Yurisdiksi ICC (International Criminal Court)

Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yangmenjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang). Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity (balas dendam)ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu.
Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena Mahkamah ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional Mahkamah ini atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan (Pasal 13 dan 16).
Bagikan:

Latar belakang Pembentukan ICC (International Criminal Court)

Latar belakang pembentukan ICC tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan mahkamah-mahkamah kejahatan internasional sebelumnya. Sejarah yang pertama adalah pembentukan mahkamah kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua, yaitu International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg Tribunal pada tahun 1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) pada 1946.
Pembentukan IMT didasarkan pada inisiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946. Kedua mahkamah memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan keduanya adalah bahwa charter IMTFE merupakan hasil adopsi dari IMT. Selain itu, semangat dari pembentukan kedua mahkamah kejahatan internasional itu didasari oleh kedudukan sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia Kedua, Sedangkan perbedaannya adalah sekalipun kedua charter memiliki content yang sama, dalam perangkat dan proses persidangannya sangat berbeda jauh. Sehingga, menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan menyangkut putusan persidangan. Pada IMT, terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun lolos dari hukuman. Perbedaan lainnya terletak pada dasar hukum dari pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang tidak disentuh sama sekali. Ini disebabkan deal antara Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua mahkamah tersebut tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Bagikan:

Ketidaktentuan Geografi Vs Kedaulatan

Dalam nomenklatur hukum internasional, kedaulatan negara menjadi diktum primer yang demikian penting. Tiap-tiap negara di dunia diakui eksistensinya berkat kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Jika dikatakan bahwa suatu negara berdaulat, maka yang dimaksud adalah bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan tertinggi terhadap wilayah tertentu. Kekuasaan tertinggi terhadap wilayah tertentu sebangun dengan kewenangan negara untuk menerapkan hukum di wilayah tertentu yang dikuasainya, yang disebut sebagai yurisdiksi.
Wilayah atau ruang yang berbatas adalah unsur penting yang mesti dimiliki oleh suatu negara. Tanpa mempunyai wilayah tertentu, sebuah negara hanya nonsens belaka. Sebab, terhadap dan melalui wilayahlah negara menegakkan kekuasaan tertingginya: menjalankan yurisdiksi dan menerapkan hukum nasionalnya. Wilayah selama ini dipahami dalam tiga dimensi, yaitu wilayah daratan, lautan, dan ruang udara.
Bagikan:

Atmospheric Pollution

Perhaps the earliest perceived formof pollution relates to the pollution of the air. The burning of fossil fuels releases into the atmosphere sulphur dioxide and nitrogen oxides which change into acids and are carried by natural elements and fall as rain or snowor solid particles. Such acids have the effect of killing living creatures in lakes and streams and of damaging soils and forests. While the airspace above the territorial domain of a state forms part of that state, the imprecise notion of the atmosphere would combine elements of this territorial sovereignty with areas not so defined. The legal characterisation of the atmosphere, therefore, is confused and uncertain, but one attractive possibility is to refer to it as a shared resource or area of common concern.
Bagikan:

Jenis Pelayanan Laboratorium Forensik Polri

Laboratorium Forensik memberikan pelayanan bagi Aparat Penegak Hukum serta masyarakat umum yang memerlukan jasa pemeriksaan / pelayanan umum untuk mendapatkan rasa keadilan dan atau keperluan lainnya.
a) Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Biddokupalfor) Bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dokumen (tulisan tangan, tulisan ketik, dan tanda tangan), uang palsu (uang kertas Rl, uang kertas asing, dan uang logam) dan produk cetak (produk cetak konvensional, produk cetak digital, dan cakram optik) serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
b) Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor) Bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti senjata api (senjata api, peluru dan selongsong peluru), bahan peledak (bahan peledak, komponen-komponen bom, dan bom pasca ledakan (post blast) dan metalurgi (bukti nomor seri, kerusakan logam), dan kecelakaan konstruksi serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
Bagikan:

