PENGANTAR
HUKUM INDONESIA
A. Hukum
dalam Arti Tata Hukum
1. Pengertian
Tata Hukum
Jika kita berbicara hukum, maka hukum dalam bahasa
Inggris “Law”,Belanda “Recht”,Jerman “Recht”, Italia “Dirito”,
Perancis “Droit”. Hukum hidup dalam pergaulan hidup manusia, seperti
kita lihat cerita Robinson Croese yang terdampar di sebuah pulau dimana ia
hidup sendiri dan ia dapat berbuat sesuka hatinya tanpa ada yang
menghalanginya. Ia tidak butuh hukum,
artinya hokum itu baru dibutuhkan dalam pergaulan hidup. Dimana fungsinya
adalah memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia. Menjaga jangan
sampai seseorang dapat dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang
tidak kehendaknya, dan lain-lain.
Tetapi ada faktor lain selain tata tertib yang
terdapat pada hukum yaitu keadilan, suatu sifat khas pada hukum yang tidak
terdapat pada ketentuanketentuan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tata
tertib.
Jadi hukum itu berkenaan dengan kehidupan manusia,
ialah manusia dalam hubungan antar manusia untuk mencapai tata tertib
didalamnya berdasarkan keadilan.
Dalam hubungan Hukum dan Negara, baik hukum maupun
Negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk
memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu mengingat tujuan Negara
adalah menjaga dan memelihara tata tertib. Di Negara Indonesia seperti kita
ketahui bahwa tata hukum di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di
Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti yang memberikan
akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang
adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan
pergaulan hidup masa lampau, di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup
yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain. Tata hukum disebut
juga Hukum Positif atau Ius Constitutum, sedang hukum yang
dicita-citakan adalah Ius constituendum.
2.
Sejarah Tata Hukum Indonesia
Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat
beraneka ragam peraturan perundang udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan
Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga
terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara
jepang yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata
Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembngan
Tata
Hukum Indonesia sejak kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC),
Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang.
Berikut ini dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukum Indonesia.
a.
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda
tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang
membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat
keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni dagang oleh
pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak
monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak
mendirikan benteng, mengumumkan perang, mengadakan perdamain dan hak mencetak
uang.
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda
memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal Piere Bith untuk membuat peraturan
dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan
para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya, disamping ia dapat memutuskan
perkara perdata dan pidana. Peraturan-peraturan
tersebut
dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat
tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van
Batavia” (statuta batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe
Bataviase Statuten” (statute Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku
diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan
aturan-aturan hokum lainnya sebagai satu sistem hukum sendiri dari orang-orang
Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.
b.
Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31
Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari
1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok
peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:
1)
Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847
termuat dalam Stb 1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa
peraturan lain yang juga diberlakukan antara lain:
a)
Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
b)
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata
(KUHS/KUHP)
c)
Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD)
d)
Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang
Acara Perdata.
Semua peraturan itu diundangkan berlaku
di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.
2)
Regering Reglement (R.R.),
Diundangkan
pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa
berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang
ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana.
3)
Indische Staatsregeling (I.S.),
Atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang
termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.
c.
Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang
No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei) yang menyatakan berlakunya kembali semua
peraturan perundang-undangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan
Jepang.
3. Politik Hukum
Berlakunya hukum dalam suatu negara ditentukan oleh
Politik hokum negara yang bersangkutan, disamping kesadaranan hukum masyarakat
dalam negara itu. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan politik hokum hendaknya
perlu diketahui terlebih dahulu arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah
Suatu jalan (kemungkinan) untuk memberikan wujud
sebenarnya
kepada yang dicita-citakan. Dapat pula dilihat pendapat Padmo Wahyono
bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi
hukum yang akan dibentuk.
Oleh karena itu berdasarkan pengertian tersebut,
suatu politik hokum memiliki tugasnya meneruskan perkembangan hukum dengan
berusaha membuat suatu ius constituendum menjadi ius constitutum atau
sebagai penganti ius constitutum yang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masyarakat.
Sedangkan politik hukum berbeda artinya dengn ilmu
politik, sebab ilmu politik memiliki pengertian menyelidiki sampai seberapa
jauh batas realisasi yang dapat melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan
apa yang dapat dipakai untuk mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari
cita-cita social itu.
Politik hukum
suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya tetapi dapat
pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan
melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu.
Bentuk
hukum itu dapat:
(1)
Tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang-Undang dan
berlaku sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada duamacam yaitu:
(a) Kodifikasi ialah
disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan teratur.
(b) Tidak dikodifikasikan ialah sebagai
undang-undang saja.
