Profesi Hakim dan Karakteristiknya.
Sebagai
sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1
angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[5]Sedangkan mengadili diartikan
sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim
memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh
karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh
penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan
sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan,
alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun
tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:
1. Profesi
hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini
terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan. Selanjutnya, nilai keadilan juga
tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau
semua orang.
2. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh
membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah.
Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak
ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai
nilai keterbukaan.
4. Hakim
wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini
tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini
melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim
harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara
vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia,
baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
6. Hakim
wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29
ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan
suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa,
jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi
hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai
pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur
(officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada
manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya
terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut :
1. Profesi
harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa
pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan
profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada
nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan
profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan
dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan
mutu pengemban profesi.
Sebagai
suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan
Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat
menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Warga
Negara Indonesia.
2. Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
4. Bukan
bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi
massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
5. Pegawai
Negeri.
6. Sarjana
hukum.
7. Berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
8. Berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan baik.
Pendidikan dan Pelatihan Calon
Hakim.
Proses
pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan
dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan
sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk
menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para
peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah
Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang
disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan
sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan,
yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah
melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS),
para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat
oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi
keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk
mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta
diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di
berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut
Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah
pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana
calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak
untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh
Presiden melalui Menhukham.
Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim.
Bagaimana
mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan
kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang
memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring
dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang
pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik.
Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan
sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa
keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan
oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola
rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.
Dalam
buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan
hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW)
cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan
pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut
untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang
besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang
sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik,
atau akademisi.
Menurut
Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University of Melbourne,
pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus
menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam
artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan
kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim
seperti di bawah ini.
1. Kesulitan
mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan para pemangku otoritas hukum pada
umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun
mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak usainya Perang Sipil di negara itu.
Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak adanya
model kompetensi yang menjadi acuan mengenai karakter ideal yang sepatutnya
dipunyai oleh setiap individu hakim.
2. Dalam
survei yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
tahun 2006, saat ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yang menyebutkan
bahwa penambahan jumlah hakim dan staf pendukung sebagai prasyarat efektif
kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas
peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas
personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah aparat peradilan. Mutu
putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya,
Reza menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk
mengembangkan integritas hakim sebagai berikut :
1. Sebagai
sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human
resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan.
Ini artinya, penilaian ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim.
Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan penilaian secara
berkala pula. Prinsipnya, semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu
organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada
organisasi tersebut.
2. Ke
depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance standards atau distinct job
manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya sebagai pedoman pengembangan
karir para hakim.
Tanggung Jawab Profesi.
Pada
dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan
suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Tugas,
yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk
kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya.
2. Aparat,
yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung,
dan penunjang.
3. Lembaga,
yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para
aparat melaksanakan tugasnya.
4. Bagi
seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab
yang terkait tiga hal, yaitu:
a) mendapat
kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
b) merupakan
suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan
c) merupakan
suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.
Tanggung
jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral, tanggung
jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah
tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun
bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat
bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab
yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak
melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan
tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai
dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan,
baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
Tanggung Jawab Moral Hakim.
Tanggung Jawab Moral Hakim.
Secara
filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum
keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat
dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman
profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah
The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut
terdiri dari empat butir di bawah ini :
1. To
hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To
answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To
consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To
decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Peradaban
Islam pun memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih
tercatat ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang
hakim di Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara
pemeriksaan, dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam
risalah dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini :
1. Mempersamakan
kedudukan para pihak dalam majelis, pandangan, dan putusan sehingga pihak yang
merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yang
lemah tidak berputus asa dalam usaha memperoleh keadilan hakim.
2. Perdamaian
hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yang bersengketa kecuali
perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
a) Kartika,
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
b) Cakra,
berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
c) Candra,
berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
d) Sari,
berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
e) Tirta,
berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai
perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim
harus memiliki etika kepribadian, yakni:
1) percaya
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) menjunjung
tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
3) berkelakuan
baik dan tidak tercela;
4) menjadi
teladan bagi masyarakat;
5) menjauhkan
diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
6) tidak
melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
7) bersikap
jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
8) berkepribadian,
sabar, bijaksana, berilmu;
9) bersemangat
ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
10) dapat
dipercaya; dan
11) berpandangan
luas.
Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap,
sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah
diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim
menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia
terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke
ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan. Secara umum,
yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan
dalam persidangan adalah:
1. bersikap
dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang
berlaku;
2. tidak
dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap
pihak-piha yang berperkara;
3. harus
bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan
maupun perbuatan;
4. harus
menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
5. bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri,
seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan,
maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:
a) taat
kepada pimpinan;
b) menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan
jujur dan ikhlas;
c) berusaha
memberi saran-saran yang membangun;
d) mempunyai
kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan
norma-norma kedinasan; dan
e) tidak
dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Sedangkan
terhadap sesama rekan, hakim haruslah:
1. memelihara
dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
2. memiliki
rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;
3. memiliki
kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
4. menjaga
nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu
pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikapharus mempunyai
sifat kepemimpinan membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
memberi contoh kedisiplinan.
harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
memberi contoh kedisiplinan.
Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Di
samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus
senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim
harus:
1. memiliki
kesehatan jasmani dan rohani;
2. berkelakuan
baik dan tidak tercela;
3. tidak
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
dan
5. tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara
dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:
1. menjaga
keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun
norma kesusilaan;
2. menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan
rumah tangga;
3. menyesuaikan
kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan
4. tidak
dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
Sedangkan
dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:
1. selaku
anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
2. dalam
hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
3. harus
menjaga nama baik dan martabat hakim.
Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan
mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi
hakim.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung
jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a) bahwa
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b) bahwa
dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c) bahwa
hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri
meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa,
Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain
peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan
yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini
mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab
Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
A. 10
ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
1. pelaksana
putusan Mahkamah Agung;
2. wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang
diperiksa olehnya;
3. penasehat
hukum; dan
4. pengusaha.
B. Pasal
12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan
tidak dengan hormat dengan alasan:
1. dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
2. melakukan
perbuatan tercela
3. terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
4. melanggar
sumpah atau janji jabatan; dan
5. melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
C. Pasal
41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
D. Pasal
41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat
pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim
Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
E. Pasal
42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu
perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di
samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya
yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
1. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;
2. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis
tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis
tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang
dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling
diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim
dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu,
adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam
aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi
hukuman.
No comments:
Post a Comment