Pengertian Perdagangan Orang (Trafficking)

Pengertian perdagangan orang (trafficking) mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan orang meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau organisasinya.
Definisi perdagangan orang pertama kali dikemukakan pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB), menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan sebutan ”Protocol Palermo”. Protokol ini merupakan sebuah perjanjian yang merupakan perangkat hukum yang mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasinya atau menyetujuinya.
Definisi perdagangan orang menurut Protokol Palermo tertuang di dalam Pasal 3 yang rumusannya (www.unhcr.ch/html/menu2/pal.htm):
a. Perdagangan orang yang dilakukan oleh orang lain, berarti perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapat keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi setidaknya mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui perbudakan, melalui, praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya .
b. Persetujuan korban perdagangan orang atas eksploitasi yang dimaksud pada Pasal (3) sub (a), pasal ini menjadi tidak relevan apabila digunakan sarana yang dimaksud pada sub (a).
c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk maksud eksploitasi di anggap sebagai ”perdagangan orang” meskipun apabila hal ini tidak mencakup salah satu sarana yang termaktub pada sub (a) pasal ini.
d. ”Anak” berarti seseorang yang masih dibawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Perluasan definisi perdagangan sebagaimana dikutip dari Wijers dan Lap-Chew (Ruth Rosenberg: 2003) yaitu:
„‟Perdagangan sebagai perpindahan manusia khususnya perempuan dan anak, dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage)‟‟.
Definisi yang luas ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang Indonesia yang telah mengalami kekerasan yang berkaitan dengan perdagangan orang daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kepada suatu konsepsi baru mengenai perdagangan. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi dibawah ini yang didasari atas poin-poin sebagai berikut:
1. Dari “Perekrutan” menjadi “Eksploitasi”
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekedar perekrutan menjadi kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya. Pada tahun 1904 dibuat konvensi internasional pertama anti perdagangan, yaitu International Agreement for the Suppression of The White Slave Trade (Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan Budak Berkulit Putih).
Sasaran konvensi ini adalah perekrutan internasional yang dilakukan terhadap perempuan, di luar kemauan mereka, untuk tujuan eksploitasi seksual. Kemudian pada tahun 1910 dibuat konvensi yang bersifat memperluas konvensi tahun 1904 dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam negeri. Kedua konvensi ini membahas proses perekrutan yang dilakukan secara paksa atau dengan kekerasan terhadap perempuan dewasa untuk tujuan eksploitasi seksual.
2. Dari “Pemaksaan” menjadi “dengan atau tanpa persetujuan”.
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ketempat lain.
3. Dari “Prostitusi” menjadi “Perburuhan yang informal dan tidak diatur oleh hukum”
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”
4. Dari “Kekerasan terhadap Perempuan” menjadi “pelanggaran Hak Asasi Manusia”
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara menjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar.
5. Dari “Perdagangan Perempuan” menjadi “Migrasi Ilegal”
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara- negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan, yaitu pertama, ada banyak kasus perdagangan dimana perempuan masuk ke negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal dimana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban.

Beberapa defenisi-defenisi ini sangat penting karena menyoroti tidak hanya pada proses perekrutan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga kondisi eksploitatif terkait kedalam mana orang diperdagangkan.
Definisi yang luas memang diperlukan karena definisi tersebut akan menyentuh semua jenis kekerasan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami perdagangan manusia.
Lampiran Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak menyatakan bahwa:
“Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Defenisi Perdagangan Orang yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Selanjutnya disingkat UUPTPP0) yang rumusannya :
“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”
Kata “Eksploitasi” dalam Pasal 1 UU Trafficking dipisahkan dengan “Eksploitasi Seksual” yang kemudian dijelaskan sebagai berikut:
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil”
“Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”( http//www.elsam.or.id/weblog).
Definisi yang terdapat di dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 sudah merupakan perluasan dari definisi-definisi yang telah ada tentang Perdagangan Orang.
Dari definisi-defenisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Perdagangan Manusia adalah sebagai berikut:
1. Adanya tindakan atau perbuatan, seperti perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.
2. Dilakukan dengan cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, pemberian atau penerimaan pembayaran/keuntungan untuk memperoleh persetujuan.
3. Ada tujuan dan maksud yaitu untuk tujuan ekspolitasi dengan maksud mendapatkan keuntungan dari orang tersebut.
Dari pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah Penulis paparkan, dapat dirinci hal-hal penting sebagai berikut :
1. Bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formal, karena mendeskripsikan tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang
2. Tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfataan posisi rentan atau penjeratan utang.
3. Sanksi yang diancam lebih berat dibandingkan dengan Pasal 297 KUHP. Sanksi diancam dengan pidana minimal dan pidana maksimal termasuk denda 4. Kejahatan pada tahapan-tahapan tersebut bilamana belum dapat dikategorikan sbagai tarfiking, maka dapat diancam dengan Pasal 295, 296, 297, dan 506 KUHP
Bagikan:

No comments:

Post a Comment

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru