Hegemoni Cina Di Laut Cina Selatan (Menolak Panel Arbitrasi Mahkamah Internasional di Den Haag Oktober 2015 yang dimajukan oleh Philipina)

Hakim Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan suara bulat menerbitkan ‘award’ pada tanggal 12 Juli 2016 tentang sengketa Laut China Selatan antara Filipina dan China, yang memenangkan Filipina secara mutlak. Putusan PCA ini sangat dinantikan oleh banyak pihak yang terkait dengan sengketa internasional tersebut dan menarik karena sikap China yang kontroversial selama kasus tersebut diperiksa oleh PCA. Kasus ini telah menyedot perhatian publik karena terkait dengan perebutan wilayah laut China selatan yang melibatkan enam negara yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan China – dan karena salah satu negara pihak adalah negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kasus ini semakin menarik tatkala China melakukan penolakan terhadap apapun putusan Mahkamah tersebut (Kompas, 12/07/2016). Bahkan China mengancam akan memberikan sanksi ekonomi terhadap Filipina sebagai balasan atas kekalahan China pada kasus ini.
Tak pelak sikap China yang menyangkal putusan Mahkamah Internasional ini membuat banyak pihak skeptic terhadap kekuatan mengikat dan enforcement hukum internasional. Banyak pihak menyangsikan kemampuan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus sengketa ini mengingat China yang sangat gigih dari awal ketika kasus ini pertamakali dibawa ke PCA pada 22 Januari 2013, China sudah menyatakan penolakannya terhadap yurisdiksi dan kewenangan dari PCA. China mendalilkan bahwa PCA tidak punya kewenangan untuk mengadili kasus ini. Selain itu, banyak pihak yang meragukan keberanian PCA mengadili kasus ini karena posisi China sebagai negara terbesar di Asia dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun apapun sikap China, putusan PCA ini paling tidak telah memperlihatkan keberlakuan hokum internasional sebagai hokum bagi masyarakat internasional.Selama ini hokum internasional diklasifikasikan sebagai weak law, hokum yang enforcementnya lemah. Bahkan golongan positivis menyatakan hokum internasional ini bukanlah hokum melainkan norma internasional, sejajar dengan norma social dan norma agama, yang tidak mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hokum sebagai daya paksa terhadap negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional, dan bahkan hokum internasional tidak mempunyai sanksi seperti halnya hokum nasional. Hal ini terjadi terutama karena negara-negara anggota masyarakat internasional tersebut masing-masing merupakan negara berdaulat. Dalam kontek negara berdaulat ini, maka negara mempunyai kekuasaan penuh mengatur dirinya sendiri, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya untuk memaksa negara tunduk pada kekuasaan itu. Atas dasar kedaulatan itu juga, China dalam kasus ini menolak berpartisipasi dalam pengadilan arbitrasi internasional di PCA ini dan mendalilkan bahwa sengketa ini merupakan sengketa dua negara dan diselesaikan dengan jalur negosiasi bilateral. China juga menyatakan bahwa Filipina telah melanggar Deklarasi ASEAN tentang the Conduct of Parties in the South China Sea tahun 2002.

Terlepas dari dalil yang dilontarkan oleh China, Filipina telah mengajukan gugatannya kepada PCA. Isi gugatan Filipina terdiri dari 15 submissions, yang pada akhirnya PCA hanya mengambil 7 submissions dalam putusannya. Atas gugatan Filipina ini, China menyatakan PCA bukan mahkamah yang berwenang mengadili sengketa ini. China tidak menunjuk pengacara, konsultan hokum dan wakilnya di PCA sebagai bentuk ketidaksetujuannya. Bisa jadi China menginginkan sengketa ini 2 dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice), ketika jalur diplomasi lewat negosiasi bilateral tidak menghasilkan solusi. Jika sengketa ini dibawa ke MI maka harus ada perjanjian kesepakatan dari kedua belah pihak yang menyatakan mengakui yurisdiksi MI, sebagai persyaratan beracara di MI. Dan persyaratan ini mustahil bisa ditempuh Filipina, karena China pasti tidak akan bersedia membuat perjanjian tersebut. Sebenarnya di PCA pun juga berlaku hal yang sama, bahwa kedua negara harus bersepakat tentang yurisdiksi dan kewenangan PCA termasuk pemilihan arbitratornya. Namun, PCA sebagai mahkamah arbitrasi mendasarkan kewenangan mengadili pada ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982/UNCLOS), ketika China sebagai pihak dalam sengketa menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam proses peradilan di PCA. Mahkamah ini merujuk ketentuan UNCLOS dalam memeriksa dan mengadili kasus ini. Baik China maupun Filipina merupakan negara peratifikasi UNCLOS, sehingga dua negara tersebut terikat pada isi ketentuan UNCLOS.
Pada 29 Oktober 2015 PCA memutuskan bahwa PCA mempunyai yurisdiksi dan kewenangan mengadili sengketa tersebut. Dasar mengadili PCA yaitu Annex VII UNCLOS yang menyatakan “the absence of a party or failure of a party to defend its case shall not constitute a bar to the proceedings”. Sehingga atas dasar ketentuan inilah, PCA menyatakan bahwa ketidakhadiran China tidak menghalangi PCA untuk memeriksa dan mengadili sengketa antara Filipina dan China. Hal ini merupakan optional exceptions atas keberlakuan prosedur wajib yang diatur dalam pasal 298 bagian 3 dari Bab XV UNCLOS tentang sengketa wilayah laut. Sebenarnya, menurut sifatnya, beracara di PCA sebagai sebuah mahkamah arbitrasi, maka para pihak dapat memilih para arbitrator dan prosedurnya sendiri, tidak seperti yang terjadi pada pengadilan nasional dimana para pihak tidak dapat memilih hakim dan prosedur pengadilannya sendiri.
Dalam kasus ini masih diperdebatkan tentang perbedaan cara pandang antara dua negara, China mendasarkan klaimnya atas dasar sejarah yaitu wilayah perairan tersebut sebagai historic waters sebagai traditional fishing ground. Namun dasar ini tidak diatur dalam UNCLOS dan MI dalam kasus antara Tunisia dan Libya tahun 1982 menyatakan bahwa historic rights of waters diatur dalam hokum kebiasaan internasional bukan UNCLOS. Baik China maupun Filipina didukung oleh negaranegara yang lain. China bahkan menyatakan didukung oleh sekitar 60 negara, yang menurut China hal itu merupakan dukungan penuh masyarakat internasional atas posisi China yang ingin menyelesaikan sengketa ini melalui dialog atau negosiasi.
Sedangkan Filipina didukung oleh beberapa negara, termasuk AS dan Inggris. Pada pertemuan US- ASEAN Press Conference di California, Amerika Serikat tanggal 16 Februari 2016, dalam pidatonya presiden Barack Obama menyatakan bahwa “and we discussed how any disputes between claimants in the region must be resolved peacefully, through legal means, such as the upcoming arbitration ruling under the UN Convention of the Law of the Sea, which the parties are obligated to respect and abide by.” Jelas disini bahwa AS mendukung tindakan Filipina membawa sengketa tersebut ke badan arbitrasi internasional. Sedangkan Australia dan Selandia baru mengambil jalan tengah yaitu mengakui adanya hak untuk mencari jalan keluar melalui arbitrasi.
Sengketa internasional wajib diselesaikan secara damai (peacefully means) yang diatur dalam pasal 33 ayat 3 Piagam PBB. Dalam masyarakat internasional dikenal beberapa mekanisme penyelesaian sengketa internasional yang dibedakan menjadi dua, yaitu secara diplomatik dan secara hukum. Secara diplomatik dapat berupa negosiasi atau konsultasi, mediasi, konsiliasi dan inquiri. Dan mekanisme 3 hukum yaitu para pihak dapat membawa sengketa mereka ke depan mahkamah internasional, MI atau International Tribunal for the Law of the Sea (mahkamah internasional bentukan UNCLOS). Sedangkan PCA meskipun namanya mengandung kata ‘court’, PCA bukan pengadilan, PCA merupakan lembaga arbitrasi. Seperti halnya MI, PCA berkedudukan di Peace Palace, di Den Haag. Yurisdiksi dari PCA ini meliputi semua sengketa internasional yang para pihaknya adalah negara, bagian dari negara, organisasi internasional, perusahaan multi nasional, pihak privat atau individu. Ini berbeda dengan MI, yang para pihak yang bersengketa hanya mencakup negara saja. Dengan kata lain, semua negara di dunia dapat membawa sengketa mereka baik ke MI atau PCA, apabila tahapan penyelesaian sengketa secara diplomatic sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil.
Dalam kasus ini Filipina telah melampaui tahapan negosiasi melalui Deklarasi China - ASEAN tahun 2002, dan tampaknya sudah lebih dari satu decade belum menampakkan hasil yang jelas atas hak berdaulatnya di wilayah perairan disekitar kepulauan Spratly. Dalam kasus ini Filipina mengajukan gugatan tentang hak dan kewajiban negara pihak menurut UNCLOS terkait dengan klaim China ‘nine-dash line’, Filipina juga mempertanyakan status ‘maritime features’, yang diklaim kedua pihak, menurut UNCLOS, apakah statusnya bisa disebut sebagai pulau, batu, atau low-tide elevations or submerged banks (‘pulau’ yang hanya muncul ketika air surut).

Tiga status ini mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap pengukuran zona wilayah laut suatu negara. Filipina juga mempertanyakan tindakan China selama ini yang melakukan intervensi atas hak berdaulat dan kebebasan Filipina dalam mengelola sumber daya alam di wilayah perairan Filipina, dan kegiatan penangkapan ikan kapal-kapal China yang membahayakan lingkungan hidup. Filipina juga meminta keadilan atas tindakan tertentu China, yaitu reklamasi besar-besaran dan pembangunan pulau buatan di kepulauan Spartly. Atas gugatan Filipina ini, pada 12 Juli 2016 PCA telah memutuskan bahwa klaim ‘nine-dash line’ tidak sah karena tidak mempunyai dasar hukum, dan Scarborough Shoal merupakan traditional fishing ground bagi Filipinos (bangsa Filipina), atau dengan kata lain Filipina memenangi sengketa ini dan meminta pemerintah China mematuhi hukum internasional. Atas putusan ini, banyak negara berharap dua pihak yang bersengketa, khususnya China mematuhinya. Terkait dengan putusan PCA ini hendaknya negara-negara supporter masing-masing pihak supaya saling menahan diri untuk tidak terlibat, dan mengingat komplesitas sengketa dan banyaknya negara yang wilayah perairannya over lapping, maka wilayah perairan Laut China Selatan sebaiknya ditetapkan sebagai wilayah laut bersama yang dilindungi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara bersama-sama dengan koordinasi PBB. Dengan demikian tujuan pokok dari hokum internasional untuk selalu menjaga dan menjamin perdamaian dan keamanan dunia dapat dicapai.
Bagikan:

No comments:

Post a Comment

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru