A. PENGERTIAN FIQIH MAWARIS
Fiqih Mawaris adalah
ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima
warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu
yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Syarbiny dalam
sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa:
“Fiqih Mawaris adalah
fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan
agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagianbagian yang wajib
diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”
Dalam konteks yang
lebih umum, kewarisan
dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya
Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu
faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang
kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang
bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang
cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Al-Faraidh dalam
bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata
dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam
berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna
dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan,
penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di
lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Pada dasarnya
arti-arti diatas sangat luas sehingga dalam tulisan ini, makna kata yang cocok
adalah ketetapan yang pasti, yang tercantum pada surah An-Nisa, 4: 11:
فريضة من الله إن الله كان
عليما حكيما (النساء : 11)
Kata (فريضة) berakar
dari kata faradha yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah. Kemudian
karena kata faraidh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang telah
dipastikan kadarnya maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang
tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan.
Saham-saham yang tidak
dapat diubah adalah angka pecahan 1/2 , 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 yang
terdapat dalam surah An-Nisa, 4:11, 12 dan 176.
Dengan singkat Ilmu
Faraidh dapat di definisikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi inipun berlaku juga
bagi Ilmu Mawarits, sebab Ilmu Mawarits, tidak lain adalah nama lain dari Ilmu
Faraidh.
Adapun kata
al-mawarits, adalah jama` dari kata mirots. Dan yang dimaksud dengan almirotsu,
demikian pula alirtsu, wirtsi, wirotsah dan turots, yang diartikan dengan
al-murutsu, adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli
warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan al-muwaritsu sedang
ahli waris disebut dengan al-waritsu.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARAIDH/ ILMU MAWARIS
Tata aturan pembagian
harta puaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan
atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang
laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk
mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka.
Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan
harta pusaka.
Kemudin, pengangkatan
anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat
mempunyai hakyang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang
mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat
mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
Demikian di awal Islam ini masih berlaku.
Ketika Nabi Muhammad
SAW. Hijrah demikian pula sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan
antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh
Nabi dijadikan sebab pusaka-mempusakai antara mereka. Sebagai contoh, apabila
seorang Muhajirin meninggal di Madinah dan bersamanya ikut walinya (ahli wais),
harta pusakanya akan diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah itu. Sedang walinya
yang ikut hijrah, tidak berhak mempusakai hartanya tersebut. Dan apabila
seorang Muhajir yang pindah itu meninggal dan tidak mempunyai wali, harta
pusakanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari Anshor yang menjadi ahli waris
karena telah menjadi saudara itu. Tentu saja waris dari persaudaraan yang
demikian itu, hanya apabila lelaki dan tentu saja sudah dewasa.
Tetapi didalam
perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam, pengangkatan
anak itu tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung.
Tidak, Ia tetap sebagai anak lain.
Hal ini dinyatakan
dalam Al-Quran:
وما جعل ادعياءكم ابناءكم
ذلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل (4) ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله
فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم فى الدين ومواليكمز. (الاحزب : 4-5).
Artinya : “Dan
tidaklah Allah menjadikan anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu sendiri.
Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengucapkan yang
benar, dan Ia menunjukan jalan yang benar. Dan panggilah anak-anak itu menurut
nama bapak-bapak mereka sendiri. Itulah yang adil di sisi Allah. Apabila kamu
sekalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah sebagai panggilan
saudaramu dalam agama dan maula-maulamu…(Al-Ahzab 4-5).
Pada masa awal-awal
Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya
masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk
kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang
persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya,
kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai
komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam
dinamika perubahan.
Oleh karena itu,
dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal-awal Islam, selain
meneruskan beberapa nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai
berikut:
a. Pertalian kerabat
(Al-Qarabah);
b. Janji prasetia
(Al-bilf wa al mu`aqadah);
c. Pengangkatan anak
(Al-tabanni) atau adopsi;
d. Hijrah dari Mekah
ke Madinah;
e. Ikatan persaudaraan
(Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor,
yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin
dari Mekah di Madinah.
C.
HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA
Nabi Muhammad SAW.
Bersabda:
تعلمواالفرائض وعلموهاالناس
فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. (رواه ابن ماجه والدارقطنى)
Artinya, “pelajarilah
al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu
separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang
pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan
Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu
faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya,
gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.
Dan ada juga yang
mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak
terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau
mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala,
tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi
barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka
berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Kewajiban belajar dan
mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam
keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian
harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam
hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah
belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits
Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang
artinya berbunyi sebagai berikut:
“Pelajarilah Al-Quran
dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada
orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu
akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian
pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup
memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).
Perintah wajib
tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah
hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat
disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum
muslimin yang belum pandai) adalah wajib.
Namun demikian perlu
dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban
dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang
melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin
akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak
ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat
secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.
Begitu pentingnya Ilmu
Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu.
Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama kali di cabut.
Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang
mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini
lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih
apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan
kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
Demikianlah, ilmu
faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh
dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia
dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari
Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Allah
berfirman : “
Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya,
Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun
mendapatkan siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian
semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar.
Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan baik
serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip
antara lain :
1.
Kepentingan
dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda)
diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan
sebagainya.
2.
kepentingan
keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak,
juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh
dekatnya hubungan keluarga.
3.
Keseimbangan
kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang
seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya
hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris
wanita.
4.
Beberapa hal yang berhubungan dengan
kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan,
bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan
agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut
dibuat dengan maksud :
a)
Harta
benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.
b)
Harta benda yang didapat dengan susah payah
oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal
menerima saja.
c)
Harta
benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan
Allah SWT.
Jadi, hukum waris
harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela
untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak
dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain,
misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian
terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu
perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur
pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap
ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya
sendiri.
KESIMPULAN
·
Fiqih
Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak
menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
·
Pada
masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti.
Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi
strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah,
untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam.
Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah
baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya,
yang masih dalam dinamika perubahan.
·
Bagi
seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak
memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan
mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan
sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris
Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain. Begitu
pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai
separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertama
kali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang
yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Jadi, hukum waris harus
dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk
membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan
maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya :
harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan
sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara
seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan
berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta
atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.
Semoga dengan
pembahasan kali ini kita akan semakin mengerti dengan apa yang menjadi polemik
kekeluargaan dalam pembagaian harta gono-gininya. Dengan kata lain semoga kita
nantinya yang akan menjdai Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga akan lebih
bijaksana dalam penentuannya (pembagian harta warisan).
Akhirnya kami selaku
pemakalah jika ada kekurangan disana sini harap dimaklumi karena setiap orang
tidak luput dari yang namanya ketidaksempurnaan. Hanya Allah SWT-lah yang
memiliki kesempurnaan itu. Semoga bermanfaat di dunia dan akhirat serta kami
ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, Dr.,
MA., Fiqih Mawaris Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Komite Fakultas
Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi
Publishing, 2004.
Parman, Ali, Kewarisan
Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta :
PT. Raja grafindo Persada, 1995.
Daradjat, Zakiah,
Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Jilid III.
Lubis, Suhrawardi K.,
S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis),
Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.
Halaman Web
:
http://hariswandi.wordpress.com/2011/10/31/hukum-mempelajari-dan-mengajarkan-faraid/
No comments:
Post a Comment