Franz Magnis Suseno S.J. membedakan empat arti euthanasia, yaitu sebagai berikut :
1. Euthanasia murni Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”
2. Euthanasia pasif Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
3. Euthanasia tidak langsung Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secar de facto memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
4. Euthanasia aktif (Mercy Killing) Adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Fred Ameln bentuk-bentuk euthanasia dapat dibedakan kedalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1. Euthanasia atas permintaan pasien;
2. Euthanasia yang dapat diminta pasien.
Selain itu juga dapat dibedakan :
1. Euthanasia pasif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien;
2. Euthanasia aktif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
Dalam euthanasia aktif masih dapat dibedakan lagi, yaitu :
1. Euthanasia aktif secara langsung (direct);
2. Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect).
Euthanasia pasif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medik kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya (dengan alasan bahwa perawatan pasien diberikan terus-menerus secara optimal dalam uasaha untuk membantu pasien dalam fase hidup yang terakhir).
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Euthanasia aktif secara langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan suat tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Sedangkan
Euthanasia secara tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasiennya, melakukan suatu tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan diperpendek / diakhiri hidup pasiennya.
Euthanasia di bagi dalam 4 kategori dasar, yaitu :
1. Aktif atas kehendak yang bersangkutan (acrive voluntary euthanasia)
2. Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia)
3. Aktif tanpa dengan kehendak yang bersangkutan (active non-voluntary euthanasia)
4. Pasif tanpa dengan kehendak yang bersangkutan (passive non-voluntary euthanasia)
1. Euthanasia Aktif atas kehendak yang bersangkutan Adalah bila orang yang bersangutan meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang lain mengambil tindakan-tindakan untuk mempecepat kematian orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya karena sudah tidak sanggup mederita sakit yang berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh, sedang dokter atau orang lain merasa kasihan atas penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan cepat tanpa rasa sakit.
2. Euthanasia pasif atas kehendak yang bersangkutan Adalah bila orang yang bersangkutan menghendaki segala usaha pertolongan untuk memperpanjang hidupnya dihentikan, sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah tidak tahan lagi akan penderitaan yang berkepanjangan.
3. Euthanasia pasif tidak atas kehendak orang yang bersangkutan Adalah orang yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menyatakan kehendak dan dokter atau orang lain memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena penyakitnya sudah tidak tertolong lagi.
4. Euthanasia aktif tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan Adalah bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah, sehingga tak mampu lagi untuk menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain karena kasihan, mengakhiri hidup orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit sehingga orang tersebut bebas dari penderitaannya.
Membicarakan bentuk-bentuk semu Euthanasia adalah sangat penting, karena kadang-kadang dalam diskusi tentang euthanasia masih sering terjadi kekeliruan (misunderstanding), sehingga suasana diskusi menjadi simpang siur. Di satu pihak, misalnya dalam hal memberhentikan pengobatan (perawatan) yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos) dianggap sebagai tindakan euthanasia pasif, sedangkan di pihak lain ada yang menganggapnya hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia. Disebut bentuk semu dari euthanasiakarena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya bukan euthanasia.
Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten van euthanasia. Adapun yang termaksud ke dalam bentuk semu euthanasia adalah sebagai berikut :
1. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos)
2. Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya)
3. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (brain death)
4. Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency)
5. Euthanasia akibat “sikon”
1. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos) Dalam hal memberhentikan pengobatan atau perawatan medis yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos), masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyebutkan sebagai bentuk euthanasia pasif, tapi ada juga yang menyebutnya sebagai bentuk semu dari euthanasia. Dalam literatul lebih banyak yang menyebutnya hanya sebagai euthanasia dalam bentuk semu, bukan euthanasia pasif. Untuk menentukan apakah suatu pengobatan atau perawatan adalah tidak ada gunanya lagi, maka harus dilihat kriteria-kriteria medik tertentu. Adapun kriteria tersebut adalah apakah tindakan medik terhadap pasien akan mencapai efek yang dituju, dan apakah hal ini dapat diharapkan secara reasonable. Dengan perkataan lain berarti harus ada suatu perbandingan yang reasonable antara tindakan medik dengan efeknya (hasil). Jika tidak terdapat perbandingan yang reasonable, berarti dapat dinilai bahwa tindakan medik tersebut adalah sama sekali sudah tidak ada gunanya (zinloos), sehinnga dokter pun tidak berwenang untuk melakukan tindakan medik. Dalam hal demikian, walaupun akhirnya pasien tersebut meninggal dunia, dokter tetap tidak dapat dianggap telah melakukan euthanasia (pasif), karena sudah tidak berwenang melakukan pengobatan. Justru bila dokter tetap melakukan pengobatan, maka ia telah melakukan penganiyaan terhadap pasien.
Dalam bukunya yang berjudul Rechten van Mensen in Den Gezondheissorg, tahun 1978 halaman 239, Leneen mengatakan bahwa : “Seorang dokter hanya ada wewenang untuk bertindak jika tindakan tersebut adalah berguna, dimana tindakannya adalah tidak ada gunanya lagi, maka terjadilah penganiayaan. Seorang dokter tidak melakukan penganiyaan yuridis selam ia bertindak sesuai dengantujuan yang ia sebagai dokter ingin mencapai dan selamanya ia sudah mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien”.Berdasarkan pendapat Leneen di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi ataupun tidak meneruskan terapi, apabila memang secara yuridis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil, walaupun hal ini mengakibatkan meninggalnya pasien. Dalam hal demikian, berarti tidak terdapat euthanasia (pasif), tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, karena dokter sendiri sudah tidak kompeten melakukan tindakan medik. Justru bila dokter tetap melakukan medikasi, maka ia tercantum telah melakukan penganiayaan.
2. Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya) Penolakan perawatan medik ini ada yang mengakibatkan matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medik untuknya, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut. Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah karena adanya the right of self determination atas badannya sendiri.
Dalam hal penolakan medik ini, Hoge Read Belanda telah mengeluarkan arrest-nya, yaitu HR 14 Juni 1974, NJ 1974, 436, yang mengatakan : “Seorang dokter pada umumnya tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu tindakan medik terhadap seorang pasien, jika tindakan medik itu tidak dikehendaki oleh pasiennya”. Jadi, apabila pasien telah menolak perawatan medik dan kemudian pasien tersebut meninggal, maka dokter tidak dapat disalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif). Meninggalnya pasien tersebut hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia.
3. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medika karena mati otak (brain death) Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970-an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat, sehingga mendesak dunia medis untuk merubah dan merumuskan kembali pengertian matinya seseorang. Dahulu, pengertian mati seseorang ditentukan oleh denyut jantung. Apabila denyut jantung seseorang sudah tidak berdenyut lagi (tidak bernapas) maka orang tersebut sudah dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya teknologi canggih di bidang medis, orang dapat bernapas kembali walaupun secara artificial. Denyut jantung yang tersendat-sendat dapat dipacu dengan alat pacu jantung, sehingga sekarang kita sudah dapat berbicara tentang “mayat hidup”.
Pada tahun 1974 dewan kesehatan belanda telah memberikan kriteria kapan seseorang dapat dinyatakan mati otak, yaitu jika :
1. Otak mutlak tidak lagi berfungsi
2. Fungsi otak tidak lagi dapat dipulihkan kembali.
Menurut Kartono Muhammad, mengatakan bahwa : “Pusat-pusat penggerak jantung dan paru-paru yang build up dalam tubuh manusia itu terletak di batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak sudah mati, dapatlah diyakini bahwa manusia itu sudah mati. Itulah awal dari criteria mati batang otak sebagai pedoman untuk menghentikan mesin-mesin pembantu tadi. Sebab dari segi agamapun perpanjangan penggunaan alat-alat tadi mungkin tidak dapat dibenarkan, karena pada hakikatnya pasien tersebut sudah manjadi jenazah”.
Selanjutnya beliau mengatakan : “Jika tanda-tanda mati batang otak sudah dapat dibuktikan, fatwa IDI menyatakan bahwa dokter boleh menghentikan segala tindakan penopang yang selama ini dilakukan. Karena pada saat batang otak sudah mati, orang itu benar-benar meninggal, maka tindakan penghentikan pertolongan bukan lagi euthanasia. Jadi, tidaklah dapat untuk dirancang pengertian penetapan mati batang otak dengan euthanasia”. Jadi, misalnya ada seorang pasien (korban) kecelakaan lalu lintas dan korban tersebut di bawah ke rumah sakit. Kemudian ia segera dirawat dan dipasang sebuah respirator. Tetapi ternyata pasien tersebut belakang kepalanya hancur, yang berarti ia sudah mati batang otaknya. Pasien tersebut hanya dapat hidup secara vegetative dengan pernapasan artificial. Kemudian dokter mencabut respirator yang dipasang pada pasien tersebut, sehingga pernapasan artifisianya berhenti dan ia pun segera meninggal dunia. Pelepasan respirator tersebut tidak termaksud dalam tindakan euthanasia, melainkan hanya merupakan pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia, karena pasien tersebut batang otaknya sudah mati, yang berarti ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini dokter tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif). Ia bebas dari segala tuntutan hukum.
4. Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peraltan medis yang terbatas (emergency) Bentuk euthanasia semua ini dapat terjadi apabila di suatu rumah sakit kekurangan alat medis. Misalnya, ada suatu tabrakan bis dan banyak korban yang harus ditolong. Kemudian para korban yang harus dipasangi respirasi, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak mungkin dipasang secara bergantian dari pasien yang satu ke pasien yang lainnya, sehingga ada beberapa pasien yang tidak terpasangi respirator, dan kemudian meninggal dunia. Maka dalam hal demikian, tidak terjadi kasus euthanasia. Dokter atau tenaga medis lainnya yang sedang bertugas di ruang darurat tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia.
5. Euthanasia “Akibat sikon” Dalam tulisannya, Rully Roesly berpendapat bahwa ada jenis euthanasia lain selain euthanasia aktif dan pasif, yaitu euthanasia “akibat sikon”. Yang dimaksud dengan euthanasia “akibat sikon” ini adalah suatu situasi apabila pasien masih ingin / besar harapannya untuk tetap hidup dan dokter masih mampu mengupayakan pengobatan, tetapi berhubung kondisi ekonomi pasien yang tidak mampu membiayai pengobatan, maka upaya pengobatan terpaksa dihentikan, dan pasienpun meninggal.
�� Bergaya Sambil Mencari Pahala, Kenapa Tidak ��
ReplyDelete.
Dengan Kaos Dakwah dari Gootick Apparel yang akan membuat penampilan teman-teman pasti berbeda dari yang lain ������
.
Dengan bahan Material dari Catton Bamboo yang memiliki kualitas tidak perlu di ragukan dan Sablon yang Rapih dan Kuat. Baca Terlebih dahulu kelebihan dari Cotton Bamboo
Tersedia 5 tulisan bermakna Islami dan pilihan warna yang pastinya cocok di pakai untuk kegiatan sehari-hari yang akan terlihat Elegan dan Simple, Rapih dan Pastinya Keren.
.
"Promo HEMAT" Harga Normal Rp.100 K dan dapatkan potongan diskon harga sebesar Rp. 30 K.
.
Untuk informasi pemesanan silahkan klik link dibawah ini, untuk di arahk
.
Kaos Dakwah Terbaru
Testimoni di Instagram: #gootickapparel
.
Tunggu apalagi Langsung Ambil Promonya selagi masih Tersedia
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu