1. Hak Lintas Transit
Pasal 42 konvensi dan Bab III UU 1996 mengenai hak lintas transit memperkenankan negara-negara tepi untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat bertalian dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan penangkapan ikan dan lain-lainnya. Sehubungan dengan itu Indonesia sebaiknya membuat ketentuan-ketentuan keselamatan pelayaran terkait pelaksanaan lintas transit tersebut yang didasarkan atas berbagai kepentingan nasional. Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit, faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada pembedaan pengadaan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan-persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk meminta izin maupun pemberitahuan terlebih dahulu. Di samping itu, Pasal 38 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin lintas transit bagi segala jenis kapal maupun pesawat udara tanpa ada pembedaan berdasarkan jenis ataupun kategori. Oleh karena itu, lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk meminta izin maupun membertitahukan terlebih dahulu.
Khusus mengenai pelaksanaan hak lintas transit, pada perairan Indonesia hanya dapat diterapkan pada Selat Malaka-Singapura karena selat ini merupakan satu-satunya selat yang terketak di perairan Indonesia yang memenuhi kategori Pasal 37 Konvensi Hukum Laut 1982. Seperti diketahui pada Selat Malaka-Singapura, Indonesia telah banyak menjalin kerjasama dengan Negara-negara pantai lainnya yaitu Malaysia dan Singapura. Dapat dilihat dari usaha-usaha yang telah dicapai oleh ketiga Negara pantai di selat ini pada umumnya sudah sejalan dengan ketentuan Konvensi, khususnya dalam rangka penerapan ketentuan-ketentuan pasal 41 dan 42 terutama tentang penetapan alur laut dan skema pemisah lalu lintas.
2. Hak Lintas Alur Kepulauan
Mengenai hak lintas alur kepulauan diatur dalam pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Suatu Negara kepulauan dapat menetapkan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing guna melakukan terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya.
2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.
3. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya.
4. Alur laut dan rute udara demikian harus melintasi perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan dan mencakup semua rute lintas normal yang digunakan sebagai rute atau alur kepulauan dan di dalam rute demikian, sepanjang mengenai kapal, semua alur navigasi normal dengan ketentuan bahwa duplikasi rute yang sama kemudahannya melalui tempat masuk dan keluar yang sama tidak perlu.
5. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas hingga tempat keluar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyimpang lebih dari pada 25 mil laut pada sisi kiri dan kanan garis sumbu demikian dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang mendekati pantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang beebatasan dengan alur laut tersebut.
6. Suatu Negara Kepulauan yang menetapkan alur laut menurut ketentuan pasal ini dapat juga menetapkan skema pemisah lalu lintas yang diperlukan bagi lintas kapal yang aman melalui terusan sempit dalam alur laut demikian.
7. Suatu negara kepulauan, apabila keadaan menghendaki, setelah untuk itu mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang baru.
8. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum.
9. Dalam menetukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional berwenang dengan maksud untuk dapat diterima. Organisasi tersebut hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lau lintas yang demikian sebagaimana disetujui bersama dengan negara kepulauan dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya.
10. Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan garis-garis sumbu untuk alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya.Kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini.
11. Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut dan rute penerbangan, maka hak lintas laur laut kepulauan dapat dilaksanakan melaui rute-rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional.
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia diatur dalam Pasal 19 Undang-undang No. 6 Tahun 1996. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pemerintah menentukan alur-alur laut termasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk pelaksanaan lintas alur kepulauan tersebut dengan menentukan sumbun-sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut yang diumumkan sebagaimana mestinya.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 6 Tahun 1996 ini telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah N0. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 dinyatakan bahwa kapal dan pesawat udara asing dapat melakukan hak lintas alur kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut lepas artau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 menetapkan adanya larangan bagi kapal asing dan pesawat udara asing, termasuk kapal dan pesawat udara riset atau survey hidrografi. Ketentuan pasal ini melarang kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan hak lintas alur kepulauan melakukan kegiatan riset kelautan atau surver hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin.
Hal penting lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 ini adalah dimuatnya larangan bagi kapal asing untuk membuang minyak, limbah minyak, dan bahan-bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut sebagaimana ditetaokan dalam pasal 9 ayat 1. Larangan lainnya yang dimuat dalam pasal ini adalah larangan bagi kapal asing melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan standar internasional tentang pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran laut yang berasal dari kapal.
Ketentuan penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 adalah ketentuan Pasal 8 ayat 1. Ketentuan pasal ini megharuskan pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur kepulauan menaati dan menghormati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan dan setiap waktu memonitor frekensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara berwenang yang ditetapkan secara internasional dan memenuhi kewajiban tersebut.
Terdapat Pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 untuk mengatasi masalah kegiatan lintas pesawat udara asing di alur-alur laut ALKI yang menimbulkan masalah bagi Indonesia, yang kegiatan tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan kemerdekaan politik Republik Indonesia. Yang perlu dicermati pula adalah bahwa kegiatan pengeboran minyak, dan industri agro yang ilegal di alur-alur laut ALKI merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang tercantum dalam Piagam PBB menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002. Berdasarkan uraian diatas, maka Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 telah mengisi kekosongan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang penetapan hak dan kewajiban Negara kepulauan dan Negara-negara lain terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal asing dan pesawat udara asing di alur-alur laut kepulauan.
No comments:
Post a Comment