Pengertian Laboratorium Forensik

Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, mengandung pengertian sebagai suatu tempat pertemuan umum di kota - kota pada zaman Romawi kuno yang pada umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang peradilan.
Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di depan umum dan hal-hal yang merupakan bagian. Untuk jelasnya dapat kita lihat apa yang dikemukakan oleh Susetio Pramusinto yakni :
“Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multi disiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan krominologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan/pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidence dalam kasus tersebut.”
Adapun pengertian laboratorium forensik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu pelaksanaan pusat tinggi Markas Besar Polri yang berbentuk suatu badan yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan dan kegiatan untuk membantu mengenai pembuktian suatu tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan teknologi dan ilmu kedokteran kehakiman, ilmu forensik, ilmu kimia forensik serta ilmu penunjang lainnya. Berdasarkan atas pengertian tersebut, maka laboratorium forensik sebagai salah satu fungsi kepolisian yang merupakan unsur bantuan teknis laboratorik kriminalistik dalam rangka tugas Polri sebagai penyidik.
Bagikan:

Hegemoni Cina Di Laut Cina Selatan (Menolak Panel Arbitrasi Mahkamah Internasional di Den Haag Oktober 2015 yang dimajukan oleh Philipina)

Hakim Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan suara bulat menerbitkan ‘award’ pada tanggal 12 Juli 2016 tentang sengketa Laut China Selatan antara Filipina dan China, yang memenangkan Filipina secara mutlak. Putusan PCA ini sangat dinantikan oleh banyak pihak yang terkait dengan sengketa internasional tersebut dan menarik karena sikap China yang kontroversial selama kasus tersebut diperiksa oleh PCA. Kasus ini telah menyedot perhatian publik karena terkait dengan perebutan wilayah laut China selatan yang melibatkan enam negara yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan China – dan karena salah satu negara pihak adalah negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kasus ini semakin menarik tatkala China melakukan penolakan terhadap apapun putusan Mahkamah tersebut (Kompas, 12/07/2016). Bahkan China mengancam akan memberikan sanksi ekonomi terhadap Filipina sebagai balasan atas kekalahan China pada kasus ini.
Tak pelak sikap China yang menyangkal putusan Mahkamah Internasional ini membuat banyak pihak skeptic terhadap kekuatan mengikat dan enforcement hukum internasional. Banyak pihak menyangsikan kemampuan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus sengketa ini mengingat China yang sangat gigih dari awal ketika kasus ini pertamakali dibawa ke PCA pada 22 Januari 2013, China sudah menyatakan penolakannya terhadap yurisdiksi dan kewenangan dari PCA. China mendalilkan bahwa PCA tidak punya kewenangan untuk mengadili kasus ini. Selain itu, banyak pihak yang meragukan keberanian PCA mengadili kasus ini karena posisi China sebagai negara terbesar di Asia dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun apapun sikap China, putusan PCA ini paling tidak telah memperlihatkan keberlakuan hokum internasional sebagai hokum bagi masyarakat internasional.Selama ini hokum internasional diklasifikasikan sebagai weak law, hokum yang enforcementnya lemah. Bahkan golongan positivis menyatakan hokum internasional ini bukanlah hokum melainkan norma internasional, sejajar dengan norma social dan norma agama, yang tidak mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hokum sebagai daya paksa terhadap negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional, dan bahkan hokum internasional tidak mempunyai sanksi seperti halnya hokum nasional. Hal ini terjadi terutama karena negara-negara anggota masyarakat internasional tersebut masing-masing merupakan negara berdaulat. Dalam kontek negara berdaulat ini, maka negara mempunyai kekuasaan penuh mengatur dirinya sendiri, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya untuk memaksa negara tunduk pada kekuasaan itu. Atas dasar kedaulatan itu juga, China dalam kasus ini menolak berpartisipasi dalam pengadilan arbitrasi internasional di PCA ini dan mendalilkan bahwa sengketa ini merupakan sengketa dua negara dan diselesaikan dengan jalur negosiasi bilateral. China juga menyatakan bahwa Filipina telah melanggar Deklarasi ASEAN tentang the Conduct of Parties in the South China Sea tahun 2002.
Bagikan:

Hubungan Diplomatik Antar Negara

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis.  Dan dalam konferensi itu melahirkan naskah mengenai hirarki diplomat yang dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Konferensi Wina tersebut pada dasarnya tidak melahirkan apa-apa, melainkan hanya mengkonversikan kebiasaan internasional mengenai hubungan diplomatik menjadi sebuah hukum tertulis.
Sejarah itu berlanjut, hingga pada akhirnya sebuah kodifikasi mengenai hubungan diplomatik terbentuk. Pada tanggal 18 April 1961 lahirlah sebuah konvensi yang hingga kini dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatan diplomatik. Konvensi itu adalah Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 atau lebih familiar dengan sebutan Konvensi Wina 1961. Terciptanya konvensi ini diikuti dengan lahirnya konvensi-konvensi lainnya terkait dengan hubungan internasional.
Meski sebuah kodifikasi tentang hubungan diplomatik telah lahir. Hukum kebiasaan dalam praktik diplomatik tidak dapat dikesampingkan. Dalam praktik hubungan diplomatik setiap negara memiliki perutusan-perutusan diplomatik (diplomatic envoys). Seperti di jelaskan di atas pada konferensi Wina 1815 lahir hirarki diplomat. hirarki tersebut kemudian disesuaikan lalu dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 pada pasal 14 sampai 18, menurut ketentuan ini , pimpinan perutusan diplomatik terbagi dalam tiga kelompok yaitu:
1.      Duta Besar (Ambassador) atau utusan diplomatik Paus (nuncios) yang diakreditasikan kepada kepala negara  dan pimpinan perutusan lainnya yang setingkat itu.
2.      Duta, Minister dan internucious yang diakreditasikan kepada kepala Negara
3.      Kuasa Usaha (charges d’affaire) yang diakreditasikan kepada kepala negara. Kecuali dalam masalah pengutamaan dan tata cara, tidak ada perbedaan antara pimpinan misi karena alasan penggolongannya.
Bagikan:

Kerangka Hukum Untuk Perlindungan Lingkungan Laut Sebelum 1982


1.      Hukum Kebiasaan
Dahulu Pengaturan hukum laut hanya seputar penggunaan laut tidak pada perlindungan lingkungan laut. Pada tahun 1972 lahirlah sebuah deklarasi yang memerintahkan pertanggung jawaban negara yang merusak lingkungan yaitu Deklarasi Stockholm. Pada Prinsip 21 menyatakan bahwa: Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.
Dalam hukum kebiasaaan dikenal istilah “sic utere tuo ut alienum non laedas” ( gunakan propertimu dengan tidak melukai orang lain). Namun demikian, tampak fungsi aturan “sic utere tuo ut alienum non laedas” sangat terbatas. Aturan ini tidak relevan dengan perlindungan kawasan di luar yurisdiksi nasional, seperti laut lepas dan wilayah udara di atas wilayah laut serta ruang ekstra-terestrial. Dalam hal ini, aturan ini tidak bisa menangani pencegahan pencemaran laut yang berada di luar yurisdiksi nasional dari Negara pantai.
Aturan yang relevan lain mungkin melibatkan kewajiban mengenai penyalahgunaan hak. aturan ini secara eksplisit terkandung dalam Pasal 300 dari LOSC: Negara-negara Pihak harus memenuhi itikad baik kewajiban diasumsikan berdasarkan Konvensi ini dan memiliki hak, yurisdiksi dan kebebasan yang diakui dalam Konvensi ini dengan cara yang tidak akan merupakan suatu penyalahgunaan hak.
Sesuai dengan kewajiban ini, pencemaran laut adalah ilegal jika begitu berlebihan bahwa kepentingan Negara lain secara tidak proporsional terpengaruh. Namun, tampaknya sulit untuk menetapkan kriteria objektif untuk mengidentifikasi adanya penyalahgunaan hak. Dalam kasus apapun, konsep penyalahgunaan hak bukan aturan substantif perlindungan lingkungan. Oleh karena itu aturan yang lebih spesifik yang mengatur pencemaran laut yang diperlukan di tingkat perjanjian.
Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru