Hukum Pembajakan Pesawat Udara di Indonesia

Pada umumnya peraturan hukum Internasional belum begitu efektif dalam menanggulangi kejahatan pesawat udara. Oleh karena itu dicari alternatif lain dalam rangka mencegah memberantas dan menghukum kejahatan tersebut, seperti yang selalu diserukan pada setiap konvensi yakni menyerahkan kepada masing-masing Negara. Hal ini disebabkan oleh karena setiap Negara berwenang sepenuhnya menetapkan peraturan hukum (pidana) nasionalnya yang berlaku dalam batas-batas wilayahnya berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya. Bahkan jika yurisdiksi kriminal oleh konvensi-konvensi mengenai pembajakan pesawat udara dapat dijadikan dasar untuk menindak pelaku kejahatan tersebut. Ini berarti bahwa konvensi memberi wewenang kepada Negara-Negara untuk memperluas yurisdiksinya.

Indonesia pada tanggal 31 Maret 1976 telah meratifikasi ketiga konvensi, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 dam Konvensi Montereal 1971 seperti yang telah diundangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1976 ( LNRI No. 18 tahun 1976 ). Kemudian pada tanggal 27 April 1976 telah melengkapi Undang-Undang Pidananya dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1976 ( LNRI No. 26 tahun 1976 ).

Dalam hal ini yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1976 terdapat penambahan sebuah Bab baru, Bab XXIX A. Buku II. Bab baru ini mengatur kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, terdiri atas 18 Pasal ialah Pasal 479 A sampai dengan Pasal 479 R.
Ban XXIX A ini dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( baru ) telah dirubah menjadi Bab XXX Buku II, terdiri atas 18 Pasal ialah Pasal 589 sampai dengan Pasal 606.

Ada tiga hal yang diatur dalam Naskah Rancangan Undang-Undang yang terakhir ini ialah :
1. Perubahan dan penambahan Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 Buku I dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Penambahan tiga pasal baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sesudah Pasal 95 Buku I Bab XIX ialah Pasal 95a, 95b, 95c.
3. Penambahan sebuah Bab baru ialah Bab XXIX A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II setelah Bab XXIX buku II, Bab baru ini mengatur kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan yang terdiri atas 18 Pasal yaitu Pasal 479 a sampai Pasal 479 r.

Mengenai perubahan dan penambahan Pasal 3 menegaskan sebagai berikut :
Ketentuan Pidana dalam Peru ndang-u ndangan Indonesia berlaku setiap orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal tiga ini dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1991/1992 ini dalam Pasal 4 menegaskan sebagai berikut :
Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak Pidana dalam kendaraan air,peswat udara atau pesawat ruang angkasa Indonesia.
Pasal tersebut diatas merupakan perluasan dari asas teritorial mengenai berlakunya Undang-Undang Pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 2 KUHP. Dalam hubunganya dengan Pasal 3 KUHP ini perlu pula diketahui, apakah yang dimaksudkan dengan pesawat udara itu.
Menurut Pasal 95 a KUHP sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan "Pesawat udara Indonesia" adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia.
2. Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.

Menurut Sudarto ( 1986 : 17 – 18 ) reclaksi dan susunan Pasal ini kurang baik. Bahkan Pasal ini membuat orang ragu, apakah Pasal ini mempunyai dua ayat atau dua sub, selanjutnya dikatakan hanya ada dua sub, sebab Pasal ini hanya terdiri dari satu kalimat yang berarti Pasal ini hanya merupakan satu ayat. Susunan kalimatnya kurang baik karena dua kali disebut istilah "pesawat udara Indonesia", lebih-lebih penyebutan kedua tanpa tanda petik. Menurut Sudarto lebih baik Pasal tersebut berbunyi :
Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah
a. Pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia atau
b. Pesawat udara Asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Mengenai pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia ini telah diatur secara tegas di dalam Pasal 1 point 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan yang berbunyi :
Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan dan mempunyai tanda penclaftaran Indonesia.

Mengenai pesawat udara asing yang disewakan tanpak awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia diatur didalam Pasal 9 ayat 2 sub b pada Undang-Undang yang sama, yaitu pesawat yang dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dioperasikan oleh warga negara Indonesia. Atau badan hukum Indonesia untuk jangka pemakaiannya minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya.
Mengenai perubahan ketentuan dalam KUHP menyangkut Pasal 4 ayat 4 berbunyi sebagai berikut :
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446, tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf i,m,n dan o tentang kejahatan mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Perubahan ketentuan dalam KUHP menyangkut Pasal 4 ayat 4 ini di dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana, dimana perubahan dan penambahan dilakukan karena mungkin sudah tercakup pada Pasal 10 ayat 1 dan 2.
Pasal 10 ayat 1 berbunyi :
Ketentuan pidana dalam peraturan Peru ndang-u nd angan Indonesia berlaku bagi nahkoda, awak kendaraan air, dan penumpang kendaraan air Indonesia yang di luar Wilayah Indonesia, juga waktu mereka tidak di atas kendaraan air, melakukan salah satu tindak pidana pelayaran dalam Bab XXIX.
Pasal 10 ayat 2 berbunyi
Ketentuan pidana dalam peraturan Perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda, awak kendaraan, dan penumpang kendaraan air Indonesia yang di luar wilayah Indonesia, juga waktu mereka tidak berada di atas kendaraan air, melakukan salah satu tindak pidana pelayaran dalam Bab XXIX.

Menurut hemat penulis redaksi Pasal 10 ayat 2, khususnya pesawat ruang angkasa " terlalu berlebihan karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki pesawat ruang angkasa. Menurut Penulis ketentuan ini perlu ditinjau kembali.
Pasal 4 ayat 4 KUHP ini mengandung asas universal,pada dasarnya berarti bahwa siapa saja dan dimana saja orang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik-delik yang disebut dalam Pasal 4 ayat 4 ini dapat dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Indonesia. Penambahan dalam Pasal ini ialah yang menyangkut kejahatan penerbangan yang tersebut dalam Pasal 479 j, 479 i sampai dengan 479 o. Dalam hat ini yang dilindungi oleh hukum pidana tidak hanya kepentingan Negara Indonesia akan tetapi kepentingan Internasional. Dengan demikian asas ini juga disebut asas penyelenggaraan ketertiban hukum dunia. Disini yang dititik beratkan adalah perbuatannya. Sifat perbuatan itu dan dimana perbuatan itu dilakukan.

Mengenai penambahan tiga Pasal barn dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sesudah Pasal 95 ialah Pasal 95 b dan 95 c KUHP.
Pasal 95 a KUHP mengenai pengertian pesawat udara seperti telah diuraikan di halaman depan, erat kaitannya dengan masalah pembajakan pesawat udara; hanya saja Pasal ini dalam Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( baru ) telah dirubah kedalam redaksi Pasal 152 menegaskan :
Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia termasuk pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat san dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Pasal 95 b KUHP mengenai pengertian dalam penerbangan jugs penting berkaitan dengan masalah pembajakan pesawat udara. Bersama dengan Pasal 95 c KUHP telah dirobah masing-masing kedalam Pasal 153 dan 154,Naskah Undang-Undang Kitab Hukum Pidana ( baru ) dengan bunyi redaksi yang hampir sama.
Pasal 95 b KUHP menegaskan :
Yang dimaksud dengan " dalam penerbangan " adalah sejak saat semua pintu luar pesawat ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.
Demikian pula Pasal 95 c KUHP menegaskan :
Yang dimaksud dengan " dalam dinas " adalah jangka waktu sejak pesawat udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan.
Menurut Starke ( 1992 : 310 ) disamping konsep mengenai pesawat udara "dalam penerbangan", para perumus Konvensi Montreal memandang perlu memperkenalkan konsep sebuah pesawat udara "dalam dinas" ( in service ) oleh karena kejahatan penerbangan tidak hanya terbatas pada pesawat udara dalam penerbangan.
Lebih lanjut Starke dikatakan, sebuah pesawat udara dianggap sedang "dalam penerbangan" pada waktu sejak semua pintu keluar ditutup menyusul naiknya penumpang sampai saat pintu tersebut dibuka untuk menurunkan penumpang atau selama jangka waktu pendaratan darurat menunggu dilakukannya control oleh pihak yang berwenang.
Bagikan:

No comments:

Post a Comment

KONTAK

1. Email : handar_subhandi@yahoo.com 2. Facebook : Handar Subhandi 3. Twitter : @handar_subhandi 4. Researchgate : Handar Subhandi 5. Google Scholar : Handar Subhandi 6. Orcid ID : 0000-0003-0995-1593 7. Scopus ID : 57211311917 8. Researcher ID : E-4121-2017

Popular Posts

Labels

Artikel Terbaru