1. Pengertian Delik
Istilah delik berasal dari bahasa latin yaitu delickt, delicta atau delictum. Delik adalah merupakan istilah tehnik yuridis yang hingga saat ini dikalangan sarjana hukum belum ditemukan persamaan pendapat mengenai pengakuan istilahnya dalam bahasa Indonesian, sedanggkan delik dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Strafbaarfeit yang banyak digunakan oleh sarjana hukum, diantaranya yang menerjemahkan dengan perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihikum dan lain sebagainya.
Adanya perbedaan mengenai istilah strafbaarfeit disebabkan belum ada terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht dari bahasa Belanda kebahasa Indonesia A. Zainal Abidin Farid (1983: 4) memakai istilah perisstiwa pidana, belum menyetujui kalau perkatan strafbaarfeit diterjemahkan dengan pidana, karena berbicara dalam ruang lingkup hukum secara umum.
Moeljatno, (Rusli Effendy, 1980: 47) merumuskan delik adalah “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
Selanjutnya Rusli Effendy, (1980: 55) merumuskan peristiwa pidana adalah “suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana atau hukum pidana, sebabnya saya memakai hukum pidana ialah karena ada hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana tidak tertulis”.
Tresna (Rusli Effendy, 1980: 53) merumuskan peristiwa pidana sebagai berikut:
Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundand-undangan atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan diadakan tindakan pemidanaan.
Dari beberapa rumusan tentang delik yang dikemukakan oleh beberapa sarjana di atas dapat disimpulakan bahwa delik adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang karena merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya dapat dikenakan pidana.
2. Unsur Delik
Pandangan monistis, (Andi Zainal Abidi Farid, 1983: 46) merumuskan bahwa “semua unsure pidana adalah sama dengan syarat pemidanaan orang yang melakukan peristiwa pidana dengan memperhatikan semua unsur peristiwa pidana”.
Adapun unsur-unsur delik menurut pandangan Monistis, (Andi Zainal Abidin Farid, 1983: 47) adalah:
a. Mencocoki rumusan delik
b. Adanya sifat melawan hukum
c. Tidak ada dasar pemaaf
d. Adanya kesalahan yang meliputi dolus dan culpa.
Selanjutnya menurut aliran dualistis, (Andi Zainal Abidin Farid, 1983: 47) adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan itu mencocoki rumusan delik (Undang-Undang)
b. Perbuatan itu melawan hukum
c. Tidak dasar pembenar
Aliran ini memisahkan unsur delik yakni unsur pembuatan dan unsur perbuatan.
1. Unsur pembuatan meliputi:
a. Kesalahan yang terdiri dari dolus dan culpa
b. Dapat dipertanggungjawabkan
c. Tidak ada alas pemaaf.
2. Unsur perbuatan meliputi:
a. Perbuatan itu harus mencocoki rumusan delik
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
c. Tidak ada alasan pembenar
Pemisahan antara unsur pembuat dengan dengan unsur perbuatan sifatnya tidak prinsipil, melainkan hanya merupakan tehnik bagi hakim dalam usaha untuk menemukan syarat-syarat pemidanaan yang ruwet saat menyelidiki ada tidaknya delik. Selanjutnya pada waktu hakim hendak menetapkan putusannya maka unsure tersebut disatukan kembali, oleh karena itu aliran ini disebut juga sebagai aliran monodualistis.
No comments:
Post a Comment