(2)
Tidak tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula
merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan.
Corak
hukum dapat ditempuh dengan:
(1)
Unifikasi yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan
kelompok sosial atau suatu negara.
(2) Dualistis yaitu berlakunya dua sistem
hukum bagi dua kelompok social yang berbeda didalam kesatuan kelompok sosial
atau suatu negara.
(3)
Pluralistis yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok
sosial yang berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas telah dijelaskan arti, bentuk, dan corak
politik hukum, berikut ini dibahas Politik Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan
Hukum di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi
oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya
undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda sampai sekarang masih berlaku.
Selain itu,
masuknya
hukum Islam juga mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian permasalahan-permasalahan
perdata masih menggunakan hukum Islam.
Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu
bagaimana politik Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik
Hukum Indonesia. Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan
berlakunya 3 pokok peraturan Belanda (sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa
berlakunya AB, RR dan IS.
·
Masa Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Pada masa berlakunya AB politik hukum Pemerinthan
penjajahan Hindia belanda dapat dilihat dalam pembagian golongan dan berlakunya
hukum bagi masing-masing golongan tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan
Pasal 5 AB membagi kedalam dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk
Hindia Belanda di bedakan kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang
dipersamakan) dan Golongan Pribumi (berserta mereka yang dipersamakan
dengannya).
Sedangkan hukum yang berlaku bagi masing-asing
golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan Pasal 11 AB. Adapun yang diatur
didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan
kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
-
Pasal 9 AB
“Menyatakan
bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang
(yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan
bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.
-
Pasal 11 AB
“Menyatakan
bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata
dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan
kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang
diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu sendiri
ditetapkan berlakunya hukum eropa
atau
orang pribumi yang bersangkutan telah menundukan diri pada hokum eropa”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka
pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk hukum
tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hokum perdata tertulis ada yang
dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek
van Koophandel (WvK); yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan
yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata Adat dan berlaku bagi setiap orang di
luar golongan Eropa. Corak hukumnya dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu
sistem hokum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum
perdata lain yang berlaku bagi golongan Indonesia.
Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum
perdataberdasarkan sistem hukum dari masing-masing golongan menurut pasal 11 AB
itu sangat sulit dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan
yang tegas walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam
pasal 5 hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan
dengan orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian
golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang
beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak
beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan
golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen
termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga
bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama
Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang
bumiputra.
Tetapi karena pasal 10 AB memberikan wewenang kepada
Gubernur Jenderal untuk menetapkan peraturan pengecualian bagi orang Indonesia
Kristen, maka melalui S. 1848: 10, pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan
bahwa “orang Indonesia Kristen dalam lapangan hukum sipil dan hukurn dagang
juga mengenai perundang-undangan pidana dan peradilan pada umumnya tetap dalam
kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan demikian berarti bahwa bagi orang
Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang bumiputra dan tidak
dipersamakan dengan orang Eropa.
·
Masa Regering Reglement (R.R.)
Politik
hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum
pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada
asasnya seperti tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya
tetap dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan
atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap
pembagian golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement.
Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan
merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
-
Pasal 109 RR
“Pada
pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen
tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India
dipersamakan dengan Bumi Putera”.
-
Pasal 75 RR
“Menyatakan
tetap memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan
lainnya”.
Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap
beberapa pasal tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR
(baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya
dari tahun 1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan
politik hukum dalam pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap
penentuan penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan
penggolongannya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia
dan Timur Asing.
·
Masa Indische Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus
berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan hindia belanda pasa saat berlakunya
IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. pada Pasal 163 IS mengatur
pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR
(baru).
Sedangakan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku
bagi masing-masing golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua pasal
tersebut adalah
(dibawah
ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi
pasal
tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk
Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1.
Golongan Eropa
2.
Golongan Bumi Putera
3.
Golongan Timur Asing.
Pasal 131 IS meyatakan beberapa hal yakni :
1.
Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.
Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia belanda
berdasarkan asas konkordansi.
3.
Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi
golongan bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.
Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila
masyarakat menghendaki demikian. Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal
163 IS sebenarnya untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi
masing-masing golongan
sebagaimana
tercantum dalam Pasal 131 IS.
