BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan
agama yang universal dan rahmatal lil alamin, untuk siapa saja , dimana saja
berada dan kapan saja. Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang mampu
menyesuaikan diri dalam kondisi apapun tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar
(substansial) dari ajaran Islam yang luhur. Hal itulah yang menyebabkan kenapa
Islam dapat berlaku selama-lamanya dan dimanapun (Al-Islamu haqqun likulli
zaman wa makan), tidak musnah termakan zaman yang senantiasa dinamis dan
menuntut perubahan.
Berbicara Islam
pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran dan pertumbuhan
Islam pada masa silam. Kemunculan Agama Islam sekitar abad keenam masehi tidak
dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Arab pada masa itu yang kita
kenal dengan zaman jahiliyahnya. Kondisi sosial bangsa Arab itulah yang
menyebabkan kenapa hukum Islam lebih cenderung bersifat “keras” dan “tegas”
terutama dalam masalah jinayah (hukum pidana). Sehingga dapat kita katakan
bahwa kondisi sosial suatu masyarakat atau bangsa akan berpengaruh terhadap
produk hukum yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut.
Untuk lebih
lanjutnya makalah kami akan sedikit menguraikan kondisi masyarakat bangsa Arab
pada awal lahirnya agama Islam serta pengaruhnya terhadap hukum Islam pada masa
Nabi dan para sahabatnya. Semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran bagi
kita semua dalam rangka menambah khazanah keilmuan kita. Tiada gading yang tak
retak, mohon kritik dan sarannya demi perbaikan yang lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Bangsa Sosial Arab
Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah
Arab.Semenajung yang terletak di bagian barat daya Asia ini. Sebagian besar
permukaannya terdiri dari padang pasir. Secara iklim di jazirah Arab amat
panas, bahkan termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi ini.
Dari segi pemukimannya, bangsa Arab dapat
dibedakan atas ahl al-badawi dan ahl al-hadlar. Kaum Badawi adslah penduduk
padang pasir .Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, tetapi hidup secara
nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari
sumber air dan padang rumput. Mata penghidupan mereka adalah berternak kambing,
biri-biri, kuda dan unta. Kehidupan masyarakat Badawi yang nomaden tidak banyak
memberikan peluang kepada mereka untuk membangun kebudayaan. Karenanya, sejarah
mereka tidak diketahui dengan tepat dan jelas. Ahl al-hadlar ialah penduduk
yang sudah bertempat tinggal tetap di kota-kota atau daerah pemukiman yang
subur. Mereka hidup dari berdagang, bercocok tanam, dan industry. Berbeda
dengan masyarakat Badawi , mereka memiliki peluang yang besr untuk membangun
kebudayaan, sehingga sejarah mereka bias diketahui lebih jalas disbanding dengan
kaum Badawi.
Bangsa Arab
termasuk rumpun bangsa semit, yaitu keturunan Sam ibn Nuh, serumpun dengan
bangsa Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, Aram dan Habsyi. Bangsa
Arablah rumpun semit yang sekarang masih bertahan, sedangkan sebagian besar yang
lain sudah leyap dan tidak dikenal lagi.
Dalam bidang
ekonomi bangsa Arab memiliki beberapa tempat mereka berkumpul untuk melakukan
taransaksi jual beli dan membaca syair. Pasr-pasar itu terletak di dekat Mekah
yang terpenting di antaranya ialah Ukaz, Majinnah dan Dzul Majaz. Kabilah
Quraisy terkenal sebagai pedagang yang menguasai jalur niaga Yaman-Hijaz-
Syria. Mereka juga mendominasi perdagangan lokal dengan memanftkan kehadiran
para peziarah ka’bah, terutama pada musim haji.
Dalam struktur
masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi keluarga
besar yang biasanya hubungan antara anggota-anggotanya terkait oleh pertalian
darah. Akan tetapi , adakalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan
oleh perkawinan, suaka politik atau karena sumpah setia.
Sistem politik
sudah ada sejak lama. Sebelum Islam, ka’bah selalu dikunjungi oleh bangsa Arab
dari seluruh penjuru jazirah untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu di
Mekah berdirilah pemerintahan untuk melindungi jamaah haji dan menjamin
keslamatan dan keamanan mereka. Ditetapkan pula larangan berperangan di kota
itu, disamping larangan berperang selama bulan-bulan tertentu. Beberapa kabilah
yang pernah menguasai Mekah antara lain Amaliqah, Jurhum, khuza’ah dan yang terakhir
adalah Quraisy.
Pada
masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22
tahun beberapa bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang
besar dan hasil-hasil yang gemilang. Periode ini terdiri dari dua fase yang
berlainan , yaitu :
1.
Fase
Rasulullah Berada Di Mekkah
Yakni
selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai
waktu hijrahnya. Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya
sedikit dan masih lemah, belum merupakan suatu umat dan belum mempunyai
pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini diarahkan kepada penyebaran dakwah
ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan umat manusia dari
menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang
sengaja menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang
yang beriman kepada ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging
hewan yang disembelih atas nama berhala, melihat undian nasib dengan anak
panah, zina dan lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat yang turun di mekkah
khusus menyangkut bidang aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari
sejarah ummat yang dahulu.
2.
Fase
Rasulullah Berada Di Madinah
Yakni
selama kira-kira10 tahun, berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya.
