia mengetahui ada orang sakit yang keadaanya sedemikian rupa sehingga akan meninggal apabila terkejut. Dengan meneruska pembakaran itu, maka kesengajaannya ditunjukan kepada kematian orang yang sakit itu. Dalam hal kealpaan yang disadari (bewuste sculd) diberikan contoh mengadakan perta di dalam ruangan yang banyak mempergunakan penerangan (lilin) di dekat bahan yang mudah terbakat. Meskipun untuk keamanan telah disiapkan alat pemadam api, maka kebakaran yang tidak dikehendaki itu apabila terjadi merupakan kealpaan yang disadari karena orang itu insyaf akan adanya bahaya. Kealpaan yang tidak disadari adalah melempar barang di luar gudang tanpa memikirkan kemungkinan bahwa orang lain akan selalu di situ, maka kealpaanya karena kurang untuk berikhtiar terhadap peristiwa yang tidak dapat disangka yang seharusnya diingat kemungkinan itu.
Demikian terjadinya kealpaan, yang dapat terjadi sedemikian beratnya sehingga mirip dengan kesengajaan(kemungkinan/bersyarat), akan tetapi dapat pula terjadi kealpaan yang sedemikian ringannya sehingga tidak mudah dibedakan dengan peristiwa biasa yang kebetulan, yang perlu atau tidaknya celaan yuridis.
Bagikan:

Pengertian dan jenis-jenis Kealpaan atau Culpa

1. Pengertian Kealpaan (culpa)
Di dalam Undang-Undang untuk menyatakan “kealpaan” dipakai bermacam-macam istilah yaitu: schuld, onachtzaamhid, emstige raden heef om te vermoeden, redelijkerwijs moetvermoeden, moest verwachten, dan di dalam ilmu pengetahuan dipakai istilah culpa.
Istlah tentang kealpaan ini disebut “schuld” atau “culpa” yang dalam bahasa Indenesia diterjemahkan dengan “kesalahan”. Tetapi maksudnya adalah dalam arti sempit sebagai suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan, yaitu: kurang berhati-hati sehinga akibat yang tidak disengaja terjadi
Penjelasan tentang apa yang dimaksud “culpa” ada dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda mengajukan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, dimana dalam pengajuan Rancngan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud denga “kelalaian” adalah:
a. Kekurangan pemikiran yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan/pengertian yang diperlukan
c. Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari
Culpa itu oleh ilmu pengetahuan dan yurisprudensi memang telah ditafsirkan sebagai “een tekortaan voorzienigheid” atau “een manco aan voorzichtigheid” yang berarti “suatu kekurangan untuk melihat jauh kedepan tentang kemungkinan timbulnya akibat-akibat” atau “suatu kekurangan akan sikap berhati-hati”
Untuk menyebutkan pengertian yang sama dengan “kekurang hati-hatian”, “kurangnya perhatian” seperti yang dimaksud di atas, para guru besar menggunakan istilah yang berbeda-beda. Pompe misalnya, talah menggunakan istilah “onachtzaamheid”, sedangkan Simaons telah menggunakan istilah-istilah “gemis aan voorzichtigheid” dan “gemis aan voorzienbaarheid”. Van Bemmlen telah menggunakan istilah “roekeloos”
Sactohid Kartanegara (Sri Widyastuti 2005: 40) merumuskan delik culpa seiring dengan Culpose Delicten yaitu:
Tindak-tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang hati-hati. Akan tetapi hukumannya tidak seberat seperti hukuman terhadap Doleuse delicten, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan. Culpose delicten adalah delik yang mempunyai unsure culpa atau kesalahan (Schuld).
Contoh: -Pasal 359 KUHPidana
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun
-Pasal 188 KUHPidana
Barangsiapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-, jika terjadi bahaya kepada mau orang lain, atau jika hal itu berakibat matinya seseorang.
Lamintang (1997: 204) mengemukakan tentang delik culpa adalah “Culpose delicten atau delik yang oleh pembentuk Undang-Undang telah disyaratkan bahwa delik tersebut terjadi dengan sengaja agar pelakunya dapat dihukum”.
Demikianlah apa yang dimaksud dengan isi kealpaan itu, menurut ilmu pengetahuan terhadap delik-delik culpa yany berdiri sendiri. Delik culpa yang berdiri sendiri, seperti Pasal-Pasal 188. 231 ayat (4), 232 ayat (3), 334, 359, 360, 409, 426 ayat (2), 427 ayat (2), 477 ayat (2) KUHPidana (vide di atas) juga sering disebut sebagai delict culpoos yang sesungguhnya, yaitu delik-delik yang dirumuskan dengan perbuatan kealpaan yang menimbulkan suatu akibat tertentu.
Lain halnya dalam menghadapi delict culpoos yang tidak sesungguhnya (delict pro parte dolus pro parte culpa), seperti Pasal-pasal 283, 287, 288, 290, 292, 293, 418, 480, 483, dan 484 KUHPidana. Di situ dipakai unsure “dikethui” atau “sepatutnya harus diduga” sehingga apabila salah satu dari bagian unsure tersebut sudah terpenuhi, cukup untuk menjatuhkan pidana delict-dolus yang salah satu unsurnya diculpakan. Persoalan yang terjadi didalam delik culpa yang tidak sesungguhnya, menyebut dengan istilah elemen culpa, yang ditempatkan sesudah opzet dengan ancaman pidana yang tidak berbeda.
Kalau dasar adanya kealpaan adalah merupakan kelakuan terdakwa yang tidak menginsyafi dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, maka dasar hukum untuk memberikan pidana terhadap delik culpa, berarti kepentingan penghidupan masyarakat, yang mengharapkan setiap anggota memasyarakatkan dalam melakukan perbuatan, beusaha sedemikian rupa untuk memperhatikan kepentingan hukum sesama anggota masyarakat, sehingga tidak berbuat lagi jika tidak maka harus berjanggungjawab dengan mendapat pidana.
Kealpaan yang merupakan perbuatan tidak dengan sengaja (tidak diinsyafi) akan tetapi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi hukum, atau tidak melakukan kewajiban yang diharuska oleh hukum, atau tidak mengindahkan larangan peratran hukum, sebagai suatu jenis kesalahan menurut hukum pidana. Dengan demikian delik culpa pada dasarnya merupakan delik yang bagi pembuatnya mempunyai pertanggungjawaban yang berdiri sendiri.
Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, dapat dikatakan bahwa bentuk kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang mempunyai dasar yang sama dengan bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana), dan harus adanya kemampuan bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa pemaaf.
Bagikan:

Pengertian dan bentuk-bentuk Dolus

1. Pengertian Dolus
Rusli Effendy (1989: 80), menuliskan dolus atau sengaja menurut Memorie Van Teolichting (Risalah penjelasan Undang-Undang) berarti si Pembuat harus menghendaki apa yang dilakukannya dan harus mengetahui apa yang dilakukannya (menghendaki dan menginsyafi suatu tindakan berserta akibatnya).
Kata sengaja dalam Undang-Undang meliputi semua perkataan di belakangnya, termasuk di dalamnya akibat dari tindak pidana.
Dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:
1. Teori membayangkan (Voortellings theory) dari Frank, mengatakan bahwa suatu perbuatan hanya dapat di hendaki, sedangkan suatu akibat hanya dapet dibayangkan.
2. Teori kemauan (wills theory) dari Von Hippel dan Simons mengatakan bahwa sengaja itu kalau ada akibat itu memang dikehendaki dan dapat dibayangkan sebagai tujuan.
Jonkers (Rusli Effendy 1989: 80) sebagai penganut teori kemauan mengemukakan bahwa bukanlah bayangan membuat orang bertindak tetapi kemauan.
Dari sudut terbentuknya, kesengajaan memiliki tiga tingkatan, yaitu:
1. Adanya perangsang,
2. Adanya kehendak,

3. Adanya tindakan
Bagikan:

Pengertian dan Unsur Delik

1. Pengertian Delik
Istilah delik berasal dari bahasa latin yaitu delickt, delicta atau delictum. Delik adalah merupakan istilah tehnik yuridis yang hingga saat ini dikalangan sarjana hukum belum ditemukan persamaan pendapat mengenai pengakuan istilahnya dalam bahasa Indonesian, sedanggkan delik dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Strafbaarfeit yang banyak digunakan oleh sarjana hukum, diantaranya yang menerjemahkan dengan perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihikum dan lain sebagainya.
Adanya perbedaan mengenai istilah strafbaarfeit disebabkan belum ada terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht dari bahasa Belanda kebahasa Indonesia A. Zainal Abidin Farid (1983: 4) memakai istilah perisstiwa pidana, belum menyetujui kalau perkatan strafbaarfeit diterjemahkan dengan pidana, karena berbicara dalam ruang lingkup hukum secara umum. 
Moeljatno, (Rusli Effendy, 1980: 47) merumuskan delik adalah “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
Selanjutnya Rusli Effendy, (1980: 55) merumuskan peristiwa pidana adalah “suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana atau hukum pidana, sebabnya saya memakai hukum pidana ialah karena ada hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana tidak tertulis”.
Tresna (Rusli Effendy, 1980: 53) merumuskan peristiwa pidana sebagai berikut:
Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundand-undangan atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan diadakan tindakan pemidanaan.

Dari beberapa rumusan tentang delik yang dikemukakan oleh beberapa sarjana di atas dapat disimpulakan bahwa delik adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang karena merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya dapat dikenakan pidana.
Bagikan:

Upaya Penanggulangan Kejahatan

Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang di kenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan penanggulangan kejahatan tersebut.
Bagikan:

Tindak Pidana Keimigrasian

Merumuskan tindak pidana lingkungan tidak dapat dianggap mudah. Dalam hal ini Reksodiputro (Hamdan, 2004:41), menyatakan bahwa,perumusan yang terpaksa bersifat umum, kurang tegas dan terperinci akan mengandung bahaya, bahwa ketentuan pidana yang perumusannya umum itu akan dapat menghilangkan makna legalitas. Tindak pidana keimigrasian adalah tindak pidana sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 133 sampai dengan Pasal 163 undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, sebagai berikut :
Pasal 133.
Setiap orang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di Tempat pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 114.
(1) Penanggung Jawab Alat Angkut atau keluar Wilayah Indonesia dengan alat angkut yang tidak melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Penanggung Jawab Alat Angkut yang sengaja menurunkan atau menaikkan penumpang yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi atau petugas pemeriksa pendaratan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 155.

Setiap Penanggung Jawab Alat Angkut yang tidak membayar biaya beban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dan Pasal 79 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bagikan:

Jenis-jenis Keimigrasian

Dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan :
(1) Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Izin Tinggal.
(2) Izin Tinggal diberikan kepada Orang Asing sesuai dengan Visa yang dimilikinya.
(3) Izin Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Izin Tinggal diplomatik.
1. Izin Tinggal diplomatik diberikan kepada Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia dengan Visa diplomatik.
2. Izin Tinggal diplomatik dan Izin Tinggal dinas serta perpanjangannya diberikan oleh Menteri Luar Negeri.
Bagikan:

Ruang Lingkup Keimigrasian

Paradigma lama hanya melihat esensi keimigrasian sebatas hal-ikhwal orang asing, sehingga muncul pendapat seolah-olah masalah keimigrasian sebatas masalah yang berporos pada atau paling tidak bertalian dengan negara asing. Sebaliknya, paradigma baru melihat bahwa keimigrasian itu bersifat multidimensional, baik itu dalam tatanan nasional maupun internasional. Hal ini lebih disebabkan karena dunia telah menjadi kecil dan bahwa subjek masalah keimigrasian adalah yang bersifat dinamis. Hal itu dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut :
a. Bidang Politik
Ada berbagai pendapat yang menyatakan dimana sebenarnya fungsi keimigrasian itu berada. Di suatu sisi, sebagian bagian dari sistem hukum adimistrasi negara, hukum keimigrasian sering disertai dengan sanksi pidana yang kadang kala terasa janggal. Di sisi lain, hukum keimigrasian juga mengatur kewarganegaraan seseorang. Di samping itu hukum keimigrasian mempunyai kaitan yang sangat erat hubungan internasional. Berbagai pendapat tersebut ada benarnya karena segalanya bergantung pada cara memandang fungsi keimigrasian itu. Di bidang politik sering fungsi keimigrasian ditempatkan pada hubungan-hubungan internasional, disisi lain hak seseorang untuk melintas batas negara dan bertempat tinggal di suatu negara dilihat sebagai hak asasi manusia.
Bagikan:

Pengertian Keimigrasian

Istilah Keimigrasian berasal dari kata imigrasi yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “immigratie” dan bahasa latin “immigratio”. Kata imigrasi terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu in yang artinya dalam dan migrasi yang artinya pindah, datang, masuk atau boyong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa arti imigrasi adalah pemboyong orang-orang masuk ke suatu negeri. Dalam bahasa inggris, pengertian imigrasi adalah: imigration is the entrance into an alien country of person intending to take a part in the life of that country and to make it their more or les pemanent residence. yang artinya imigrasi adalah pemasukan ke suatu negara asing dari orang-orang yang berniat untuk menumpang hidup atau mencari nafkah dan sedikit banyak menjadikan negara itu untuk tempat berdiam atau menetap.
Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Arsip Blog

Artikel Terbaru