Diatas telah dijelaskan politik hukum pada masa
penjajahan belanda, dibawah ini akan dijelasakan politik hukum Indonesia
setelah merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, setelah
Indonesia merdeka bagaimanakah politik Hukum Indonesia. Untuk mengetahui
keberadaan politik hukum di Indonesia dapat dianalisa berdasarkan berlakunya
Undang- Undang Dasar di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka sebagai bangsa
yang lepas dari penjajahan, maka sebagai dasar negara dibentuklah UUD 1945 yang
mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang
diberlakukan sampai sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit
Presiden. Pada umumnya suatu negara mencantumkan politik hokum negaranya di
dalam Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga negara yang mencantumkan politik
hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi Negara yang tidak mencantumkan
politik hukumnya di Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di dalam suatu
bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 yang berbatang tubuh 37 pasal tidak
mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal ini berbeda dengan UUDS 1950
yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal 102, yang berbunyi:
“Hukum
perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara
perdata maupun hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur
dalam undang-undang dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap
perlu untuk mengatur beberapa hal dalm undang-undang sendiri”.
Berdasarkan Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum
yang dikehendaki membentuk suatu hukum tertulis yang dikodifikasi. Tetapi
sebagaimana diketahui dasar negara yang digunakan adalah UUD 1945, maka politik
hokum sebagai mana tercantum di dalam Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku.
Oleh karena UUD 1945 tidak mengatur politik hukum
maka didalam pelasanaan hukum berlandasakan kepada Pasal II aturan peralihan
UUD 1945. Di dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945 diatur bahwa “Segala
badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undag Dasar ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan
ini bukan merupakan politik Hukum hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi
untuk mengisi kekosongan hukum. Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan
Pasal 192 UUD RIS yang menyatakan tetap berlakunya peraturan perundangan hukum
dan tata usaha yang telah berlaku sebelum berlakunya UUD saat itu.
Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan kekosongan
hukum dapat diatasi, yang berarti bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada
jaman penjajahan Belanda tetap berlaku selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya
Pasal II aturan peralihan ini disebut dengan asas konkordansi. Tetapi, walaupun
masih ada peraturan hukum Belanda yang berlaku setelah menjadi negara merdeka
dewasa ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah Belanda pada zamannya,
melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi kekosongan hukum” saja,
sebab kekosongan hukum berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan hukum
Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam
pergaulan hukumdi Indonesia. Karena itu pemerintah terus berusaha mewujudkan hokum
nasional sebagai penggantinya yang dinyatakan secara berencana melalui politik hukumnya
dalam haluan negara. Suatu perumusan politik hukum yang dinyatakan secara tegas
dan bertahap dicantumkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
B. Sistem Hukum
Suatu Sistem mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu
terdiri dari komponenkomponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan
dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintergrasi.
Menurut Prof Subekti system adalah suatu susunan
atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu system tidak
boleh terjadi suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian dan juga
tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih (over lapping).
Sistem
dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Sistem hukum Eropa Kontinental.
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara Eropa
daratan yang sering disebut sebagai “Civil Law”. Peraturan-Peraturan
hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa
Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”. Corpus Juris
Civilis ini menjadi dasar perunusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa
daratan, seperti jerman, Belanda, Perancis dan Italia, juga Amerika Latin dan
Asia termasuk Indonesia pada masa jajahan Belanda. Prinsip utama yang menjadi
dasar system hukum Eropa kontinental ialah “Hukum memperoleh kekuatan mengikat,
karena diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk
undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau
kompilasi. Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan
tujuan hukum adalah “kepastian hukum”. Sumber hukum di dalam system hukum Eropa
Kontinental adalah “Undang- Undang” yang dibentuk oleh Pemegang kekuasaan
Legislatif. Selain itu juga diakui peraturan yang dibuat oleh pemegang
kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh
undang-undang (peraturan hokum administrasi negara) dan kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika).
Sistem hukum Anglo Saxon, yang kemudian dikenal
dengan sebutan “Anglo Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang
sering disebut sebagai Sistem “Common Law” dan sistem “Unwritten Law”
(tidak tertulis). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetap tidak sepenuhnya
benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum
yang tertulis (statutes). Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Amerika
ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” (judicial decisions). Disamping
putusan hakim, maka
kebiasaan-kebiasaan
dan peraturan perundang-undangan tertulis undangundang dan peraturan administrasi
negara yang diakui. Selain itu dalam system Anglo Amerika ada “peranan” yang
diberikan kepada hakim yaitu hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk
menafsirkan peraturan hokum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum
baru yang akan menjadi
pegangan
bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis. Sistem Anglo
Amerika menganut suatu doktrin yaitu “the doctrine of precedent/stare decisis”
yang pada hakekatnya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang
hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah di dalam
putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya (preseden).
Dalam hal tidak ada putusan hakim yang terdahulu
atau ada tetapi tidak sesuai dengan perkembangan, maka hakim dapat memutuskan
perkara berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common
sense) yang dimiliki. Oleh karena prinsip-prinsip hukum sering terjadi karena
perkara, maka system Anglo Amerika sering disebut Case law.
Sistem
hukum Anglo Amerika pengertian hukum privat ditujukan kepada kaidah-kaidah
hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law
of persons), hukum perjanjian (law of contract), dan hukum tentang
perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar dalam
Undang-Undang, putusan hakim dan hukum kebiasaan.
3.
Sistem hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan
kehidupan sosial diIndonesia dan Negara-negara Asia lainnya, seperti Cina,
India, jepang dan negara lain. Sumber
hukum adat pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang
dan dipertahankan dengan kesadaran hokum masyarakatnya. Dan hukum adat
mempunyai tipe yang bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak
nenek moyang, serta dapat menyesuaikan diri dan elastik.
4. Sistem hukum Islam.
Sistem
hukum Islam dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan
penyebaran agama Islam. Sistem hukum Islam bersumber hukum kepada:
a. Quran, yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang
diwahyukan oleh Allah kepada NabiRasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat
Jibril.
b. Sunnah nabi yaitu cara hidup dari Nabi Muhammad
atau cerita-cerita (hadis) mengenai nabi
Muhammad.
c. Ijma ialah kesepakatan para ulama besar tentang
suatu hal dalam dalam cara bekerja (berorganisasi).
d. Qiyas ialah analogi dalam mencari sebanyak
mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metide
ilmu hokum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hokum
baru dari garis hukum suatu keadaan karena persamaan yang ada di dalamnya.
Sistem
Hukum Islam dalam “hukum Fikh” terdiri dari dua hukum pokok, ialah:
a. Hukum Rohaniah, lazim disebut “ibadat”, yaitu
cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah, seperti sholat,
puasa, zakat dan
menjalankan
haji. Kelima kegiatan menjalankan upacara kebaktian kepada Allah itu lazim
disebut “Al-Arkanul Islam al-hamzah”.
b.
Hukum Duniawi, terdiri dari:
1) Muamalat yaitu tata tertib hukum dan peraturan
mengenai hubunganantar manusia dalam bidang jual-beli, sewa menyewa,
perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan
ekonomi pada umumnya.
2) Nikah yaitu perkawinan dalam arti membentuk
sebuah keluarga yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan
kewajiban, dasardasar perkawinan monogamy dan akibat-akibat hukum perkawinan.
3) Jinayat yaitu hukum pidana yang meliputi ancaman
hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
C.
Pembedaan/Klasifikasi Hukum
Hukum sebagai Ilmu pengetahuan memiliki bidang hukum
yang sangat luas atau lingkup dan aspek hukum sangatlah luas oleh karena itu
dalam kegiatan ilmiah diusahakan untuk mengadakan pembedaan atau klasifikasi
hukum. Di dalam perkembangan ilmu hukum, pembidangan hukum tergantung sudut
yang mana hukum yang berlaku hendak dipelajari. Sebagaimana dikatakan oleh Lemaire,
yakni:
“Pelbagai dasar pembidangan hukum adalah
mungkin, sekedar dari sudut mana hukum yang berlaku hendak dipelajari”
Oleh karena itu dalam ilmu hukum pembidangan hukum
dapat terjadi dari berbagai sudut pandang hukum, yang sangatlah penting bagi
pembahasan tata hukum adalah pembidangan hukum atas:
- hukum publik dan hukum Privat (perdata)
- Hukum materiel dan hukum formiel
1.
Berdasarkan hubungan yang diatur. Dapat pula disebut pembagian klasik yang sampai
kini masih digunakan yalkni: Hukum Publik dan Hukum Privat.
Publik
|
Privat
|
Salah
satu pihaknya adalah penguasa
|
kedua
belah pihaknya adalah perorangan tetapi tanpa menutup kemungkinan penguasa
dapat menjadi pihak juga.
|
Bersifat
memaksa
|
Bersifat
melengkapi
|
Tujuan
melindungi kepentingan umum
|
Melindungi
kepentingan perorangan
atau
individu
|
Hubungan
hukum publik, mengatur hubungan antara negara dengan individu
|
Hubungan
hukum privat, mengatur hubungan individu dengan individu.
|
2.
Berdasarkan Kriterium fungsi hukum
a. Hukum materiel (subtantantive law) terdiri dari
peraturan peraturan
yang
mengatur subyek hukum, obyek hukum, peritiwa hukum yang
memberikan
hak dan membebani kewajiban.
b. Hukum Formiel (adjective law) menentukan bagimana
cara
melaksanakan/menegakan
hukum materiie.
No comments:
Post a Comment