Selama beliau berada di Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar
dibandingkan dengan di Mekkah yang ditandai dengan banyaknya orang-orang yang
beriman. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang turun banyak mengandung hukum
‘amaliyah, baik yang berkenaan dengan hidup individual maupun masyarakat yang
dapat dipastikan sangat memerlukan ketentuan hukum lembaga pengadilan. Islam
telah terbina menjadi umat, dan telah merupakan satu pemerintahan, media-media
dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak adanya tasyri’ dan undang-undang
mengatur hubungan antar individu satu dengan yang lainnya, selaku umat yang
berkembang serta mengatur hubungan-hubungan mereka dengan yang lain, baik di
masa damai maupun perang. Untuk ini maka disyari’atkanlah di Madinah
hukum-hukum perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian hutang piutang,
kepidanaan dan lain-lain.
B.
Wewenang Dalam Menetapkan Hukum
Melihat
situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani
oleh Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau
sendiri yang disebut hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi
kesempatan ijtihad kepada para sahabatnya, sekalipun wahyu masih ada dan masih
hidup. Hal ini dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk mengadakan hubungan
dengan beliau sukar karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa
pernah terjadi pada waktu Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal
menjadi duta Islam (hakim) di Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk
mengambil inisiatif sendiri dalam menjatuhkan vonis suatu kasus hukum, andaikan
pidananya tidak terdapat dalan Al-Quran dan Hadits.
Perlu
diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat
hanya bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum
(tasyri’). Dengan pengertian bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah
menjadi undang-undang yang mengikat bagi kaum muslimin, kecuali kalau sudah
mendapatkan ikrar (legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara tidak
langsung berarti Rasululloh SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau
masih hidup.
Terjadinya
ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena beliau
merupakan petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang
sesudahnya untuk mengambil hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum
dan mengembalikan peristiwa-peristiwa kecil kepadanya, karena adanya persamaan
sebab. Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at tidak mencakup semua
hukum yang timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya
: “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu
berpegang dengan keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”
C.
Dasar
Penetapan Hukum, Sanksi dan Metodenya
Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam
penetapan atau pembinaan hukum ada dua yakni wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW
sedangkan ijtihad para sahabat pada waktu itu tidak dapat dijadikan dasar yang
mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah SAW sendiri.
Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok
dalam penetapan hukum, karena berdasarkan pernyataan dalam Al-Quran itu
diantaranya sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ :105).
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ :105).
Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan
Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah akan mengancam kepada manusia
sebagai khilafah di bumi ini yang tidak mempergunakan Al-Quran sebagai pedoman
hukum dengan sanksi sebagai berikut:
1.
Kafir adalah vonis pidana yang diberikannya itu merugikan
orang lain dan dia sendiri benci kepada keputusan hokum Al-Quran
“Sesungguhnya
kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”
2.
Zalim adalah vonis
pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan merugikan orang
lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia tidak
menjatuhkan vonis pidana terhadap Al-Quran.
“Dan
kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
3.
Fasiq adalah vonis
pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan orang yang
bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara pribadi
mengakui Al-Quran.
“Dan
hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode
ini adalah berdasarkan suatu problem untuk ditentukan hukumnya. Untuk itu
Rasululloh terpaksa menunggu dalam beberapa waktu menjelang wahyu dari Allah
sebagai jawaban problem yang dimaksud. Tapi kalau ternyata wahyu yang
diharapkan itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah berijtihad sendiri ataupun
bermusyawarah dengan para sahabat, dengan berorientasi kepada kemaslahatan umum
(masyarakat).
BAB
III
KESIMPULAN
Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul
dan sahabat adalah terdiri dari berbagai kabilah-kabilah dan suku.
Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di perkotaan dan ada pula yang hidup
di pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota mayoritas mata pencahariannya
dengan berdagang ke luar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat
desa hidup dengan berladang dan berternak hewan. Biasanya masyarakat kota lebih
maju dan kuat dibandingkan pedesaan baik dari segi kekuasaan (politik),
kesejahteraan, maupun peradaban.
Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami
perkembangan yang signifikan. Sumber hukum yang menjadi titik acuan adalah
al-Quran. Apabila terdapat persoalan yang tidak memiliki dasar hukum dalam
al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara langsung dan ijtihad beliau dijadikan
sebagi landasan hukum bagi umat Islam pada masa itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Ahmad. Fajr Al Islam, (Singapura-Kota
Baru-Penang: Sulaimanmar’I), 1965.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1971.
Bik, Hudhari. Tarjamah Tarikh Tasyrik: Sejarah
Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Darul Ikhya), 1980.
Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl
Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-Mutawassith, (Beirut: Dar al kutub), 1966.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang), 1977.
Haris, Gusnam dkk. Sejarah Kebudayaan Islam,
(Yogyakarta: UIN Press).
Muhammad, Noor-Matdawam. Dinamaika Hukum Islam
(Tinjauan Sejarah Dan Perkembangannya, cet.pertama. (Yogyakarta: Bina Karier),
1985.
Wahhab, Khalaf Abdul. Ikhtisar Sejarah Hukum
Islam, cet. Pertama, (Yogyakarta: Dua Dimensi), 1985.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada),1993.
Terimakasih atas artikelnya kunjungi juga blog kami
ReplyDeleteBerita Terkini
Informasi Teknologi
Belajar SEO
Pola Hidup Kita
INformasi SEO
Berita Up To Date
Akuntansi Keuangan
Ina Cbgs
Informasi Teknologi