Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.
Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indo-nesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar Kusumaatmadja:187)
Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terbentuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.
Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II), dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerin-tah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini me-nyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa meman-dang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Repub-lik Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.
Bagikan:

Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines)

Selanjutnya dalam membahas permasalahan kedua menyangkut tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang telah dan harus dilakukan dalam memelihara dan meningkatkan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan seluruh komponen bangsa dan masyarakat termasuk pula di pulau-pulau terluar dalam menjaga keutuhan NKRI sebagai Negara Kepulauan, maka langkah-langkah yang harus segera dilakukan antara lain adalah mengimplementasikan seluruh ketentuan-ketentuan yang ada yang memperkuat kedudukan NKRI sebagai negara kepulauan dengan menegaskan batas-batas wilayah negara. Penegasan batas-batas wilayah negara RI harus segera dilakukan melalui pemetaan atas wilayah perairan RI dengan menetapkan dan mendeklarasikan sebuah  peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia, yaitu peta yang menunjukkan garis-garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar yang jumlahnya sekitar 166 buah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (LN RI Tahun 2002 Nomor 72, TLN RI Nomor 4211). 
Berdasarkan ketentuan KHL 1982 yang kita telah ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, Indonesia berkewajiban untuk membuat peta mengenai garis-garis pangkal lurus kepulauan. Namun kalau Indonesia belum berkesempatan untuk membuat peta mengenai garis pangkal lurus kepulauan, maka sebagai gantinya Indonesia dapat membuat atau menetapkan daftar koordinat geografis pada sejumlah pulau-pulau terluar untuk ditetapkan daftar koordinat geografisnya pada titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku, baik peta ataupun daftar koordinat geografis ini harus diserahkan kepada Sekjen PBB untuk disimpan dan didistribusikan kepada negara-negara peserta KHL 1982 dengan tujuan baik untuk menjamin kejelasan dan kepastian hukum soal penetapan batas-batas wilayah perairan melalui penetapan garis pangkal kepulauan maupun untuk mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari negara-negara lain (Arif Havas Oegroseno, Delimitasi Batas Maritim Dalam Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, Hlm.11 Loka Karya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta, Desember 2004).  Hingga saat ini Pemerintah RI belum menetapkan  peta batas-batas wilayah NKRI melalui penetapan peta garis pangkal kepulauan, tetapi Pemerintah sudah menetapkan Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan pada 166 pulau-pulau terluar (PP No.38 Tahun 2002), dan sebelumnya ada penetapan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan di Laut Natuna (PP No.61 Tahun 1998) yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat dipakai sebagai pedoman dalam menetapkan batas-batas wilayah khususnya batas-batas wilayah perairan dalam usaha menjaga keutuhan NKRI sebagai negara kepulauan.
Di samping penetapan daftar koordinat geografis pada 166 pulau-pulau terluar, Pemerintah RI juga telah melakukan langkah-langkah yang cukup signifikan dalam mempertahankan keutuhan NKRI, langkah-langkah yang dapat dikatakan sebagai langkah kewaspadaan nasional dengan melahirkan dan mengundangkan sebuah Peraturan Presiden pada 29 Desember 2005, yakni Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 yang mengatur masalah pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendasari lahirnya Perpres ini adalah menjaga keutuhan wilayah negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan keamanan. Demikian pula bahwa pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai titik dasar dari garis pangkal kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinennya. 
Bertolak dari pertimbangan ini, maka pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan a) menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan b) memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) c) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan 
Untuk mempertegas efektivitas pelaksanaan kedaulatan di wilayah perbatasan, maka perlu dilakukan: 1) pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah, 2) pengelolaan sebagaimana dimaksud.pada ayat 1 meliputi bidang-bidang : a) sumber daya alam dan lingkungan hidup, b) infrastruktur dan perhubungan, c) pembinaan wilayah, d) pertahanan dan keamanan, e) ekonomi, sosial dan budaya.. Rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus dilihat sebagai manifestasi atau perwujudan dari apa yang dinamakan pengendalian yang efektif  (effective occupation) sebagaimana dijalankan oleh Malaysia atas Sipadan-Ligitan dan rangkaian kegiatan terpadu dengan bidang-bidang yang dikemukakan di dalam Perpres tersebut harus dijalankan secara berdaya guna dan berhasil guna serta harus dilihat sebagai bagian dari kewaspadaan nasional dan kesadaran kebangsaan dari semua komponen bangsa dalam rangka memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI sebagai negara kepulauan. Dengan demikian paradigma perlindungan keutuhan wilayah NKRI sebagai negara kepulauan tidak hanya tercermin di dalam penetapan batas-batas wilayah melalui penetapan garis pangkal lurus kepulauan, tetapi juga dan terutama sekali paradigma tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang nyata dan operasional melalui kegiatan-kegiatan kongkrit yang dilakukan secara terpadu serta memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan masyarakat sehingga kemungkinan lepasnya pulau-pulau terluar seperti dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan tidak perlu dikhawatirkan dan dirisaukan sepanjang semua komponen bangsa bersatu dengan memberikan yang terbaik bagi peningkatan kewaspadaan nasional serta kesadaran kebangsaan demi memperkuat NKRI sebagai negara kepulauan.
Bagikan:

Pengaturan dan Kebijakan Dalam Menangani Korban Perdagangan Orang

Kebijakan perlindungan pada korban pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perlindungan. Berdasarkan konsep tersebut, peran negara guna menciptakan suatu kesejahteraan sosial tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dari warga negaranya, tetapi lebih dari itu guna terpenuhinya rasa kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu melalui Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.
Selain memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan. Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan sekalipun sifatnya masih parsial.
Perundang-undangan yang di dalamnya memberikan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan, diantaranya:
Bagikan:

Pengertian Perdagangan Orang (Trafficking)

Pengertian perdagangan orang (trafficking) mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan orang meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau organisasinya.
Definisi perdagangan orang pertama kali dikemukakan pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB), menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan sebutan ”Protocol Palermo”. Protokol ini merupakan sebuah perjanjian yang merupakan perangkat hukum yang mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasinya atau menyetujuinya.
Definisi perdagangan orang menurut Protokol Palermo tertuang di dalam Pasal 3 yang rumusannya (www.unhcr.ch/html/menu2/pal.htm):
a. Perdagangan orang yang dilakukan oleh orang lain, berarti perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapat keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi setidaknya mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui perbudakan, melalui, praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya .
b. Persetujuan korban perdagangan orang atas eksploitasi yang dimaksud pada Pasal (3) sub (a), pasal ini menjadi tidak relevan apabila digunakan sarana yang dimaksud pada sub (a).
c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk maksud eksploitasi di anggap sebagai ”perdagangan orang” meskipun apabila hal ini tidak mencakup salah satu sarana yang termaktub pada sub (a) pasal ini.
d. ”Anak” berarti seseorang yang masih dibawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Perluasan definisi perdagangan sebagaimana dikutip dari Wijers dan Lap-Chew (Ruth Rosenberg: 2003) yaitu:
„‟Perdagangan sebagai perpindahan manusia khususnya perempuan dan anak, dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage)‟‟.
Definisi yang luas ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang Indonesia yang telah mengalami kekerasan yang berkaitan dengan perdagangan orang daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini membawa kepada suatu konsepsi baru mengenai perdagangan. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi dibawah ini yang didasari atas poin-poin sebagai berikut:
1. Dari “Perekrutan” menjadi “Eksploitasi”
Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekedar perekrutan menjadi kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya. Pada tahun 1904 dibuat konvensi internasional pertama anti perdagangan, yaitu International Agreement for the Suppression of The White Slave Trade (Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan Budak Berkulit Putih).
Sasaran konvensi ini adalah perekrutan internasional yang dilakukan terhadap perempuan, di luar kemauan mereka, untuk tujuan eksploitasi seksual. Kemudian pada tahun 1910 dibuat konvensi yang bersifat memperluas konvensi tahun 1904 dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam negeri. Kedua konvensi ini membahas proses perekrutan yang dilakukan secara paksa atau dengan kekerasan terhadap perempuan dewasa untuk tujuan eksploitasi seksual.
2. Dari “Pemaksaan” menjadi “dengan atau tanpa persetujuan”.
Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ketempat lain.
3. Dari “Prostitusi” menjadi “Perburuhan yang informal dan tidak diatur oleh hukum”
Pada tahun 1994, PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “perdagangan perempuan dan anak” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa. Dalam resolusi ini perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”
4. Dari “Kekerasan terhadap Perempuan” menjadi “pelanggaran Hak Asasi Manusia”
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara menjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar.
5. Dari “Perdagangan Perempuan” menjadi “Migrasi Ilegal”
Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara- negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan ini mempunyai konsekuensi negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan, yaitu pertama, ada banyak kasus perdagangan dimana perempuan masuk ke negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal dimana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban.
Bagikan:

Kekebalan Kepala Negara dan Kejahatan Kemanusiaan

In order to see whether head of State immunity ratione personae is applicable when a serious international crime is committed, it is important to establish the scope of this crime and the relation it has with the immunity. It is important to see the seriousness of these crimes, in relation to the necessity of immunity.
The most serious crimes within international criminal law create victimization on a “systematic and large scale” on a non-international playing field, yet overreaching the harmfulness of international conflicts, “both quantitatively and qualitatively”. These crimes are the crime of genocide, crimes against humanity, war crimes and the crime of aggression. All these crimes have in common are the grave violations of universally accepted human rights, and the general notice is that the perpetrators of these crimes need to be brought before justice.
When a crime “threaten[s] the peace and security of humankind and (..) shock the conscience of humanity”, it is most likely seen as part of compelling law. These are the fundamental rules of customary international law, and cannot be changed or breached. These norms are most commonly referred to as jus cogens norms. These norms are non-derogable and peremptory. Some international crimes are labeled as jus cogens: crime of genocide, crimes against humanity, war crimes, the crime of aggression, torture, piracy, slavery and all slave-related practices. Labeling these crimes as such has severe implications: this characterization creates the obligato erga omnes within the entire international community, both on national level and on international level, not to grant impunity to the violators of these crimes: all States have a (legal) interest in the protection against these crimes, creating the obligation towards the entire international community. This is giving them a higher level of importance, yet complicating the principle of immunity ratione personae.
The criminal liability of an individual can be expanded through modes of liability. Not only the footmen (those who physically commit the crime) at the bottom of the food chain are then liable: the puppeteers pulling the strings in the background also can be found liable, without physically hurting anybody themselves. Geographically, these senior superiors are remote from the actual and factual committing of the crime, however, there are still ways to hold them responsible under criminal law. These modes of liability are (as they are named in Article 25 (3) (b) to (3) (d) of the Rome Statute): “ordering”, “soliciting”, “inducing”, “aiding”, “abetting”, “assisting” and “in any other way contributing”. The liability can range from actual giving the orders, without leaving the option to refuse, to specifically condoning others to commit the acts. These forms of liability also fall under the protection of the immunity and are very relevant, since it is more likely that a head of State is liable under extended liability, than by actually and physically committing the crime.
Each crime (genocide, crimes against humanity, war crimes and the crime of aggression) will be elaborated briefly below: the core of the crime will be discussed, as well as the relation between the crime and the head of State and in that extension to head of State immunity. It is important to understand the severity of these crimes to understand better how they can form an exception to head of State immunity: it might clarify the dilemma between (de facto) impunity and immunity: on the one hand immunity serves a clear purpose, on the other hand this leaves these crimes unprosecuted.
Bagikan:

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru