Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pemerkosaan
1. Kajian Normatif
Anak
adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan
suatu bangsa. Hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B)(2) UUD 1945 yang
berbunyi setiap anaka berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut UU
Kesejahteraan, Perlindungan, dan Pengadilan anak pengertian anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Anak
merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat
yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak
haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi
Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian
juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan
menghargai partisipasi anak.
Anak
sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa
dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh
karena itu diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari
segala kemungkinan yang membahayakan atau merusak masa depan anak.
Pemerkosaan
dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh
dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa
untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak
bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur
suka sama suka.
Secara
garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan, (Bagong Suyanto,
2003:14) yaitu:
a.
Sadictic rape (perkosaan sadis), yang
memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku
menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan
serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
b.
Anger rape, yaitu perkosaan sebagai
pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan
geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap
siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan
kekecewaan hidupnya.
c.
Domination rape, yaitu perkosaan karena
dorongan keinginan pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai
lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual.
d.
Seductive rape, yaitu perkosaan karena
dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas
tettentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai
melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan
pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka
terjadilah perkosaan.
e.
Exploitation rape, yaitu perkosaan yang
terjadi karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan
bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Kejahatan
yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP Pasal 287 yang
selengkapnya sebagal berikut:
a.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang
perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia
belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
b.
Penuntutan hanya dilakukan atas
pangaduan, kecuali jika perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika
ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
Apabila
rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur
objektif:
1) Perbuatannya:
bersetubuh
Artinya pemerkosaan
terhadap anak terjadi karena ada persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak
korban maupun didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar
suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak tersebut
mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak tersebut dapat dipidana
dengan 284 KUHP (Adami Chazawi:2005,71)
2) Objek:
dengan perempuan di luar kawin.
Artinya
perempuan diluar kawin
3) Yang
umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya untuk
kawin.
Adapun
indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan
psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya yang masih anak-anak,
seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh
rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat
dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya
anak belum berumur lima belas tahun.
b. Unsur
Subjektif:
a) Diketahuinya
atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun. Dalam kejahatan ini
dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya
umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya
umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya
untuk kawin.
Adapun ancaman pidana kejahatan
pemerkosaan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai berikut:
1) Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
2) Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2. Kajian Filosofis
Dalam tataran teori
hukum, sebagai tataran abstraksi yang lebih tinggi dibanding ilmu hukum, ia
mewujudkan peralihan ke filsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode
dari berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu ia dapat juga dipandang sebagai suatu
jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum.
Filsafat hukum bertugas
merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak
hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. dapat
dijelaskan pada berikut ini.
Dalam kasus-kasus tindak pidana
anak yang dalam bahasa sosiologi- psikologinya disebut sebagai kenakalan anak
dapat dipahami bahwa apabila dilihat dari tataran refleksi teoritikan atas
gejala hukum seperti yang diungkapkan oleh Meuwissen, Dalam Konsideran UU No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dirumuskan bahwa:
a. anak adalah bagian dari
generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara
utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. untuk melaksanakan pembinaan
dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang
menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai,
oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu
dilakukan secara khusus;
Apa yang dirumuskan tersebut
kemudian diperjelas dalam Penjelasan UU yang salah satu alenianya menguraikan
bahwa “Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan
pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan
dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak
kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat,
sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap
dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara sehat dan wajar”.
Yang dapat ditarik dari uraian di
atas, bahwa dalam menghadapi perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak,
secara fiilsafati dipahami bahwa penjatuhan sanksi berupa pemisahan dari
orangtua (pidana perampasan kemerdekaan/penjara) terhadap anak tersebut adalah
sebagai upaya terakhir, dengan tetap memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh
anak. Oleh karena itu, “asas semata-mata demi kepentingan anak” adalah asas
yang paling urgen dalam menyelesaikan kasus-kasus kenakalan anak. Hal ini
dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh pemikiran filsafat pemidanaan yang
disebut filsafat determinisme. Filsafat determinisme adalah filsafat yang
menyatakan bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan (kejahatan) harus
dipahami bahhwa penjatuhan sanksi terhadap mereka dilandaskan pada pemikiran
bahwa perilaku tersebut sangat tergantung pada kondisi “ciri dan sifat khusus”
yang disandang mereka. Artinya, pemaknaan sanksi hukuman tidak sama dengan
sanksi yang diberikan terhadap orang dewasa yang melakukan kejahatan, karena
anak melakukan kenakalan tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya – karena
atas landasan kesalahan tidak ditemukan secara utuh - tidak seperti halnya
orang dewasa.
Filsafat hukum merupakan refleksi
filosofis mengenai landasan hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum sebagai
jiwa yang kemudian terefleksi ke dalam teori-teori hukum, dogmatika hukum dan
kemudian sampai pada praktik hukum. Menyangkut ilmu hukum pidana anak, ternyata
jiwa yang ada dalam filsafat pemidanaan yaitu filsafat determinisme – sebagai
ujud dari filsafat hukum – telah secara benar direfleksikan ke dalam
pengembangan teori-teori pertanggung-jawaban pidana anak yang melakukan
kenakalan. Bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara penuh seperti halnya orang dewasa yang melakukan kejahatan. Pemahaman
demikian kemudian secara eksplisit dirumuskan dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang mengatur bahwa terhadap anak tersebut dapat dijatuhkan
sanksi berupa sanksi Pidana atau sanksi Tindakan. Asas yang paling mendasar
bahwa pemberian sanksi terhadap anak, harus memperhatikan keberadaan anak
sebagai manusia yang mempunyai “ciri dan sifat khusus”. Walaupun telah diatur
demikian, namun dalam praktiknya dijumpai terhadap anak yang melakukan
kenakalan, pemberian sanksi oleh penegak hukum lebih dilandasi oleh
alam fikiran normative-legalistik, karena kenyataannya sanksi yang paling
banyak dijatuhkan adalah sanksi Pidana berupa pidana Penjara, yang sebenarnya bentuk
sanksi yang paling dihindari terhadap anak. Artinya, filsafat determinisme yang
menjiwai teori dan dogmatika hukum dalam kasus anak, tidak
diimplementasikan/dioperasionalkan secara baik oleh aparat pemutus perkara
(hakim).
3.
Kajian
Empiris/Sosiologi
Anak
merupakan kelompok yang sangat rentan dan unik, baik fisik maupun mental, maka
dibutuhkan mekanisme yang independen untuk melindungi dan mendukung hak-hak
mereka. Oleh karena kerentanan atau kelemahan jiwa anak, maka harus mendapat
pembinaan, perlindungan dan pengawasan secara intensif dan berkesinambungan
untuk menjunjung kualitas jiwa anak itu sendiri dalam melakukan pembinaan,
pengembangan dan perlindungan anak perlu peran serta masyarakat, Lembaga
keagamaan, Lembaga swadaya masyarakat, Organisasi sosial, Dunia usaha, Media
Masa dan Lembaga Pendidikan.
Faktor-faktor
anak melakukan tindak pidana pemerkosaan adalah tidak terlepas dari faktor
internal yaitu dari dalam diri pelaku dan peranan korban itui sendiri, seperti
faktor kejiwaan atau emosional karena pelaku telah dipengaruhi oleh perasaan
nafsunya sedangkan akal dan pikirannya tidak berfungsi untuk mengendalikan
perasaan nafsunya sehingga dalam keadaan demikian ia melakukan tindak pidana
perkosaan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor dari luar diri
pelaku yaitu faktor lingkungan, faktor kurangnya perhatian dan kontrol dari
keluarga dan hubungan soisal atau kepada masyarakat yang buruk.
Saksikan pertandingan seru antara :
ReplyDeleteParis Saint-Germain vs Dijon
Minggu, 25 Oktober 2020 Pukul 02:00 WIB
jangan lupa betting jagoannya ya bossku
semoga menang jp ya bossku
Promo BOLASINGA :
- Bonus Deposit Harian 10%
- Bonus Cashback Slots dan Sportbooks Up To 15%
- Bonus Rollingan Casino 0.8%
- Bonus Rollingan Poker 0.2%
- Bonus Referral All Games 2.5%
- Bonus Referral Rollingan Sportbooks 0.1%
Ayuk daftar dan bermain bersama kami di www . bolasinga . net
Info lebih lanjut hubungi :
Whatsapp : +855 16 326 804
Instagram : bolasingaofficial
Twitter : Singa Bola
http://www.fcarema.com/
#prediksibola #taruhanbola #agenbola #bandarbola #bola #bolaonline #pokeronline